RM Mahligai, Pelepas Lapar Dan Dahaga Ala Adiankoting

 
Nampaknya sich sudah menjadi semacam jawaban atas pertanyaan permintaan (susah ya bahasanya?). Dimana ada kebutuhan, disana ada solusi untuk penyedianya. Begitu juga dengan rumah makan Mahligai yang terletak di antah berantah di tengah-tengah jalur Sibolga-Tarutung tepatnya di wilayah Adiankoting. Mata saya yang tak lepas-lepasnya mengamati lebatnya bukit barisan yang mulai luntur dan tergantikan oleh dataran tinggi berbukit-bukit tiba-tiba tertanam pada sebuah bangunan lumayan besar yang terletak di atas bukit yang agak datar. Kanan kirinya? bangunan hanya sedikit sekali, disertai dengan sejumlah rumah, gereja, dan sekolah. Jelas, jalur ini adalah jalur utama yang menghubungkan Tapanuli Utara dengan Tapanuli Tengah. Jika entah karena suatu hal jalur ini tertutup, pelaju antara dua kabupaten ini mungkin agak kesulitan untuk berpindah. Pilihan lainnya hanyalah melalui Dolok Sanggul - Pakkat - Barus di utara atau Sipirok di selatan.  
Rumah makan ini menjawab kebutuhan dasar supir dan pelancong yang melewati jalur ini. Masakannya? Seperti yang sudah bisa ditebak, jenis makanan yang 'hadir' untuk jalur semacam ini adalah jenis makanan yang dimasak sekali pada pagi hari sementara bisa tahan hingga sepanjang hari (dan beberapa jenis makanan bisa tahan beberapa hari). Ciri khas makanan di restoran ini adalah khas Padang. Makanannya bisa ditebak donk? Kentang balado, perkedel, ikan maupun ayam gulai nggak lepas dari deretan menu yang ada. Saya sendiri nggak terlalu berminat makan banyak ketika melakukan perjalanan jauh. Namun, 'berkat' makanan ini, saya semakin nggak berminat untuk makan lagi. hehehe. Walau demikian, saya tetap harus mengisi perut karena saya tidak tahu lagi kapan mobil akan berhenti untuk beristirahat. Saya tiba-tiba teringat dengan rumah makan khas Padang di Niki-Niki (So'E dan Kefa) , Tiga Binanga (Kutacane dan Kabanjahe), Samalanga (Banda Aceh dan Bireun), Toho (Pontianak dan Sanggau), Ise-Ise (Takengon dan Blangkejeren), Aimere (Borong ke Bajawa), maupun Perbaungan (Medan dan Tebing Tinggi). Sejumlah kota-kota ini memang merupakan kota yang terletak diantara dua kota besar yang jaraknya berjauhan. Mungkin memang sudah menjadi ciri khas kali ya kalau jarak jauh antara dua kota biasanya makanan Padang akan hadir di tengah-tengah itu. Yang agak berbeda mungkin hanyalah di Pulang Pisau (Banjarmasin - Palangkaraya) dan di Barru (Makassar - Pare-Pare) atau Sidenreng Rappang (Pare-Pare - Enrekang). Makanan di kedua kota ini masih menonjolkan ciri khas lokal.
Ciri khas lain dari makanan di kota antara ini adalah soal harga. Untuk menu seperti yang tampak di gambar ini, saya cukup hanya membayar biaya Rp 8.000. Bisa jadi, tanah Tapanuli Utara sangat kaya dan bahan makanan mudah didapatkan sehingga harga dasarnya memang murah. Soal rasa, jangan ditanya dech. Rasa makanannya jauhhh berbeda dengan makanan Padang di tanah aslinya. Makanan di kota antara nampaknya kurang memperhatikan soal rasa, namun lebih sebagai sumber kalori saja. Oh saya jadi teringat makanan Padang dengan gaya Ponorogo di Toho yang terletak sama-sama di tengah entah dimana. Untuk dua orang, saya harus membayar sekitar Rp 50.000 ke atas. Rasanya agak nggak rela dibandingkan rasa makanan yang harus diterima. Hiks.
Yang menyenangkan hanyalah saya bisa sedikit melemaskan kaki dan berjalan di sekitar wilayah ini untuk melihat wajah Adian Koting. Seorang turis asing di sebelah saya juga asyik mengabadikan pemandangan sekeliling melalui handycamnya. Perlu diingat, di lokasi seperti ini agak-agak sukar untuk menemukan penjual makanan, baik makanan siap santap maupun makanan kering yang dipergunakan sebagai bekal. Oleh sebab itu, sebaiknya anda makan makanan yang ada, mengingat Tarutung masih sekitar 1 jam perjalanan lagi tanpa mengetahui ada kemungkinan berhenti atau tidak. O ya, kalau ngga mau makan nasi, ada sejumlah kue kering produksi wilayah setempat yang bisa digunakan sebagai bekal. Biskuitnya agak unik dan nggak biasa ditemukan di belahan lain nusantara namun biasanya produksi Pematang Siantar yang memang biasanya terkenal memproduksi makanan ringan di penjuru Sumatera Utara.
Satu hal lain yang menyenangkan ialah tehnya. Teh di tempat ini menggunakan Teh Bendera, favorit saya selama berkelana. Teh manis sungguh melegakan sekaligus membuat perut menjadi tenang untuk perjalanan panjang. Saran saya, teh manis nggak boleh absen sih untuk rumah makan ini. Kalau kebetulan melewati rumah makan ini (kemungkinan besar sih akan berhenti disini), silahkan mampir dan menikmati secarik alam Adian Koting sambil meluruskan kaki (oh ya, Monumen Munsonn Lyman tidak jauh dari sini walau nggak bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Namun, sebaiknya dijadwalkan kalau misalnya memang anda menaiki mobil sewaan).








2 komentar:

  1. Itu yang masak pasti bukan orang Padang asli, ya? Soalnya saya pengalaman ke berbagai daerah, kalau yang masak bukan orang Padang asli ya pastilah rasanya seabal-abal plang rumah makannya :). Padahal saya kalau ke rumah makan Padang manapun menunya cuma satu: nasi, rendang (bumbunya doang, soalnya males ngunyah daging), kuah santan, otak dua porsi dan karepek paru dua porsi. Tapi cuma gitu aja kelihatan banget bedanya. Apalagi kalau menu yang lain, ya? Untung saya bukan orang Padang asli. Kalau ya, restoran-restoran abal-abal itu pasti saya gugat karena telah mencemarkan kekayaan kuliner Padang (halah, tau apa sih Yuanita Maya wong wawasannya cuma sebatas bumbu rendang. Hihihi).

    ReplyDelete
  2. hahahaha...
    nampaknya sih bukan ya....tapi nggak tahu juga, secara lokasinya dekat dengan perbatasan *masih jauh juga sih* hahaha.
    tapi emang cabai, air dan bumbu yang digunakan berpengaruh lho... mungkin itu sebabnya walaupun sama-sama Urang Minang, tapi lain bumbu di tiap daerahnya :p

    ReplyDelete