Merasakan Coto Makassar Di Terminal Tello

Sebelum perjalanan panjang menuju Tana Toraja, ada baiknya anda mengisi perut terlebih dahulu pada malam hari ini. Berhubung sudah berada di Tello, ada baiknya anda tidak pergi jauh-jauh dari terminal bus Litha agar bisa kembali dengan mudah. Pilihan makam malam kali ini jatuh kepada Coto Makassar. Pilihan ini dibuat berdasarkan saran seorang bapak penjaga toilet terminal yang asli Orang Toraja. Bapak tersebut bilang Coto Makassar ini enak sambil terus menerus mengacungkan jempolnya kepada saya. Hmm...mari kita coba sambangi.
Coto Makassar adalah makanan khas Makassar dengan isi daging-dagingan (bisa sapi atau kerbau) plus kuah mirip dengan soto yang kita kenal. Daripada asin, rasa coto cenderung gurih namun hambar. Pilihan untuk menambahkan garam kembali kepada anda. Coto umum disajikan dalam mangkuik yang berukuran tidak terlalu besar, kira-kira sebesar cawan nasi. Apakah bisa kenyang dengan makan semangkuk Coto saja? Mungkin tidak. Oleh karena itu, tersedia buras untuk dimakan bersama dengan Coto. Buras sendiri adalah sebutan lokal untuk beras yang diungkep di dalam ketupat atau jalinan daun kelapa. Rasanya hambar, sama seperti lontong atau ketupat nasi yang kita kenal. Buras ini dipotong-potong untuk kemudian dicemplungkan ke dalam coto.
Agar kenyang, saya sendiri menghabiskan 3 buah buras bersama dengan semangkuk coto. Rasanya seperti yang saya katakan tadi, cenderung gurih daripada asin. Memang cotonya lumayan enak, hanya saja tempatnya yang menurut saya agak kurang memadai. Walaupun memiliki tempat parkir yang cukup lebar (karena tepat berada di depan Terminal Tello), namun situasi di dalam agak sempit. Ditambah dengan pencahayaan yang agak remang-remang dan penjual yang kurang ramah, membuat saya agak malas untuk makan lagi disini sebenarnya. Bapak tersebut menjawab pertanyaan saya dengan geraman atau suara tak jelas ala kadarnya. Mungkin beliau juga heran kali yach. Ini orang, mau makan aja banyak tanya-tanya, repot bener! Hahaha...Soalnya saya memang bertanya, apa bedanya Coto dan Pallubasa mengingat bapak tersebut bertanya, mana yang saya inginkan. Bapak tersebut menjelaskan dengan agak malas, bahwa Pallubasa menggunakan santan sementara Coto tidak. Kemudian saya bertanya lagi tentang bahan buras, kemudian cara makannya. Mungkin ini yang bikin bapak tersebut sebal menjawab semua pertanyaan saya. Tamu yang cerewet, mungkin begitu kali pikirnya. Akibat geraman dan jawaban gak jelas tersebut, saya langsung malas bertanya-tanya lagi dan ngobrol dengan si bapak yang ternyata memilih untuk tidur-tiduran di dipan belakang warungnya. Harga makanan ini Rp. 11.000 sudah termasuk minum air putih. Lumayan untuk ganjel perut tapi tidak untuk semua pertanyaan saya yang tidak terjawab.

2 komentar:

  1. moga gw juga sempat nyobain makanan ini,,.kayaknya enak,nih

    ReplyDelete
  2. Sambil tanya tanya aja orang sekitar, Nas. Coto mana yang enak dan recommended. Trus tanya lagi aja, berhubung lo ga doyan kerbau, pakainya daging apa, kerbau atau sapi :D

    enjoy Makassar!

    ReplyDelete