Jembatan Unik Menuju Orahili

Setelah Siwalawa, saya menuju desa adat terakhir dalam kunjungan hari tersebut. Desa tersebut adalah Orahili (terkadang disebut Orohili, Orihili). Kalau anda masih ingat beberapa postingan sebelumnya, Orahili terletak di bawah Bawömataluo. Namun, ini tidak membuat Orahili mudah diakses. Walaupun ada jalan menuruni tangga yang bisa dituruni dari Bawömataluo, namun sang supir ojek saya memutar hingga ke jalan raya Teluk Dalam untuk masuk melalui jalan yang berbeda. Nggak mungkin juga donk kalau sepeda motornya ditinggalkan begitu saja di Bawömataluo? Sehabis ini kan saya masih mau ke pantai. Hehehe.
Yang unik dan sangat membekas dari kunjungan saya menuju Orahili adalah kondisi jalannya. Walaupun sudah beraspal dan cukup bagus untuk dilalui (lebih enak lah daripara Bawömataluo - Siwalawa). Namun ada tiga buah jembatan yang menurut saya, nggak laik digunakan dan mengerikan. Ini mungkin bisa menjadi cerminan betapa buruknya infrastruktur kita (atau justru saya malah harus berpandangan positif bahwa masyarakat kita kreatif dan cerdas?). Jembatan yang dimaksud, walaupun dua diantaranya sudah memiliki pegangan pinggir dan ujung-ujungnya sudah beraspal, namun secara keseluruhan, badan jembatan terbuat dari susunan batang pohon kelapa (walau ada juga kayu jenis lain yang panjang, tegak dan gilig). Jreng!.
Satu diantara jembatan tersebut bahkan sudah bolong-bolong dan mengerikan untuk kendaraan yang melintas di atasnya. Walaupun nggak terlalu panjang, namun rute ini sudah mampu dilalui oleh mobil. Yang mengerikan sich tetap jembatan tersebut yang bisa dikategorikn sebagai jembatan darurat. Salah-salah melintas, bisa saja roda mobil tersebut amblas ke dalam lubang di antara pohon tersebut, bukan? Yang paling mengerikan dari tiga jembatan serupa yang dilalui adalah yang potongan pohonnya tidak rata dan tidak memiliki pegangan di pinggir sama sekali. Dijamin, setiap pengendara harus berdoa terlebih dahulu sebelum melintas jembatan pendek ini. Hihihi. Bawahnya jembatan-jembatan tersebut sih anak sungai yang tidak terlalu dalam dan tidak terlalu berair. Jarak antara pijakan jembatan dan dasar sungai sebenarnya nggak terlalu jauh juga, bukan seperti jembatan di wilayah pegunungan. Namun demikian, tentu tidak ada yang mengharapkan suatu masalah ketika ada seseorang, satu motor, atau mobil mencoba menyebrangi jembatan ini, bukan? Saya sendiri diminta untuk turun oleh supir ojek saya agar beliau bisa melakukan manuver sendiri di atas jembatan tersebut. Saya? Saya berjalan kaki sendiri sambil melakukan manuver juga.
Antara batang-batang pohon tersebut diikat dengan tali dan sebagian lainnya oleh rantai bekas sepeda atau sepeda motor. Walaupun masing-masing dari batang kayu tersebut tidak bisa berputar di porosnya, namun tetap saja pengalaman ini sungguh pengalaman yang unik dan sedikit membuat ketar-ketir. Kalau saya tetap berada di atas motor pada saat penyebrangan sich, mungkin ketar-ketirnya lebih parah kayaknya. Hehehehe. Nggak kebayang dech kalau yang melintas itu adalah mobil atau truk kalau melihat kondisi jalanannya yang demikian. Pasalnya, kedua sisi penyambung jembatan sudah mulus beraspal. Kenapa juga jembatannya belum dibikin yang lebih baik? Masalah kearifan lokalkah? Saya rasa nggak.

0 komentar:

Post a Comment