Selamat Datang Di Kota Sibolga

Dan, selepas Bonan Dolok jalanan yang saya lalui terus menurun dan berkelok, melebar, membelah hutan dan mulai memperlihatkan adanya sebuah kehidupan kota. Kontur Kota Sibolga sedikit banyak mirip dengan Kota Semarang beberapa puluh tahun lampau atau Kota Palabuhanratu atau kota-kota yang terletak di tepian bukit, bersanding dengan pesisir pantai. Ya, Sibolga memiliki keduanya, gunung dan pantai dalam satu bingkai. Hanya saja, arah perbukitan yang melingkari Sibolga bukanlah ruas jalan besar. Jalan tersebut baru melebar dan membelah pemukiman yang menggantikan deretan pepohonan dan hutan selepas tiba di tepi Sibolga. Saya tertarik dengan logo salah satu operator kenamaan di Indonesia yang mulai tampak mewarnai Sibolga di sana sini dalam bentuk lukisan mural. Lukisan si operator oranye-biru tersebut tampak membirukan tepian median jalan Bonan Dolok – Sibolga dengan promo-promonya, setelah sebelumnya sinyalnya hilang timbul ditelan hutan. Saya sama sekali tidak mengharapkan adanya kota yang cukup besar setelah rerimbunan hutan yang telah saya lalui sebelumnya. Namun, secara mengejutkan, Kota Sibolga yang memang berdiri utuh secara otonom sebagai sebuah Kota, bukan sekedar Ibukota Propinsi cukup besar dan lebih besar dari bayangan saya. Aneka jalan-jalan protokol yang berukuran lebar membelah jalan kota ini. Sibolga tidak kehilangan cita rasa kolonialnya sebagai kota yang awal dan lama pernah didarati Bangsa Eropa. Saya masih bisa menemukan pepohonan besar dimana-mana dan rumah-rumah berarsitektur jaman dahulu yang klasik. Sibolga memiliki aneka macam moda transportasi yang layak seperti bus, hingga becak motor yang memang menjadi ciri khas kota-kota di Sumatera Utara. Mungkin karena kota ini banyak mendapat pengaruh dari berbagai macam wilayah dan budaya, sehingga ke-Batak-kan kota ini sangat jauh terasa. Selain HKBP yang tersebar dimana-mana dan tulisan “Tapanuli Tengah”, kota ini terasa sangat kosmopolit berkat tercampur aduknya berbagai suku bangsa. Adapun suku yang banyak mendiami kota ini adalah Toba, Angkola, Mandailing, Nias, dan Minang serta sejumlah etnis Cina dan Jawa. Berkat lokasinya yang sejajar dengan Padang dan Pariaman, maka kota ini banyak mendapat penduduk dengan etnis Minang selain memang penetrasi kebudayaan dari arah selatan telah berlangsung sangat lama dari jaman dahulu kala. Nggak heran, selain Bahasa Batak, bahasa yang banyak terdengar di Sibolga ialah Bahasa Minang Pesisir. Saya menjumpai sejumlah Uni yang hendak bertandang ke Nias di saat kapal yang saya naiki hendak berlayar ke Gunungsitoli. Apabila kita selalu mengasosiasikan bahwa Kota dengan populasi orang Batak biasanya didominasi oleh Agama Kristen, nah Kota yang memiliki simbol ikan Tuna ini memiliki komposisi yang hampir setara untuk Muslim dan Kristennya. Hal ini ditandai pula dengan cukup banyaknya masjid dan gereja yang tersebar di pelosok kota. Malam semakin larut dan jalanan semakin landai, saya telah sampai di wilayah Sibolga yang dekat dengan pantai. Sang surya yang perlahan semakin tenggelam turut menenggelamkan wajah kota ini. Saya sudah tidak bisa menikmati sisi kota yang saya jelajahi di kala senja hari. Perlahan namun pasti, sejumlah penumpang mulai turun dan menyisakan ruangan yang kosong di dalam kendaraan minibus yang saya tumpangi. Saya pun segera merapihkan barang bawaan saya sebelum minibus secara perlahan merapat ke Terminal Kota Sibolga. Disinilah lakon lain dari terminal menggeliat, menyambut para penumpang yang baru saja tiba dari keletihan ruas Tarutung – Sibolga. Selamat Datang di Sibolga!

0 komentar:

Post a Comment