Utara Samosir : Museum Huta Bolon Simanindo

15 KM di utara Ambarita, sampailah saya pada Desa Simanindo. Jelas, Desa Simanindo yang menjadi ibukota kecamatan Simanindo sudah berada di luar jalur pariwisata standard. Indikatornya? Ketiadaan turis yang berkunjung tampaknya merupakan indikator bahwa desa ini sudah jarang menerima kunjungan turis. Untung saja, sebelum kami sampai ke desa ini, ada segerombolan turis asing yang berkonvoy ria dengan motor skuter menyambangi desa ini. Pada saat kami masuk ke Desa Simanindo, kami berselisih jalan dengan mereka yang baru saja keluar untuk kembali ke Tuk-Tuk Siadong. Alhasil, pengunjung Desa Simanindo pada siang itu hanyalah kami sendiri saja.
Setelah perjalanan panjang sambil menerka-nerka berapa jauh lagi jarak Simanindo, akhirnya kami melihat plang bertuliskan “Museum Huta Bolon Simanindo” di tepi jalan. Tak lama kemudian, muncullah gerbang masuk dengan ornamen khas Batak dan aksara Batak di sebelah kanan kami. Pintu gerbang masuk museum cukup rimbun dan teduh, terutama dengan banyaknya pohon-pohon peneduh. Deretan Rumah Bolon mini berbaris rapih di tepi gerbang yang tentu saja, merupakan makam. Sebenarnya, tujuan saya datang jauh-jauh dari Ambarita menuju ke Desa Simanindo tak lain dan tak bukan adalah untuk mengunjungi Museum Huta Bolon, museum Batak yang cukup komplit yang berada di Tanah Samosir. Yah, memang sich, banyak sekali museum kebudayaan Batak yang berdiri di Sumatera Utara, secara khusus di Tanah Samosir. Namun, di antara museum-museum tersebut, museum yang cukup lengkap dan koleksinya tertata dengan rapih adalah yang berada di Simanindo ini.
Sementara kami memarkirkan motor kami tepat di depan loket tiket yang sepi, saya melihat sebuah plang informasi yang bertuliskan tentang apa saja yang akan anda dapatkan di dalam kompleks Museum Huta Bolon ini. Menariknya, kompleks ini tidak sekedar “menjual” museum saja, namun juga Rumah Adat Bolon, Rumah Raja, Rumah Lesung, Lumbung, Rumah Boneka Kayu, Rumah Perahu Raja, dan Kuburan Raja. Banyak sekali yach yang bisa dilihat? Nggak Cuma peninggalan sejarah, namun atraksi kebudayaan pun bisa dinikmati di tempat ini. Hampir setiap hari pada pukul 10.30 dan 11.45 kecuali hari minggu (hanya 11.45 saja) di Museum Huta Bolon ini digelar pertunjukkan tari-tarian adat Batak, mulai dari tarian selamat datang, tari persembahan, tari muda-mudi, tari perayaan, hingga tarian Sigale-Gale. Sayangnya, ‘berkat’ minimnya jumlah turis yang datang, pertunjukkan tari-tarian ini hanya digelar apabila ada kunjungan wisatawan yang cukup signifikan atau berdasarkan pesanan saja. Seusai kami memarkir motor kami dan bersiap masuk ke dalam kompleks yang sepi, tiba-tiba datanglah seorang bapak yang membawa buku tamu dan potongan tiket. Hihihi. Petugas tiketnya nggak berjaga namun memang merupakan penduduk yang tinggal di kawasan kompleks. Ketika ada pendatang, barulah mereka menampakkan diri untuk meminta retribusi. Tiket untuk masuk ke dalam kompleks museum ini sebesar Rp. 5.000 saja per kepala.
Huta Simanindo ini tak ubahnya seperti Huta-Huta lain yang telah saya kunjungi. Desa-desa Samosir yang dahulu kerap berperang telah membentengi diri mereka sendiri dengan dinding yang mengelilingi kompleks Huta. Dinding inilah yang akan anda lewati ketika masuk ke dalam kompleks Huta. Pada saat kunjungan, sekali lagi saya tegaskan, bahwa Huta Simanindo ini sangat sepi. Hanya ada kami sendiri yang ada di kompleks ini. Dua deret bangunan, satu Ruma dan satu Sopo saling berhadap-hadapan dengan pemisah sebuah tanah lapang kosong. Di