Selamat Datang (Kembali) Ke Gunungsitoli

Waktu yang saya miliki untuk melintasi Nias, tidaklah banyak. Pada malam hari nanti, saya sudah harus kembali menaiki kapal untuk kembali menuju Sibolga dan menyusuri kembali perjalanan balik menuju Kota Medan. Nah, maka dari itu, pada siang harinya, saya sudah sampai di Gunungsitoli, demi persiapan agar tidak repot pada malam harinya. Pelabuhan Gunungsitoli yang saya singgahi pada saat kedatangan di hari sebelumnya, bukanlah merupakan pusat kota. Teman-teman tidak akan bisa melihat wajah Nias yang sesungguhnya dari pelabuhan tersebut. Pusat kota Gunungsitoli sendiri sich, berada tidak jauh dari pelabuhan. Namun, kalau teman-teman langsung menaiki jalur lintas Gunungsitoli - Teluk Dalam, teman-teman akan melewatkan kotanya. Seperti apa sich wajah Gunungsitoli? Mari kita simak!
Gunungsitoli, walaupun namanya berbau-bau Batak, selayaknya Simanungkalit, Simarmata, Sitohang, atau Sipoholon dan Siborong-borong, namun mayoritas etnis yang mendiami kota ini adalah etnis Nias, yang secara kultur dan budaya, jauh dari Batak. Walaupun dalam mitologi Radja Batak disebutkan bahwa bangsa Nias memiliki hubungan darah bertalian sebagai anak dari Raja Asiasi, anak dari Raja Isombaon (atau dalam versi lain, keturunan Raja Jau, cucu dari Engbanua atau cicit dari Raja Miok Miok) namun secara kasat mata dan gamblang, Nias bukanlah Batak. Hal yang sangat nyata tersebut terlihat dari budaya, serta bahasa dan ciri fisik orangnya. Etnis lain yang mendukung peri kehidupan di Nias tentu saja adalah orang Batak, dengan sejumlah Puak-nya. Selain Batak, Gunungsitoli juga dihuni oleh sejumlah besar Etnis Minang, terutama dari wilayah Padang dan pesisir sebelah barat, serta Orang Jawa (umumnya Jawa Tengah) dan Orang Cina.
Gunungsitoli adalah kota terbesar di kepulauan Nias. Wajar, mengingat kota ini dari dahulu sudah didengung-dengungkan sebagai ibukota Nias kabupaten secara keseluruhan (dahulu hanya ada kabupaten Nias sebelum pemekaran). Walaupun Teluk Dalam adalah kota terbesar kedua di kepulauan Nias, namun ukuran Gunungsitoli tergolong cukup besar, jauh meninggalkan Teluk Dalam. Selain ukuran kota yang jauh lebih lebar dan penduduk yang jauh lebih banyak, gedung-gedung berukuran besar (walaupun belum betingkat tinggi) dan aneka ruko memenuhi wajah kota ini. Pasar Gunungsitoli pun berukuran besar dan lumayan lama untuk dijelajahi, karena merupakan pasar besar untuk wilayah Nias kepulauan. Aneka macam barang dagangan dijajakan oleh para pedagang, bahkan dari lintas pulau sekalipun. Pedagang Cina dan Minang banyak berjualan di tempat ini. Pakaian, aksesoris, hingga furnitur dan lain-lain bisa dengan mudah dicari disini. Apabila Teluk Dalam hanya memiliki sejumlah losmen, maka Gunungsitoli memiliki sejumlah bangunan yang sudah dikategorikan sebagai hotel. Hotel Gomo, misalnya, merupakan bangunan berlantai 3 yang sudah cukup berumur. Adapula hotel tepi pantai yang letaknya agak jauh di luar kota yakni Wisma Soliga dan Miga Beach Bungalow. Intinya, menjelajah kota ini dengan berjalan kaki selama sehari adalah nggak mungkin. Lebarnya itu lho.
Gunungsitoli juga merupakan kota yang komplit. Semua fasilitas dasar dan pendukung sudah tersedia di tempat ini. Terminal Bus khusus, tempat ibadah, rumah sakit, hingga hotel, pasar, toko souvenir, restoran, pelabuhan, bandara, pengadilan negeri dan museum ada di tempat ini. Sayangnya, agak berbeda dengan Nias Selatan, mencari rumah adat khas Nias Utara agak sukar disini. Rumah adat yang paling mudah didapatkan terletak di kompleks Museum Pusaka Nias dan di tepi Bandara Binaka. Beberapa gedung memang sich masih menggunakan arsitektur atap rumah adat Nias Utara sebagai ciri khasnya, namun mencari rumah adat yang masih digunakan sehari-hari dan berdiri dalam satu sistem desa agak sulit. Saya mencoba mencari beberapa nama desa di Nias Utara yang konon masih memiliki kompleks rumah adat yang masih ditinggali seperti Siwareo Siwahili (tempat ini sering salah dimaksud dengan suatu etnis yang tinggal di Afrika Selatan) yang konon dekat. Namun sejumlah jawaban yang saya terima dari becak motor membuat saya kecewa. Mereka mengatakan antara tidak tahu atau tempatnya jauh. Sayang sekali. Kalau saya masih punya ekstra waktu, pasti akan saya kejar desa ini. Apalagi di peta lokasinya hanya sekian kilometer saja, tidak ada bandingannya dibanding Gunungsitoli - Teluk Dalam. Namun, karena waktu pulang yang semakin mepet, dan saya masih belum menyambangi Museum Pusaka Nias, maka saya memilih untuk melewatkan desa. Toh, mencarinya pun masih membutuhkan waktu, bukan?
Secara umum, hampir tidak ada tempat yang dingin di Nias. Termasuk pula salah satunya adalah Gunungsitoli. Kondisi Gunungsitoli hampir sama seperti Teluk Dalam, hanya saja lebih lebar, lebih ramai dan lebih kosmopolit. Wilayah sekitar Gunungsitoli masih merupakan hutan belantara yang menutupi sebagian besar wajah Nias. Kelembapan yang sesuai, menjadikan lokasi ini sebagai tempat endemik penyakit Malaria yang ditularkan oleh Nyamuk Anopheles sp. Selalu berhati-hati, minum anti malaria dan gunakan autan selama berkeliling kota. Nggak butuh waktu lama untuk jatuh cinta dengan Nias. Demikian pula kota ini, nggak butuh waktu lama bagi saya untuk jatuh cinta dengan Kota Gunungsitoli. Taksi yang saya naiki tidak bisa mengantarkan saya sampai ke dekat museum. Walau demikian, saya diturunkan di dekat pasar. Pilihan seru, menurut saya, karena saya bisa melihat keriuhan aktifitas jual beli di pasar utama Gunungsitoli, sembari mencari rumah makan untuk mengisi perut. Maklum, sudah tengah hari dan saya lapar. Hehehehe.

0 komentar:

Post a Comment