Setelah beberapa kali bertanya dan sedikit tersasar, akhirnya kami tiba di Desa Osango yang jalan masuknya benar-benar buruk. Jalan masuk desa yang tadinya saya bilang buruk tidak ada apa-apanya dibanding 100 meter sisa perjalanan. Tanjakan yang hanya terdiri atas gumpalan dan hancuran tanah liat tampak di depan saya. Sang supir ojek bahkan meminta saya untuk turun dari ojek agar ia bisa mendaki jalan tanah liat tersebut sendirian. Beliau nggak yakin bisa mendaki jalanan tanah liat tersebut sambil membonceng saya di belakang. Saya pun mendaki jalan tanah liat tersebut dan mendapati Desa Osango di depan saya.
Saya disambut oleh sebuah lumbung padi berarsitektur tradisional namun dengan atap asbes. Bangunan utama yang berada di tengah-tengah pelataran desa ini adalah sebuah gereja dan di sebelahnya, sebuah Banua Sura atau rumah berukir. Rumah-rumah penduduk lainnya tidak diukir atau setengah berarsitektur Mamasa namun sudah berbadan bata merah. Rumah tercantik di desa itu memang hanya gereja dan Banua Sura tersebut. Cantik dan sangat Mamasa sekali! Ukir-ukirannya memang sedikit banyak mirip dengan Toraja namun Mamasa memiliki kekhasan tersendiri. Misalkan saja, alih-alih ayam jantan dan matahari, dua ekor kerbau dan pohon kehidupan banyak menghiasi anjungan atap bangunan. Bentuk lainnya adalah bentuk kepala kuda yang menghiasi tiang utama rumah yang paling depan. Jelas, bentuk seperti ini tidak akan pernah ditemukan di wilayah Toraja. Bentuk atap Banua Sura yang melebar dan berkesan berat juga sangat berbeda sekali dengan atap Tongkonan yang biasanya ramping dan mencuat tinggi. Saya sangat terkagum-kagum oleh ukiran yang memenuhi sekujur bagian Banua Sura yang ada di desa ini. Benar-benar sebuah karya seni, menurut saya.
Para penduduk Osango tampaknya jarang sekali menerima kedatangan tamu ataupun turis. Cukup bisa dimengerti mengingat wilayah ini bukanlah lokasi objek wisata yang benar-benar dikembangkan dimana terdapat loket tiket dan kios-kios souvenir. Desa ini adalah murni desa yang masih ditinggali warganya dalam kehidupan yang bersahaja. Kunjungan turis adalah sesuatu yang masih agak ajaib di tempat ini. Masih ingat kan, sejumlah penduduk sekitar Osango tidak mengetahui dimana persisnya lokasi desa ini berada. Beberapa wanita di desa ini bahkan masih mengenakan pupur putih di wajahnya saat keluar dari rumah, sangat tradisional. Beberapa warga tampak malu-malu ketika saya mengajukan pertanyaan. Sayangnya pula, mereka rata-rata tidak bisa menjawab banyak saat saya bertanya tentang filosofi ukiran Mamasa atau pertanyaan lain yang berhubungan dengan kebudayaan mereka. Sayang sekali. Walaupun tinggal di Mamasa atau di daerah wisata, tidak semua warga cukup paham detail-detail penting tentang kebudayaan mereka.
Ketika saya bertanya tentang Kompleks Pekuburan Kuno Tedong-Tedong pun, mereka tidak bisa menunjukkan pasti akan lokasinya. Saya sempat bertanya kepada beberapa penduduk. Bapak ojek pun membantu saya menanyakan keberadaan lokasi Tedong-Tedong dalam bahasa Mamasa kepada penduduk setempat. Setelah kebingungan karena tidak ada yang tahu sama sekali, akhirnya mereka bertanya kepada warga yang lebih senior dan beliau mengatakan bahwa tidak ada Tedong-Tedong di Osango (padahal, saya mendapatkan informasi bahwa ada Tedong-Tedong berusia 200 tahun di tempat ini). Karena mereka mengatakan dengan yakin, maka saya pun percaya dan cukup berpuas diri dengan memfoto rumah-rumah adat mereka saja. Pemandangan sekitar Osango memang sudah cukup cantik. Ditambah dengan rumah adat dan sebuah Banua Sura, tempat ini menjadi semakin unik saja. Sayangnya, penataan tempat ini masih ala kadarnya, seperti kampung pada umumnya. Jarak pandang ke segala tempat cukup terbatas lantaran terhalang oleh atap. Sayang sekali, padahal pemandangan di sekitar desa harusnya luar biasa menakjubkan. Beberapa peralatan dan sampah pun seperti dibiarkan teronggok di sudut-sudut pemukiman. Seandainya lebih dipoles saja, pastinya Osango ini akan menjadi lebih menarik dan hidup. Namun saya juga bersyukur dengan tidak tereksposnya Osango. Kebersahajaan desa ini tidak membuat mereka menjadi komersil. Sedikitnya akses turis kepada tempat ini membuat mereka sangat terbuka dan senang ketika dikujungi turis tanpa ada maksud di balik itu. Mereka tersenyum dengan tulus dan bahkan mengijinkan saya untuk naik ke atas Banua Sura tanpa meminta imbalan apapun. Mereka bahkan tersenyum dan tertawa dengan malu-malu ketika saya difoto sambil bergaya oleh bapak supir ojek. Kejadian paling mengesankan tentunya adalah pada saat saya tiba di desa ini. Hampir semua penduduk membalas dengan riang, senyuman maupun anggukan yang saya lemparkan kepada mereka. Nggak hanya yang muda saja, yang tua, yang ompong dan yang beruban pun nggak mau ketinggalan melemparkan senyum. Ah, saya jadi nggak ingin beranjak dari tempat ini. Saya sudah terbius oleh keramahan tulus penduduk Osango. Namun, masih banyak daerah tujuan wisata yang harus saya tuju. Perjalanan pun harus dilakukan. Setelah puas berfoto-foto, saya pun memohon diri dan berpamitan. Mereka menampilkan senyum mereka yang paling tulus dan mengucapkan salam. Saya kembali menuruni jalanan tanah liat dan menaiki motor untuk kembali ke jalan raya besar.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
serial yg ini sungguh inspiratif deh. bangunan gerejanya juga cantik banget. sayang sekali akses kesana masih sulit ya
ReplyDeletehehehe...serial..:P kayak sinetron atau miniseri kali yah? wakakakak
ReplyDeleteIyah, buat saya yang paling mengesankan di Mamasa adalah Banua-nya :) Walaupun akses kesana sulit, tapi worthed banged dan suatu tantangan tersendiri koq :)
senang sekali atas tampilan yang benar-benar asia ! benar-benar nusantara ! sebab saat ini negri ini sudah tercemar oleh gaya timur tengah atau eropa yang minimalis jauh dari roh leluhur !
ReplyDelete