Sebenarnya, acara makan di tempat ini terjadi begitu saja, tanpa perencanaan sama sekali. Memang sich, perut yang agak sedikit keroncongan minta diisi akhirnya menuntut saya untuk masuk ke Surabaya Plaza, plaza di dekat Zangrandi Ice Cream. Saya muter-muter dulu di dalam untuk ngelihat tempat makan apa aja sich yang menarik dan bisa isi perut ala kadarnya sebelum saya take off kembali ke Jakarta. Tidak menemukan adanya tempat makan yang menarik, saya keluar lagi ke bagian depan halaman Surabaya Plaza, berniat untuk pulang saja.
Sebuah neon box besar berwarna lime spring green mencuri perhatian saya sejenak. Neon box tersebut bertuliskan “Kedai Teras Pedagang Kaki Lima”. Di bawah judul besar tersebut, ada deretan menu beserta harga-harganya. Kesan pertama yang terlintas dalam benak saya dalah “wah…murah! Yuk kita makan!”. Saya pun celingukan mencari tempat yang dimaksud. Ternyata, kedai teras ini adalah bangunan tambahan yang berada di sisi barat Surabaya Plaza, berbeda dengan bangunan induk walau masih dalam satu area. Bangunan tambahan ini mengingatkan saya akan food court sederhana karena tidak dicat warna-warni, hanya putih saja. Untungnya, bagian dalam kedai teras ini ber AC.
Jadi konsepnya seperti ini, ada sejumlah stand-stand kecil tempat pedagang menyediakan makanan atau memasak makanannya disana. Yang perlu kita lakukan adalah pergi ke kasir utama yang agak berada di tengah, memesan menu yang kita inginkan, membayar dan mengambil nomor pesanan makanan. Di kasir tersebut, ada sejumlah halaman menu dari stand yang berbeda-beda. Kita tinggal memesan menu dari daftar menu tersebut. Kalau sudah, carilah tempat duduk, tunggu, nanti ada pelayan yang akan mengantarkan makanan pesanan kita.
Harganya sich memang cukup murah untuk makanan ala mall. Contohnya saja, nasi pecel, nasi sop, nasi gudeg, nasi campur semuanya berharga RP. 4.500. Untuk nasi sate ayam, nasi gule, nasi padang, nasi ayam penyet hanya berharga Rp. 5.000. Agak kelewatan sich yach murahnya? Tapi saya jadi wanti-wanti sendiri. Kayak apa sich rasa makanan yang bisa diberikan kalau harganya seperti itu? Jus buahnya saja hanya Rp. 3.000 untuk aneka jenis buah. Mencengangkan yach?
Kekurangan pertama segera terlihat begitu kami memesan makanan. Sejumlah produk makanan habis dan hanya tersedia yang terpajang di etalase. Etalasenya sendiri tidak menarik dan saya langsung memutuskan tidak ingin makan melihat tampilan makanan yang seperti itu (mungkin saja sudah dari pagi?). teman saya yang agak lapar, memutuskan untuk membeli produk nasi goreng saja. Setidaknya, karena digoreng harusnya aman karena diolah lagi.
Kekurangan kedua adalah waktu pengantaran makanan yang menurut saya cukup lama. Memang, food court harusnya disesaki dengan banyak orang sehingga memungkinkan pelayanan berjalan lambat karena harus melayani banyak orang. Kenyataannya, malam tersebut, kedai teras tersebut tidak terlalu ramai. Mungkin pengunjungnya hanya sekitar 20-30an orang saja. Saya sampai sebal sendiri kalau ingat pesanan saya yang nggak datang-datang padahal jadwal keberangkatan saya ke bandara cukup mepet. Sempet terbersit bahkan keinginan untuk membatalkan pesanan. Mungkin karena komplain berkali-kali, akhirnya pesanan tersebut datang juga.
Rasa Jus mangga yang saya pesan memang berasa cukup mangga. Untuk harga Rp. 3.000, rasa jus yang saya minum sudah cukup pantas. Cukup mangga walaupun tidak terlalu kental. Sebaliknya, nasi goreng merah yang dipesan oleh teman saya memiliki rasa ala kadarnya. Bahkan, rasanya ada dech nasi goreng seharga Rp. 4.500 yang bisa lebih enak dan lebih variasi dibandingkan ini. Nasi goreng tersebut berwarna merah polos tanpa adanya isian apapun dan di atasnya diberikan telur ceplok saja. Sesederhana itu. Rasanya, mungkin karena lapar, yah…masuk-masuk saja sich ke perut. Tapi kalau diingat-ingat lagi, nasi goreng tersebut tidak ada rasanya. Hampir hambar. Enaknya hanya karena nasi tersebut hangat baru digoreng. Entah bagaimana kalau sudah dingin.
Minuman the yang teman saya pesan ternyata juga parah. Saya melihat sendiri the tersebut disajikan di depan saya. Gelas tersebut diisi dengan batu es dan kemudian, si mbak tersebut menyerokkan gelas yang berisi es tersebut ke dalam sebuah tempayan. Voila, es teh sudah jadi! Es teh tersebut tidak diantarkan tetapi harus diambil sendiri, dengan resiko kita melihat proses pembuatan es teh tersebut. Agak menakutkan sebenarnya. Untung, acara makan disini hanya sebagai pengganjal perut agar tidak kelaparan selama di pesawat. Memang, ada rupa ada harga. Pepatah tersebut hampir bisa digeneralisasi di semua aspek. Termasuk kedai teras ini salah satunya. Kalau saya ada budget lebihan, mungkin saya nggak akan melirik tempat ini lagi. Saya percaya, nasi goreng pinggir jalan pun ada yang lebih enak dari yang pernah teman saya makan itu. Maaf-maaf saja, tapi Kedai Teras ini ini perlu untuk meningkatkan kualitas rasa dan pelayanannya. Dari segi kebersihan ruangan dan kenyamanan sich sudah cukup. Hanya beberapa aspek lain yang perlu dipoles. Kiranya, ke depannya Kedai Teras ini bisa lebih baik lagi dan semakin banyak pengunjung yang datang.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment