Lumban Suhi-Suhi tampaknya menjadi penutup hari untuk kunjungan di Tanah Samosir ini. Sayang sekali, padahal Pangururan sudah tidak terlalu jauh dari Lumban Suhi-Suhi ini. Dengan motor paling dibutuhkan waktu sekitar 10-15 menit saja. Namun, karena motor hanya bisa dipinjam maksimal pukul 5 sore maka dengan sangat terpaksa kami harus memutar arah untuk kembali ke Tuk-Tuk Siadong guna mengembalikan motor. Toh, nanti malam kami juga harus bergerak menuju Pangururan untuk bermalam. Kunjungan yang bikin bingung yach? Hehehe. Seandainya saja motor bisa digeletakkan saja di tepi jalan lalu kami langsung menuju Pangururan. Sayangnya, motor tetap harus dikembalikan ke tempat asalnya yakni di Tuk-Tuk Siadong. Jadilah kami muter-muter seperti ini. Untungnya, kami sudah antisipasi dengan hal seperti ini. Tas tidak saya angkut bersama dengan motor, namun saya tinggalkan di Tuk-Tuk Siadong. Nggak kebayang dech kalau sepanjang perjalanan saya harus menggendong tas yang berat itu. Yah, inilah konsekuensi menjadi seorang backpacker. Seiring dengan lamanya perjalanan, tas akan semakin besar. Nggak ada deh cerita soal backpacker yang membawa tas enteng! Percayalah, itu semua hanya terjadi di siaran petualangan dan penjelajahan ala TV nasional saja *padahal peralatan mereka segudang, tapi semuanya diletakkan di mobil*. Intinya, kalau mau backpack dan mau hemat, peralatan memang kudu banyak. Kebalikannya, kalau mau bawaan sedikit, persiapkan uang yang banyak. Hehehe. Loch koq saya jadi ngelantur begini?
Jadi, di sore itu, dengan itikad baik untuk mengembalikan sepeda motor ke hotel *padahal sudah tergoda untuk bablas sampai Pangururan tuh* maka kami berbalik arah menuju Tuk-Tuk Siadong dengan kecepatan penuh! Sekali lagi, jalan lurus hampir mulus memaksa saya menggeber gas dengan maksimal. Maklum, jam peminjaman berakhir pada pukul 5 sore. Males aja kalau sampai ada biaya tambahan lantaran kami melewati waktu yang tersedia! Namanya juga backpacker, maunya berhemat! Dapat hasil maksimal dengan biaya minimal. Hahaha. Ekonomi banget dech! Nah, namun demikian, ada satu tempat di Ambarita yang membuat kami menunda urusan mengembalikan sepeda motor tersebut tepat waktu. Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul 5 lewat saat kami melewati Huta Sanggam, bagian dari Ambarita. Tuk-Tuk Siadong sudah dekat sich, namun kami mungkin nggak akan ke tempat ini dalam waktu dekat! Jadi, mengapa nggak berhenti sebentar? Masalah ntar kalau dimintain biaya tambahan tinggal adu urat leher aja deh. Hahaha. Nggak cuma harus pintar atur pengeluaran, tapi harus bersiasat dan tipu muslihat dikit biar tetap hemat. Hihihi.
Sesuai dengan agama Nasrani yang memang menjadi mayoritas di wilayah Sumatera Utara ini, nggak heran objek-objek wisatanya pun bernuansa demikian. Salah satunya adalah tempat yang kami kunjungi sejenak sebelum mengembalikan motor di tempat asalnya. Nama tempat ini adalah Bukit Doa Getsemane yang berlokasi di Huta Sanggam, Desa Ambarita, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir. Yang menarik dari tempat ini adalah adanya Patung Yesus cukup besar yang berdiri persis di depan bangunan yang tampaknya sebuah gerbang selamat datang sebelum memasuki bukit doa ini. Wajar donk, saya jadi tertarik banget untuk masuk ke dalamnya? Bagi penganut Nasrani, harusnya cukup tahu bahwa Getsemane adalah nama sebuah taman yang tertulis di dalam alkitab, tempat Yesus berdoa semalaman sebelum akhirnya ia diserahkan.
Jelas, dari namanya, tempat ini adalah objek wisata rohani. Gerbang depan tempat ini berbentuk relief-relief yang menggambarkan peristiwa mukjizat yang terjadi pada jaman Yesus Kristus. Salah satu relief yang ada adalah tentang Yesus menenangkan angin ribut di Danau Tiberias. Sayang sekali, walaupun sudah tampak rapih, namun bukit doa ini belum selesai sepenuhnya. Indikator paling jelas bisa dilihat dari tiadanya jalan masuk “normal” untuk masuk menuju ke area dalam. Kami harus melewati tempat yang masih agak berantakan sebelum mencapai gerbang dan bagian dalam bukit doa. Ketika mencapai bagian dalam pun, secara kebetulan kami bertemu dengan sejumlah pekerja yang baru saja hendak pulang setelah menyelesaikan proses pembangunan bukit doa ini. Sedikit bertanya, mereka berkata bahwa kalau tidak ada halangan, bukit doa ini akan dibuka dalam satu atau dua bulan ke depan. Hmm…saya sendiri meragukan hal tersebut sich soalnya bagian dalamnya bener-bener nggak ada apa-apa dan masih jauh dari kesan rapih. Bagian dalam yang saya pikir ada bangunan atau patung-patung jalan salib ternyata kosong sama sekali. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah perbukitan Samosir yang menghijau saja. Satu-satunya ornamen buatan manusia yang sudah hadir di tepat tersebut hanyalah patung Yesus dengan kedua tangannya yang seperti hendak memberkati, namun letaknya cukup jauh. Sejumlah puncak gereja lengkap dengan salibnya terletak di kejauhan dan tertutup oleh rerimbunan tanaman. Sejumlah pekerja sedang merawat tanaman dan sebagian lainnya tampak mengawasi. Ya, bukit doa ini belum selesai sama sekali. Hanya gerbangnya saja yang sudah selesai. Bagian depan gerbang yang memiliki air mancur pun tampak kosong dan dijadikan tempat mencari makan bagi segerombolan keluarga ayam. Hehehe. Mungkin pada saat kunjungan saya berikutnya ke Samosir –entah kapan-, bukit doa ini sudah siap untuk digunakan untuk umum. Mudah-mudahan saja.
Skarang Bukit Doa Getsemane sudah slsai di bangun....
ReplyDeletega spt yang anda utarakan lagi meskipun masih tahap pembangunan.
trim's.
Fajar.
terima kasih atas update-annya. ini memang tulisan lama per tahun 2011 di Bulan Agustus. Thanks untuk infonya, mudah-mudahan saya bisa kembali ke sana lagi :)
ReplyDelete