Perubahan Makassar Ke Arah Yang Lebih Baik


Sangat menyenangkan bisa kembali ke Makassar. Terus terang, Makassar adalah kota yang berubah paling banyak hanya dalam beberapa tahun berselang. Kunjungan pertama saya ke kota ini adalah tahun 2007. Dua tahun berselang, tepatnya tahun 2009, wah terus terang saya sudah nggak bisa mengenali lagi kota ini. Kota Makassar benar-benar berubah sangat banyak. Nampaknya, pemerintah Kota Makassar dan pemerintah propinsi Sulawesi Selatan benar-benar serius berbenah dan ingin menjadikan Makassar sebagai destinasi wisata yang patut diperhitungkan di Indonesia dan sekaligus gerbang menuju Indonesia Timur.
Suasana runway Bandara Hasanuddin tahun 2007
Suasana malam, tampak bagian depan bandara Hasanuddin yang megah tahun 2010
Saya masih ingat sekali akan kunjungan pertama saya ke Makassar. Bandara Sultan Hasanuddin yang dimiliki Makassar sama sekali tidak menimbulkan kesan apapun buat saya. Saya hanya bertanya-tanya dalam hati saja sich, koq bisa Kota sekelas Makassar namun bandaranya sekecil ini? Belasan porter menyerbu saya, berlomba-lomba mencoba ‘membantu’ kami mengambil bagasi dan membawakannya. Jujur, saya merasa apa yang mereka lakukan agak bersifat memaksa sich. Nah, perubahan drastis terjadi pada tahun 2009 dimana Bandara Hasanuddin ini memiliki bentuk baru yang luar biasa unik, luas dan buat saya, sangat bagus untuk dijadikan lokasi berfoto ria. Hohoho. Bagian paling mengesankan buat saya adalah atap lengkung yang bergaya art deco dengan warna-warni hitam-putih dan oranye-putih. Saya langsung bertanya-tanya dalam hati, “kemanakah Bandara Sultan Hasanuddin yang dahulu itu?”. Eksterior bandara dari depan, terlebih di saat malam hari juga sangat mengesankan buat saya. Indah sekali apalagi dengan deretan lampu-lampu yang menyala begitu gemerlapnya. Satu hal terakhir yang tidak boleh terlupa untuk disebutkan tentunya adalah miniatur Kapal Phinisi yang berada di tengah-tengah selasar kedatangan maupun keberangkatan. Kapal Phinisi ini sekaligus menjadi sebuah ikon Sulawesi Selatan dengan pelaut Bugisnya yang gagah berani mengarungi lautan. Tak ayal, lokasi Kapal Phinisi ini pun rutin menerima kunjungan pengunjung yang sekedar ingin melihat-lihat ataupun ingin berfoto.
Jalan Tol dengan "aksen tanah" ruas Biringkanaya - Makassar tahun 2007
Kembali lagi ke tahun 2007, saya teringat kembali ketika melalui Jalan Tol Biringkanaya yang berada di depan bandara guna menuju jantung Kota Makassar. Yang saya ingat, jarak antara bandara dengan kota cukup jauh, sehingga saya sangat mengingat apa yang saya lihat sepanjang perjalanan menuju kota. Bayangan umum akan suatu jalan tol adalah jalan layang atau jalan khusus yang berbayar, tentu dengan kondisi aspal mulus dan lengang sehingga kendaraan bisa memacu kecepatan dengan optimal. Namun, saya baru kali pertama melihat jalan tol yang unik dan tentunya tiada duanya, hanya di Makassar. Jalan tol ini tidak ubahnya sebuah jalan tanah dengan kondisi yang tidak memungkinkan kendaraan untuk dipacu dengan kencang. Sepanjang perjalanan, kendaraan bergerak perlahan melintasi jalan tanah dengan gundukan disana-sini sembari berjuang untuk menghindari bagian yang tidak terlalu rata. Hahaha. Seru! Nah, keseruan tersebut belum berhenti sampai disitu saja. Jalan tol ini ternyata terhubung dengan sejumlah bangunan di sepanjang jalan tol yang saya duga adalah sebuah pabrik. Jadi, Jalan Tol ruas Biringkanaya – Makassar terhubung dengan jalan masuk bangunan-bangunan yang saya duga adalah pabrik yang tersebar di sepanjang jalan tol ini. Sejumlah rumah apung dengan arsitektur panggung pun tampak di tepi jalan tol yang berbatasan dengan perairan (saya jadi bertanya sendiri, “apakah kita berada di tepi laut?”) lengkap dengan perahu-perahu kecilnya. Seakan kejutan belum cukup, sambil melaju di jalan tol tersebut, kendaraan yang saya lalui beberapa kali berhadapan atau bersisian dengan pete-pete (angkutan kota Makassar) yang beberapa kali menaikkan maupun menurunkan penumpang. Hehehe. Jalan tol ini tidak ubahnya bagaikan jalan raya umum. Kejutan terakhir adalah ketika saya menjumpai beberapa ekor sapi yang hendak menyebrang jalan di jalan tol! Kendaraan yang saya tumpangi terpaksa harus mengalah demi memberikan jalan pada sapi-sapi tersebut yang ternyata menyebrang dengan santai. Hehehehe. Sungguh, ini suatu pengalaman unik yang saya kira belum tentu akan saya dapatkan lagi di manapun, maupun di masa yang akan datang. Melengkapi semua keunikan tersebut, jalan tol ini tetap memungut biaya retribusi bagi setiap kendaraan yang akan melintas! Melihat kondisi jalan tol ruas Biringkanaya – Makassar pada tahun 2009, saya tentu akan berkata, “ya, saya tidak akan bisa menjumpai jalan tol unik itu lagi”. Jalan tol yang unik dan berjalan tanah tersebut telah berubah menjadi jalan tol yang seperti biasa kita kenal. Selamat tinggal saya ucapkan pada jalan masuk pabrik yang bersatu dengan jalan tol, serta para sapi-sapi tersebut. Hmm...tiba-tiba saya terpikir, dimanakah mereka harus menyebrang sekarang? Hihihi.
Lapangan Karebosi tahun 2007
Lapangan Karebosi tahun 2009, lengkap dengan Karebosi Link di bawah tanah
Pantai Akkarena, Tanjung Bunga tahun 2007
Wajah Makassar pun jauh berubah dibanding dua tahun lalu. Sungguh, dua tahun bukanlah waktu yang lama, namun juga bukan waktu yang singkat karena dalam sekejab, wajah Makassar begitu berubah drastis. Perubahan yang paling saya ingat terjadi di pusat kota adalah yang terjadi pada Lapangan Bola Karebosi. Kalau dahulu, lapangan ini tidak terlalu mencolok mata karena mata biasanya hanya tertuju pada dua buah patung yang sedang bermain bola, satu dengan kostum olahraga dan satunya lagi dengan kostum ala lelaki Makassar. Lapangan bola ini, pun maaf-maaf saja, tidak menarik untuk dilihat karena hampir kosong. Bandingkan dengan tahun 2009 dimana Lapangan Karebosi telah direvitalisasi sedemikian rupa sehingga tribun untuk penonton telah ditata dengan sangat baik dan rapih. Penambahan drastis dari Lapangan Karebosi tentunya adalah Karebosi Link, yakni mall bawah tanah yang berada di bawah Lapangan Karebosi. Wow! Mungkin ini adalah satu-satunya mall bawah tanah di Indonesia kali yach? Kawasan Tanjung Bunga yang sekarang dikenal memiliki Celebes Convention Center dan Trans Studio pertama di Indonesia memang sangat menarik minat para pelancong dari seluruh Indonesia untuk bertandang ke Makassar. Namun dahulu, pada tahun 2007, wilayah ini masih sangat kosong dan saya hanya ingat Pantai Akkarena sajalah yang menjadi pemanis kawasan ini. Cukup menggembirakan dan membanggakan yach perkembangan Kota Makassar dalam kurun waktu yang cukup singkat ini. Dalam sekejab, Makassar mampu menarik pelancong dari berbagai tempat di Indonesia. Dalam skala kecil dan pendek, para pelancong tersebut mungkin terpikat akan Trans Studio yang pertama kali dibuka di Makassar. Namun, dalam skala lebih besar dan lebih panjang, para pelancong tersebut akan menikmati kuliner khas Makassar dan Sulawesi Selatan, kemudian berkunjung ke Bantimurung, Malino, Tanjung Bira, Danau Tempe, hingga Tana Toraja! Upaya pemerintah Kota Makassar dan Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan tampaknya sudah sangat berhasil dalam rangka memajukan Makassar dan Sulawesi Selatan sebagai tujuan wisata yang seksi di mata pelancong, baik lokal maupun internasional! Kita tunggu saja ada kejutan apalagi yang akan dibuat oleh pemerintah daerah Sulawesi Selatan yang pastinya akan semakin menarik minat para pelancong! Ya, saya menunggu!

Tulisan ini diikutsertakan pada Lomba Blog Promosi Wisata Sulawesi Selatan yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan bekerja sama dengan CV.Mandasini Putra Utama. Kegiatan ini juga menggandeng Komunitas Blogger Makassar Anging Mammiri dan KoshMediaTama sebagai partner.


0 komentar:

Post a Comment