tengah-tengah tanah lapang kosong yang agak berpasir tersebut, ada sebuah Totem Batak yang menarik perhatian serta sebuah Pohon hariara muda yang tidak mampu menahan sengatan terik matahari bagi siapapun yang berada di tengah-tengah lapangan. Yah, sayang sekali. Tampaknya di siang hari tersebut, Huta Simanindo sangat jauh dari kehadiran manusia, apalagi atraksi budaya! Hehehe. Alhasil, saya hanya melihat-lihat ruma-ruma adat, sopo tempat lumbung padi dan tempat tidur para pengawal raja. Di paling ujung ada Sopo yang digunakan untuk menyimpan losung (lesung dalam bahasa Batak). Di Huta Simanindo ini, saya bahkan menemukan satu buah boneka Sigale-Gale yang agak berbeda dari apa yang sudah saya lihat selama ini. Dalam satu peti mati Sigale-Gale, ada dua boneka Sigale-Gale loch. Satu boneka Sigale-Gale besar, dan satu lagi yang berukuran lebih pendek (tampaknya seperti inangnya) adalah Sigale-gale wanita yang berukuran lebih pendek. Sayang, nggak ada orang atau siapapun disini yang bisa membantu menjelaskan kepada saya mengapa kondisinya seperti ini (bener khan, semakin jauh dari Tomok, nilai komersialisme semakin pudar). Yah, tidak banyak yang bisa dilihat disini selain anda bisa bebas berfoto-foto dengan gaya segila apapun karena dijamin nggak ada yang melihat. Hehehe. Lumayan, Rumah adat Batak dengan ukiran yang kaya warna memang menarik untuk dijadikan latar berfoto.
Museum Huta Bolon sendiri justru berasa di luar kawasan Huta. Agak berbeda dengan museum-museum sebelumnya yang sudah pernah anda lihat di Tomok atau Tuk-Tuk Siadong, Museum Huta Bolon Simanindo disini merupakan museum yang resmi ditata oleh pemerintah daerah setempat. Hal ini dibuktikan dengan adanya papan plang resmi untuk museum ini. Isinya? Jelas jauh berbeda dibandingkan dengan museum-museum sebelumnya dimana hanya menampilkan produk khas kebudayaan Batak tanpa penjelasan berarti. Museum yang merupakan sebuah bangunan Ruma namun berdinding pagar, menampilkan etalase berderet di kiri dan kanan dengan tampilan sejumlah benda-benda khas kebudayaan Batak seperti peralatan dapur, ulos, peralatan upacara seperti tungkot, pakaian adat, pakaian perang, alat permainan, silsilah marga Batak (Tarombo Batak), mata uang, hingga yang agak nggak lazim : peralatan ilmu hitam. Hiiiii. Peralatan yang ditampilkan pun cenderung lengkap. Untuk tungkot misalnya, fungsinya pun bermacam-macam seperti untuk berperang, untuk ilmu hitam, untuk membaca nasib, hingga yang mempunyai kekuatan pada kayu ataupun pada batu. Menarik yach? Tungkot-tungkot tersebut pun memiliki bentuk, ciri khas dan ukiran yang berbeda-beda pada sekujur penampangnya. Ada pula Tarombo Batak! Dari Tarombo atau silsilah marga Batak ini kita bisa melihat urut-urutan keturunan suatu marga dan hubungannya langsung dengan Raja-Raja Batak. Yang menarik, kebudayaan Batak pun memiliki sejumlah alat permainan seperti Janggar-Janggar (kita kenal sebagai dadu), kemudian Dalu Guling dan Dalu Putar. Salah satu benda yang digunakan pada upacara ilmu hitam yang cukup mengerikan bentuknya adalah Debata Ribu-Ribu. Bentuknya menyerupai miniatur manusia yang terbuat dari kayu pahatan warna hitam dan ditempatkan dalam kantung anyaman. Entah fungsi detail dan penggunannya seperti apa. Sayang, saya tidak bisa bertanya sama sekali karena tidak ada yang menjaga museum ini sama sekali. Sayang sekali. Di deret seberangnya, dipajanglah berbagai jenis Ulos dengan ciri tenunan dan nama dari tenunan yang digunakan. Ketiadaan penjaga dan benda-benda yang hanya ditutup kaca membuat saya was-was juga. Cukup amankah benda-benda ini dipajang disini? Atau justru sudah ada kekuatan khas yang menjaga agar Museum Huta Bolon ini tidak kecurian?
