Orahili Di Kaki Bawömataluo

Setelah mengunjungi tiga desa adat di Nias Selatan, saya mulai mengambil kesimpulan sendiri, bahwa bentuk desa adat kurang lebih serupa. Intinya hanya berupa jalan yang panjang dan lebar dengan deretan rumah di kanan dan kirinya, baik rumah agak baru dengan bahan baku batu bata, kayu atau rumah asli masyarakat Nias Selatan yang bernama Omo Hada dengan fondasi persegi dan atap juga persegi. Selalu, semua desa adat memiliki jalan masuk yang berupa tangga yang bersusun cukup tinggi. Selain itu, ada sebuah batu yang digunakan untuk Hombo Batu yang terdapat persis di tengah-tengah desa. Umumnya, setiap desa masih memiliki peninggalan megalitik seperti batu-batu yang diukir sangat khas Nias. Selain ketiadaan Omo Sebua yang menjadi rumah besar tempat tinggal pemimpin adat masyarakat, hampir semua desa adat di Nias sama bentuknya.
Demikian pula dengan Orahili yang terletak tidak jauh dari Desa Bawomataluo. Walaupun dari Bawomataluo, Orahili sedikit terlihat, akan tetapi dari Orahili koq saya nggak bisa melihat Bawomataluo yach? Apakah saya berada di titik pandang yang salah-kah? Lagi-lagi, fenomenalnya desa adat Nias mungkin hanya dimiliki oleh Bawomataluo saja yang sudah sangat turistis. Dibanding Bawomataluo, Orahili sangat jauh berbeda. Kesan turistis sama sekali tidak tertangkap di desa ini. Bahkan, dua orang ibu-ibu menyapa saya terlebih dahulu sebelum memasuki pintu gerbang desa. Mereka berdua lalu segera berlalu sambil tertawa malu-malu saat saya hendak mengabadikan gambar tangga masuk desa ini.
Walaupun tidak sefenomenal Bawomataluo, namun Orahili layak untuk dikunjungi juga. Deretan Omo hada yang berjejer memanjang masih bisa ditemukan di tempat ini. Dasar alas desa ini pun mirip dengan Bawomataluo, yakni menggunakan susunan batu. Sembari memasuki desa, anda akan disambut oleh batu-batu peninggalan megalitik di desa ini, baik berupa semacam arca biasa, Menhir, ataupun Dolmen. Yang cukup merusak suasana romantisme khas Nias Selatan, tetap, yakni baju-baju yang dijemur tak tentu arah. Baju-baju hasil cucian tersebut, selain dijemur dengan cara digantung dengan tali di depan setiap Omo Hada, juga digantungkan di arca, dolmen, menhir, hingga ditebarkan di atas jalanan persis di depan rumah. Eh, bukannya jadi kotor lagi yach itu?
Yang sedikit membedakan di desa ini dengan desa-desa adat sebelumnya adalah adanya semacam balai pertemuan tanpa dinding yang berada di tengah desa, dan di sebelahnya dilengkapi dengan semacam lonceng pemanggil, yang sudah tidak digunakan saat ini. Selain lonceng yang sudah tidak dipergunakan, balai tersebut masih dipergunakan oleh para warga untuk berkumpul guna bercengkrama, atau rapat adat desa. Nggak jauh dari lonceng dan balai di tengah desa tersebut, berdirilah batu yang dipergunakan para Fahombe untuk melompat. Saya sendiri sedikit mengobrol dengan para penduduk yang berkumpul di balai tersebut. Cukup terlihat bahwa arus kunjungan turis tidak sebanyak di Bawomataluo. Ini terlihat dari masih tingginya ketertarikan mereka terhadap turis yang datang. Selain itu, tidak adanya pusat penjualan souvenir maupun kantor pariwisata cukup menegaskan bahwa desa ini adalah salah banyak dari desa adat Nias Selatan yang non-turistis.
Walaupun sudah tidak memiliki Omo Sebua, namun desa ini cukup kaya akan peninggalan batu-batuan megalitik yang penuh ukiran dan makna. Kalau tertarik dengan bebatuan dan seni pahat Nias Selatan, mungkin anda bisa mencoba berkunjung ke Desa Orahili ini. Sambil berkunjung, jangan lupa untuk menyapa dan bercengkrama dengan penduduk sekitar yach. Kalau perlu, sempatkan diri untuk duduk dan mengobrol di sofa batu yang cantik ini.

0 komentar:

Post a Comment