Hari terakhir di Palangka Raya. Sedih sich, tapi mau gimana lagi? Realitas dan kehidupan nyata harus kembali merenggut kita dari liburan yang menawan ini. Sebelum pulang, saya ingin melakukan apa yang semalam tidak sempat terselesaikan : Menaiki Jembatan Kahayan hingga kesisi seberang.
Pagi itu cuaca cerah dan sedikit berawan. Walaupun demikian, baju saya sudah sedikit basah karena keringat yang diakibatkan oleh suhu panas kota ini. Perjalanan saya mulai dari Jalan Pierre Tendean langsung menuju Jembatan Kahayan. Jalan yang semula gelap dan sepi ketika malam berubah menjadi dinamis dan aktif serta ramai pada pagi hari ini. Senang rasanya begitu tahu saya akan menaiki Jembatan terkemuka di Kalimantan ini.
Secara umum, Jembatan ini diresmikan oleh Ibu Megawati Soekarno Putri, Presiden RI di kala itu pada tanggal 13 Januari 2002. Batu peresmian jembatan ini terletak di wilayah Pahandut sebelah utara kaki jembatan. Sayangnya, batu ini rusak oleh aksi vandalisme coret-coretan grafitti. Tulisan “Feby Lilang” atau apapun itu tergores di atas batu dengan pilox putih sehingga tulisan peresmian sukar terbaca. Jembatan dengan panjang total 645.5 meter dan panjang busur 150 meter serta ketinggian busur 36 meter ini memiliki warna oranye (dari jauh terlihat seperti kuning). Apabila tidak memiliki busur, jembatan ini tampaknya akan sama seperti jembatan lain di Kalimantan dengan rangka dasar persegi berwarna kelabu.
Pembuatan jembatan ini sebenarnya digunakan untuk menghubungkan wilayah Palangka Raya utama dengan Taman Hutan raya di seberang sana. Namun, karena di sebarang sana masih berupa hutan dan pedesaan, maka arus lalu lintas yang ada tidak seramai di pusat kota bahkan pada siang hari sekalipun. Walaupun demikian, pada hari biasa sekalipun, jembatan ini menjadi daya tarik bagi warga Palangka Raya dan sekitarnya untuk menikmati panorama Sungai Kahayan dari atas jembatan. Hal ini terlihat dengan banyaknya motor yang diparkir di sisi jembatan dan beberapa atau segerombolan warga duduk menikmati pemandangan sambil mengobrol. Ya, memang pemandangan yang diasjikan dari atas jembatan cukup unik dan menarik untuk dilihat. Di wilayah Pahandut terdapat dermaga-dermaga kecil hingga yang berukuran sedang, desa pinggir sungai dengan jejeran kayu ulin serta bangunan modern. Sementara di sisi seberang, kebanyakan didominasi oleh desa-desa pinggir Kahayan dan hutan, hutan, dan hutan saja. Suara cengkerik, tenggeret dan garengpung mendominasi kawasan yang sebagian besar masih berupa hutan ini bahkan ketika anda baru dua pertiga perjalanan awal. Suasana drastis langsung berubah dari perkotaan menja
Jadi inget waktu ke Palangka tahun lalu...
ReplyDelete