Di sisi sebelah museum terdapat rumah yang digunakan untuk menampung perahu kerajaan yang berukuran cukup besar dan penuh dengan ukiran. Rumahnya sendiri disebut Bontean dan perahunya bernama Sulu Bolon. Perahu ini mungkin dapat menampung hingga 6 orang sekaligus. Dilihat dari peralatan yang ditempatkan di dalam perahu, tampaknya perahu ini memang digunakan untuk menjala ikan. Hal ini menarik buat saya. Kenapa? Ya, selama ini pandangan umum yang berlau di masyarakat adalah Orang Batak adalah Suku yang tinggal di dataran tinggi. Rasanya agak aneh juga apabila mereka diasosiasikan dengan perairan. Beda halnya dengan Mandar atau Bugis, Orang Batak terkenal karena kebudayaan dan adat istiadat dataran tingginya. Walau demikian, saya harus berpikir logis juga. Walapun terletak di dataran tinggi, mereka dikelilingi oleh air! Ya, Danau Toba adalah air yang mengelilingi mereka. Terlebih di Huta Simanindo, dimana posisi laut berada tidak jauh dari pintu kampung ini. Ya, tidak sampai 500 meter ke arah utara museum ini, memang terdapat pelabuhan Simanindo yang dahulu sempat terkenal sebagai penghubung antara Nainggolan dan Tongging. Sayang, saya sudah tidak mendengar bahwa pelabuhan ini masih seaktif dulu dalam mengantarkan wisatawan. Padahal, depan pintu masuk terdapat tulisan pemberangkatan ke Pulau Tao (pulau dekat Simanindo) dan di dinding loket terdapat kertas yang bertuliskan info tarif harga baru per Februari 2011 untuk rute Simanindo – Tigaras yang bergerak 4 kali sehari loch. Namun, pada saat kedatangan, Simanindo benar-benar sepi untuk saya. Apalagi, turis reguler nampaknya tidak akan memilih rute Tigaras - Simanindo melainkan Parapat – Tomok. Sekali lagi, nggak ada orang sama sekali yang bisa ditanyain disini. Hehehe. Sayang sekali.
Walaupun menempuh jarak yang cukup jauh, namun saya senang bisa mencapai Simanindo. Fitur yang ditawarkan di tempat ini tidak sama dengan apa yang dimiliki Tomok dan Ambarita. Untuk Kabupaten Samosir, tampaknya museum ini adalah museum terlengkap dan terbagus yang menyimpan dan memajang benda-benda kebudayaan Batak Toba. Ya, untuk 5 puak Batak lainnya, memang tidak dipajang di tempat-tempat ini, namun lebih berada di wilayah puak mereka masing-masing seperti misalnya Puak Simalungun di Pematang Siantar dan Puak Karo di Lingga. Rasakan juga hawa komersialisme yang sudah surut sama sekali ketika memasuki kawasan ini. Pokonya, sama sekali nggak sia-sia dech berkunjung ke Simanindo ini.

4 komentar:

  1. heee banyak museum ya di tanah batak :O coba kalau lebih terurus lagi ya.
    hee museumnya hari biasa buka dari jam 10.30 gitu ? terus kalau hari minggu cuma jam 11.45 atau dari jam 11.45 ?

    ReplyDelete
  2. kompleks museum kelihatannya cukup luas ya. jauh dari keramaian tapi bisa dinobatkan sebagai museum terlengkap dan terbagus, memang mengundang untuk dikunjungi. bagian lain yang menggodaku adalah tulisan di papan nama museum: feel the miracle

    ReplyDelete
  3. hehehe...jam yang Tiara maksudkan adalah jam pertunjukkan tari-tarian. kalau museumnya sih buka dari pagi. penjaga museumnya tinggal di depan kompleks museum ini koq :D

    ReplyDelete
  4. iya Cie, koleksinya lengkap dan rapih. informasinya juga menarik. wiii dirimu pasti seneng deh kalau kesini. hehehe... soal feel the mircla tuh mungkin kalau kita ambil paket lengkap tur museumnya kali ya? termasuk melihat pertunjukkan tari-tariannya juga tuh :)

    ReplyDelete