Berburu Tiket Untuk Pulang Ke Sibolga


Pak Daniel Lömbu ternyata tidak dapat membeli tiket dari sisi Sibolga! Anda harus catat itu baik-baik! Kalau ingin kembali dari Gunungsitoli menuju Sibolga, ternyata tiket tidak dapat dipesan melalui Sibolga! Pak Lömbu memberikan saya sebuah nomor yang konon bisa saya hubungi untuk memastikan keberadaan tiket. Saya mencoba menghubungi nomor tersebuit namun sayang saya tidak mendapat jawaban yang memuaskan, telepon tersebut tidak diangkat sama sekali. Ketika saya konfirmasikan balik kepada Pak Lömbu, dia hanya bisa berkata, “Kalau begitu belinya di pelabuhan ya pak. Jangan terlambat nanti kehabisan”. Wah, terima kasih sekali ya Pak sudah membuat saya tenang. Hmmm.
Untungnya, saya sudah menyelesaikan kunjungan saya di Museum Pusaka Nias pada sore itu dan tiba di pelabuhan pada saat senja. Ternyata, memang loket penjual tiket jumlahnya banyak dan tersebar di sepanjang jalan menuju pelabuhan. Loket-loket yang tadi saya kira kosong dan tak terurus lantaran tidak diisi orang pada saat pagi hari, ternyata ramai dikerumuni massa yang ingin membeli tiket. Koq begini sich, pikir saya? Dari kerumunan tersebut, tentu saja saya bukan satu-satunya yang ingin membeli tiket dan yang lainnya hanya meminta tanda tangan. Helloooo. Konser musik kali yaaaa. Semua orang tersebut menunggu tiket yang sedianya akan diberikan kepada mereka. Semuanya berjuang untuk mendapatkan tiket KMP Barau yang akan berangkat ke Sibolga pada malam itu. Bedanya? Nampaknya hanya di ukuran kelas.
Seorang pria yang saya yakin tidak berdarah Nias menanyakan apa keperluan saya. Saya menjawab bahwa saya membutuhkan tiket untuk ke Sibolga. Dengan segera, ia menjawab “tiket sudah habis” yang tentu saja membuat saya lemas di dengkul. Ck, masak bermalam satu hari lagi di Nias? Gagal total donk kunjungan saya ke Pematang Siantar dan Simalungun? Saya duduk dengan segera di dalam warung masakan Padang yang berada di bagian dalam loket tiket tersebut sambil memikirkan langkah selanjutnya. Saya mulai memikirkan alternatif loket lain yang sekiranya menjual tiket. Kenekatan saya ingin pulang menjadikan saya bertanya, “tiketnya di sana masih ada kali?” kepada pemuda tadi. Pemuda tadi melihat saya dan berkata, “tiketnya ada tapi kelas bisnis, mau?”. “Berapa harganya?”, sambar saya sebelum ia menjelaskan lebih jauh. “Rp 120.000”, katanya segera. “Saya mau satu”, kata saya seraya bernafas lega di dalam hati. Malam ini saya akan tidur di hotel bergerak di atas lautan yang bernama KMP Barau!
Sayangnya, leganya saya tidak berlangsung lama. Pria tersebut pergi yang saya kira ingin mengambilkan tiket untuk saya. Perginya pria tersebut cukup lama dan satu persatu calon penumpang yang berkerumun di loket penjualan tiket pun memudar dan menghilang sama sekali. Jadi, saya gimana? Saya nggak mau banget menunggu dalam ketidakpastian seperti ini. Kalau memang nggak pasti dan nggak dapat tiket, saya mau mengusahakan sebelum malam menjelang pastinya. Sayangnya, hujan yang memang mudah sekali turun di Nias secara tiba-tiba membuat saya nggak bisa berbuat banyak. Saya terpaksa harus menunggu hujan reda. Nggak enak dengan pemilik warung Padang yang saya tumpangi untuk berteduh, akhirnya saya memesan makanan sambil menunggu kepastian tiket dan menunggu hujan reda. Menu makanan di Nias, seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya tidak ada yang sangat autentik Nias. Kebanyakan makanan di Nias didominasi oleh produk luar seperti Padang, Batak, Jawa, maupun Chinese. Harganya, serupa tapi tak sama, untuk nasi (sepuasnya), sepotong perkedel, dan sebuah paha ayam dengan kuah saya harus membayar sebesar Rp 17.000. Untung saja, aqua botol 600ml yang dijualnya murah seharga Rp 3.000 saja.
Ketika makanan dan hujan saya selesai, waktu telah berubah dari senja menjadi malam. Langit di luar mulai berwarna ungu gelap yang menandakan malam segera turun. Dalam beberapa jam, kapal akan segera berangkat. Bagaimanakah nasib saya? Di tengah ketar-ketir tersebut pria tadi datang kembali dan menyerahkan tiket kepada saya. Mungkin memang begitu barangkali ya gaya membeli tiket di pelabuhan? Saya sich lebih suka segala sesuatunya rapih dan terjadwal. Saya sich bukan seorang perfeksionis, namun apabila memungkinkan, membeli tiket satu atap di lokasi yang ditunjuk akan jauh lebih menyenangkan dibanding harus membeli di loket-loket yang disebar sepanjang jalan. Rasanya seperti sesuatu yang tidak pasti! Oh ya, harga tiket VIP Rp 100.000 sudah termasuk pajak. Bagaimana dengan Rp 20.000-nya? Yah, wajar lah mengingat orang tersebut pastinya mengambil untung dari praktek percaloan tiket ini. Tiket yang anda beli ini belum termasuk tiket masuk pelabuhan seharga Rp 2.000 lho. Sebaiknya anda mempersiapkannya di saku agar mudah diraih. Kenapa saya memilih VIP? Rasanya kalau anda baca postingan saya sebelumnya, alasannya jelas bahwa tiket VIP memungkinkan saya untuk bisa tidur dengan posisi benar di atas kapal. Perjalanan 8-9 jam pun tidak terlalu terasa di atas KMP Barau yang sofanya lumayan, walaupun bukan kasur asli. Nah, dimanakah saya harus menunggu hingga beberapa jam ke depan? Untungnya ada warung masakan Padang yang lumayan nyaman dan memutar film-film Indonesia jaman dahulu kala untuk dijadikan lokasi menunggu. Sambil menunggu pukul 9 malam, saya memutuskan untuk berada di warung tersebut saja. Saya sudah tidak berminat untuk berkeliling kesana-kemari membawa perbekalan yang lumayan berat.

