Saya berada di Simpang Beta Garoga, persimpangan Tuk-Tuk Siadong sambil meminum minuman ringan dan memakan Kacang Rondam. Sore itu waktu telah menunjukkan pukul 6 sore namun matahari belum benar-benar terbenam seutuhnya. Kata beberapa warga, angkutan Tomok – Pangururan akan tersedia hingga pukul 8 malam. Jadi, saya nggak kuatir-kuatir banget, toh masih dua jam lagi untuk mendapatkan angkot. Sambil makan kacang dan menikmati semilir angin, saya menunggu dengan sabar di tepi jalan. Namun, ketika akhirnya kacang terakhir saya kunyah dan saya membersihkan sisa-sisa kulit kacang, tiada angkutan yang sedianya membawa saya hingga ke Pangururan. Beberapa angkutan yang lewat tidak bersedia membawa saya kesana. Kenapa yach?
Perasaan takut mulai merambati saya. Jangan sampai deh malam ini saya harus bermalam di Tuk-Tuk Siadong lagi alih-alih Pangururan, bisa kacau semua rencana saya nantinya. Akhirnya, karena penantian tidak kunjung datang, saya memutuskan untuk berjalan kaki kembali ke arah Tomok dengan pertimbangan bahwa di pelabuhan Tomok banyak kendaraan yang berhenti untuk menunggu kapal yang baru saja tiba dari Ajibata. Daripada nggak melakukan sesuatu sama sekali, saya lebih suka bergerak. Ini memberikan saya ilusi bahwa saya selalu menuju ke suatu arah, daripada diam sama sekali. Jadi, saya bergerak dengan berjalan kaki menuju pelabuhan Tomok sambil menatap Samosir yang pelan-pelan diselimuti keremangan senja. Angkutan memang tersedia dari pagi sampai jam 8 malam, namun pelan-pelan jumlah angkutan akan berkurang secara signifikan menjelang matahari terbenam. Ini menjelaskan mengapa beberapa angkutan yang kami lihat tidak mau mengangkut penumpang lagi padahal senja belum tiba.
Untungnya, tanpa menyentuh pelabuhan pun saya sudah mendapat angkutan yang akan membawa kami ke Ibukota Samosir, Pangururan. Ini pun dengan catatan, anda harus rajin memberhentikan setiap angkutan yang lewat dan bertanya. Angkutan yang kami berhentikan pun sebenarnya terlihat tidak meyakinkan, karena sudah penuh sekali. Namun, sang supir nampaknya memang sedang getol mencari uang, sehingga ia turun dan bertanya tujuan kami. Dengan sedikit kreatifitas, ia meletakkan tas-tas kami di sejumlah celah tersisa di angkutan yang sangat penuh tersebut dan menempatkan kami berdua di lokasi yang berbeda. Jadilah kami menaiki angkutan yang super penuh tersebut. Sebenarnya sich saya sempat meragukan angkutan tersebut dalam membawa kami ke Pangururan. Bahkan, saya bermaksud menunggu yang lain saja, atau mencari di pelabuhan dengan pertimbangan disana ada angkutan yang kosong. Namun, melihat usaha bapak supir yang telah menyempil-nyempilkan tas kami, akhirnya saya tidak dapat menolak lagi. Sudahlah, jalani saja perjalanan dalam angkutan super penuh dan padat ini. Hehehehe.
Untungnya, perlahan namun pasti, sejumlah orang mulai turun di beberapa titik. Dari Tomok ke Ambarita saja, angkutan tersebut sudah bisa dikatakan cukup manusiawi kembali. Syukurlah, karena dua desa ini berjarak tidak terlalu jauh. Sisanya, sepanjang perjalanan kami tempuh dalam kondisi angkutan yang setengah penuh. Perjalanan malam menembus belantara Samosir membuat saya tidak bisa menyaksikan apapun. Minimnya penerangan sama sekali di beberapa bagian pulau membuat saya sudah tidak bisa menerka, dimanakah saya berada. Ditambah dengan sinyal telepon selular yang pelan-pelan hidup dan mati, alhasil tidak ada sesuatu pun yang dapat saya lakukan selain tertidur. Entah darimana, serangan tidur tersebut langsung saja menyerbu saya. Bersamaan dengan saya, ada beberapa orang yang tertidur dan baru terbangun di suatu desa serta baru menyadari bahwa mereka sudah melewatkan lokasi tujuan. Waw. Malam-malam harus berbalik arah seperti itu pastinya tidak mengenakkan. Saya terbangun di sekitar Lumban Suhi-Suhi. Saya mengenali sejumlah makam yang ternyata pada malam hari bersinar cukup terang. Bahkan, saya sempat merasakan dorongan untuk turun dan berfoto-foto di makam-makam cantik tersebut. Sayangnya, saya naik angkutan umum dan saya tidak bisa berhenti di sembarang tempat. Kalaupun saya nekad berhenti, saya nggak yakin nantinya akan ada angkutan lagi yang akan membawa saya untuk terus menuju Pangururan. Mau menunggu malam-malam di kegelapan belantara? Hiiiii. Akhirnya, saya biarkan diri saya menikmati pemandangan yang tersaji hingga menuju Pangururan.
