Saya Senang! Cuaca sore hari di Barru cukup mendung namun tidak turun hujan sehingga kami yang berada di dalam bus pun tidak merasa kegerahan. Dalam perjalanannya mencapai Makasar, bus pun berhenti sekali lagi di Barru, tepatnya di Rumah Makan Arung Pala. Rumah makan ini berdiri tepat di pinggir pantai. Memang, secara umum wilayah Barru banyak berbatasan langsung dengan Selat Makassar. Demikian juga dengan Jalan Trans Sulawesi yang dibangun mengikuti pantai di Barru. Maka dari itu, nggak heran banyak rumah makan di Barru yang terbangun di pinggir pantai. Walau pantainya tidak menawarkan pasir putih atau resort, namun berwisata di pinggir pantai Kota Barru cukup menarik. Sayangnya, banyak bagian pantai yang sedang direklamasi. Pantai yang sedang direklamasi tersebut banyak dipadati oleh para pekerja, alat-alat berat, dan jalanan yang becek dan rusak. Sayang, pantai di Barru rata-rata tidak memiliki pasir pantai. Misalnya saja di Rumah Makan Arung Palla, pantai yang berada persis di sebelah rumah makan ini dibatu. Tidak ada pengunjung yang nekad berenang di pantai ini walau airnya bersih sekali. Yang bisa dilakukan disini adalah menikmati makanan khas Barru berupa pisang goreng yang dicocol dengan sambal. Minumnya bisa pilih antara kopi atau teh. Banyak penumpang termasuk pak supir dan kernetnya yang menikmati sore di Barru sambil menikmati penganan kecil tersebut. Walau demikian, banyak juga penumpang yang tidak menikmati penganan kecil tersebut namun hanya menikmati semilir angin pantai saja. Di samping rumah makan ini terdapat sejumlah gezebo yang bisa difungsikan sebagai tempat bersantai. Sayang, kenikmatan bersantai sore itu cukup terganggu lantaran jalan yang diperlebar. Suara mesin penggiling semen berpadu dengan rusaknya jalan yang diperbaiki sedikit banyak membuat suasana menjadi kurang nyaman. Walaupun sudah cukup dekat, namun Makassar baru dapat dicapai dalam dua jam perjalanan lagi. Ini salah satu alasan mengapa bus kembali beristirahat untuk yang ketiga kalinya dalam perjalanan Tana Toraja – Makassar.
Akhirnya, bus pun bergerak lagi setelah setengah jam beristirahat. Saya sampai takut tidak bisa sampai di bandara tepat waktu lantaran jam keberangkatan pesawat saya adalah pukul 8. Melewati daerah Pangkajene, jalan rusak yang diperbaiki masih saja mewarnai. Di daerah Pangkajene, ada banyak Dangke, makanan khas Pangkajene yang dijual. Sayang, bus tidak berhenti untuk membeli Dangke lantaran sudah sore. Mungkin kalau saya naik mobil pribadi bisa berhenti sesuka hati kali yach? Demikian pula serupa dengan kejadian di Maros. Bus tidak berhenti di lokasi penjualan Roti Maros, kuliner khas Maros. Bus terus melaju menembus senja yang turun makin larut. Bukit-bukit karst sudah tampak di kejauhan, tanda sudah dekat dengan bandara. Bukit-bukit karst memang menjadi pertanda ciri khas wilayah Maros dan Pangkajene. Selepas Kota Maros, bus akan segera menjumpai Pasar Maros dan Rumah Adat Maros yang dipasang sebagai gapura di ruas Makassar – Maros. Saya segera bergegas bersiap karena bandara tidak terlalu jauh dari gapura rumah adat Maros ini. Benar saja, tidak lama kemudian, jalanan bercabang dan bandara terletak di sebelah kiri. Saya bergegas turun disini.
Label:
Sulawesi Selatan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
I LOVE MAKASSAR..... tunggu kunjungan baliknya yah
ReplyDeletehttp://lajamal.blogspot.com/
Terima Kasih sudimampir :)
ReplyDelete