1 komentar:

  1. Lagu-lagu Indonesia jaman dahulu kalanya yang kayak mana? Yang model Ria Angelina, Maryantje Mantouw, Ratih Purwasih dkk atau model Ikang Fawzi, Johan Untung, Ramona Purba dll? Lain kali yang lengkap dong reportasenya, jangan pake pola jurnalisme tidak bertanggung jawab seperti ini!!! Hihihi.
    Sekarang serius. Saya ngenes juga membaca perjuangan dan debur jantung Lomi dalam rangka mendapatkan sehelai tiket kapal (padahal cuma tiket kapal, apalagi tiket konser Metallica). Segitu enggak pernah siapnya ya Indonesia dalam urusan pariwisata? Problem-problemnya selalu klasik, dan bertahan teguh dari dekade ke dekade. Mustinya ke depan pos menteri pariwisata diisi oleh traveler yang sudah berpengalaman menyesap pahitnya empedu (halah) minimnya sarana dan layanan bagi para pelancong. Kalau perlu calon menteri itu adalah traveler yang punya blog, dan kebetulan namanya blognya Indahnya Indonesia. Kalau mau menteri yang lebih canggih lagi ya yang nama blognya Indonesia Saja! Sampai Akhir Menutup Mata.... Hihihi.

    ReplyDelete