Perasaan takut mulai merambati saya. Jangan sampai deh malam ini saya harus bermalam di Tuk-Tuk Siadong lagi alih-alih Pangururan, bisa kacau semua rencana saya nantinya. Akhirnya, karena penantian tidak kunjung datang, saya memutuskan untuk berjalan kaki kembali ke arah Tomok dengan pertimbangan bahwa di pelabuhan Tomok banyak kendaraan yang berhenti untuk menunggu kapal yang baru saja tiba dari Ajibata. Daripada nggak melakukan sesuatu sama sekali, saya lebih suka bergerak. Ini memberikan saya ilusi bahwa saya selalu menuju ke suatu arah, daripada diam sama sekali. Jadi, saya bergerak dengan berjalan kaki menuju pelabuhan Tomok sambil menatap Samosir yang pelan-pelan diselimuti keremangan senja. Angkutan memang tersedia dari pagi sampai jam 8 malam, namun pelan-pelan jumlah angkutan akan berkurang secara signifikan menjelang matahari terbenam. Ini menjelaskan mengapa beberapa angkutan yang kami lihat tidak mau mengangkut penumpang lagi padahal senja belum tiba.
Untungnya, tanpa menyentuh pelabuhan pun saya sudah mendapat angkutan yang akan membawa kami ke Ibukota Samosir, Pangururan. Ini pun dengan catatan, anda harus rajin memberhentikan setiap angkutan yang lewat dan bertanya. Angkutan yang kami berhentikan pun sebenarnya terlihat tidak meyakinkan, karena sudah penuh sekali. Namun, sang supir nampaknya memang sedang getol mencari uang, sehingga ia turun dan bertanya tujuan kami. Dengan sedikit kreatifitas, ia meletakkan tas-tas kami di sejumlah celah tersisa di angkutan yang sangat penuh tersebut dan menempatkan kami berdua di lokasi yang berbeda. Jadilah kami menaiki angkutan yang super penuh tersebut. Sebenarnya sich saya sempat meragukan angkutan tersebut dalam membawa kami ke Pangururan. Bahkan, saya bermaksud menunggu yang lain saja, atau mencari di pelabuhan dengan pertimbangan disana ada angkutan yang kosong. Namun, melihat usaha bapak supir yang telah menyempil-nyempilkan tas kami, akhirnya saya tidak dapat menolak lagi. Sudahlah, jalani saja perjalanan dalam angkutan super penuh dan padat ini. Hehehehe.
Untungnya, perlahan namun pasti, sejumlah orang mulai turun di beberapa titik. Dari Tomok ke Ambarita saja, angkutan tersebut sudah bisa dikatakan cukup manusiawi kembali. Syukurlah, karena dua desa ini berjarak tidak terlalu jauh. Sisanya, sepanjang perjalanan kami tempuh dalam kondisi angkutan yang setengah penuh. Perjalanan malam menembus belantara Samosir membuat saya tidak bisa menyaksikan apapun. Minimnya penerangan sama sekali di beberapa bagian pulau membuat saya sudah tidak bisa menerka, dimanakah saya berada. Ditambah dengan sinyal telepon selular yang pelan-pelan hidup dan mati, alhasil tidak ada sesuatu pun yang dapat saya lakukan selain tertidur. Entah darimana, serangan tidur tersebut langsung saja menyerbu saya. Bersamaan dengan saya, ada beberapa orang yang tertidur dan baru terbangun di suatu desa serta baru menyadari bahwa mereka sudah melewatkan lokasi tujuan. Waw. Malam-malam harus berbalik arah seperti itu pastinya tidak mengenakkan. Saya terbangun di sekitar Lumban Suhi-Suhi. Saya mengenali sejumlah makam yang ternyata pada malam hari bersinar cukup terang. Bahkan, saya sempat merasakan dorongan untuk turun dan berfoto-foto di makam-makam cantik tersebut. Sayangnya, saya naik angkutan umum dan saya tidak bisa berhenti di sembarang tempat. Kalaupun saya nekad berhenti, saya nggak yakin nantinya akan ada angkutan lagi yang akan membawa saya untuk terus menuju Pangururan. Mau menunggu malam-malam di kegelapan belantara? Hiiiii. Akhirnya, saya biarkan diri saya menikmati pemandangan yang tersaji hingga menuju Pangururan.
0 komentar:
Post a Comment