Seusai menikmati bentuk Candi Jiwa, kami berjalan lebih lanjut 500 meter ke arah candi Blandongan. Hampir sama seperti Candi Jiwa, candi kedua di kompleks Situs Batujaya ini terletak di areal persawahan. Walaupun telah dibuka dan bisa dikunjungi, namun Candi Blandongan masih masuk dalam candi yang sedang direstorasi. Hal ini terlihat jelas dari bedeng-bedeng seng penutup area candi. Kalau di Candi Jiwa sudah menggunakan pagar besi permanen, disini hanya ada pagar bedeng yang terbuat dari seng. Selama proses ekskavasinya belum selesai, rasanya pagarnya akan tetap seperti itu.
Plang dengan tulisan “Candi Blandongan” menyambut kami di ujung jalan setapak ini. Ya, baru dua candi ini saja yang diberi jalan setapak. Situs candi lain belum dipugar sama sekali. Bahkan untuk menuju ke lokasi situs lain harus menyusuri pematang sawah. Kesan pertama yang kami dapatkan ketika tiba di Candi Blandongan adalah : bentuk fisiknya berbeda dengan Candi Jiwa. Ya, bentuk fisik Candi Blandongan hampir mirip dengan candi-candi yang kita kenal, lengkap dengan ruang dan tangga. Sayang, masa ekskavasi yang belum selesai membuat candi ini dipagari. Hampir seluruh aksesnya ditutup sehingga kita tidak bisa masuk ke dalam bagian dalam candi. Walau demikian, area tangga dan pintu masuk candi serta badannya telah terpugar dengan cukup baik. Di sekeliling candi, terdapat parit yang cukup lebar. Tidak ada tangga untuk menuju ke areal candi. Ya mungkin karena candi ini belum selesai direstorasi. Akibatnya, anda harus menuruni parit yang cukup curam untuk mencapai candi. Beberapa bagian dari sisi parit tersebut pun tertutup oleh tumpukan batu bata candi yang memang entah hancur atau memang belum direstorasi secara sempurna. Walaupun bentuk fisik candi ini mirip dengan candi-candi di bagian tengah dan timur Pulau Jawa, namun karena terbuat dari batu bata, candi ini miskin relief. Susunan batu bata itu sendiri yang sudah menjadi keunikan candi, tanpa relief yang menyertainya.
Nama Blandongan pada candi ini berarti pendopo atau tempat pertemuan dalam dialek bahasa setempat. Nama ini konon berasal dari peruntukkan unur sebelum candi ini ditemukan. Sama seperti Candi Jiwa, sebelum Candi Blandongan ditemukan, candi ini tertutup unur atau bukit/gundukan tanah. Orang-orang yang suka menggembalakan kambing mereka suka beristirahat di unur ini. Dari sinilah muncul nama Blandongan. Belakangan, ditemukan kerangka manusia, tembikar, dan perhiasan di tempat ini. Ini tentu mengejutkan sekaligus memberi petunjuk bagi para arkeolog bahwa ada sesuatu di bawah unur ini.
Tidak tampak adanya keramaian berarti di Candi Blandongan ini. Wisatawan yang mengunjungi lokasi pun tidak terlalu banyak, hanya ada kami dan beberapa orang masyarakat lokal saja. Dibandingkan dengan Candi Jiwa, Candi Blandongan memang terlihat lebih tidak utuh dan berantakan. Namun dari segi ukuran, Candi Blandongan lebih lebar daripada Candi Jiwa yakni sekitar 24m x 24m. Konon, menurut sejumlah ahli, candi ini adalah candi utama dari Situs percandian di Batujaya ini. Hal ini terbukti dengan adanya pintu masuk dan tangga di keempat sisinya. Oh ya, hal menarik lainnya dari batuan penyusun candi-candi ini adalah mereka menggunakan kerang. Warna putih yang tampak diantara batu tersebut merupakan kerang. Hal ini wajar, karena Desa Segaran, Kecamatan Batujaya ini terletak tidak jauh dari laut (dengan ketinggian sekitar 4 meter di atas permukaan laut). Namun, pada jaman dahulu, dipercaya bahwa tepi laut itu tidak berada sejauh sekarang loch. Kompleks percandian ini berada persis di pinggir laut, muara Sungai Citarum Purba. Karena sedimentasi ratusan tahun lamanya, maka tepi laut bergeser semakin ke utara, menjauhkan candi dari tepian laut.
Tidak ada hal lain yang dapat kami lakukan di Candi Blandongan selain melihat dan berfoto-foto. Maklum, selain belum selesai, candi ini belum dilengkapi dengan petunjuk atau informasi atau latar belakang sejarah candi ini. Akhirnya, kami beristirahat dan berteduh di bawah sebuah pohon sejenis petai cina yang tumbuh di sudut kompleks candi. Wajarlah, berada tidak terlalu jauh dari tepi pantai dan tanpa naungan pohon besar, berjalan-jalan di candi ini pada siang hari lumayan membuat terbakar. Maka, kami segera bergegas kembali ke pintu masuk agar tidak terlalu lama terpanggang sengatan matahari. Ingat, dilarang mengusik candi karena candi ini milik anak cucu kita. Jangan sampai kejahilan kita membuat mereka tidak mampu lagi melihat fisik candi dan hanya mampu menatap fotonya saja.
Plang dengan tulisan “Candi Blandongan” menyambut kami di ujung jalan setapak ini. Ya, baru dua candi ini saja yang diberi jalan setapak. Situs candi lain belum dipugar sama sekali. Bahkan untuk menuju ke lokasi situs lain harus menyusuri pematang sawah. Kesan pertama yang kami dapatkan ketika tiba di Candi Blandongan adalah : bentuk fisiknya berbeda dengan Candi Jiwa. Ya, bentuk fisik Candi Blandongan hampir mirip dengan candi-candi yang kita kenal, lengkap dengan ruang dan tangga. Sayang, masa ekskavasi yang belum selesai membuat candi ini dipagari. Hampir seluruh aksesnya ditutup sehingga kita tidak bisa masuk ke dalam bagian dalam candi. Walau demikian, area tangga dan pintu masuk candi serta badannya telah terpugar dengan cukup baik. Di sekeliling candi, terdapat parit yang cukup lebar. Tidak ada tangga untuk menuju ke areal candi. Ya mungkin karena candi ini belum selesai direstorasi. Akibatnya, anda harus menuruni parit yang cukup curam untuk mencapai candi. Beberapa bagian dari sisi parit tersebut pun tertutup oleh tumpukan batu bata candi yang memang entah hancur atau memang belum direstorasi secara sempurna. Walaupun bentuk fisik candi ini mirip dengan candi-candi di bagian tengah dan timur Pulau Jawa, namun karena terbuat dari batu bata, candi ini miskin relief. Susunan batu bata itu sendiri yang sudah menjadi keunikan candi, tanpa relief yang menyertainya.
Nama Blandongan pada candi ini berarti pendopo atau tempat pertemuan dalam dialek bahasa setempat. Nama ini konon berasal dari peruntukkan unur sebelum candi ini ditemukan. Sama seperti Candi Jiwa, sebelum Candi Blandongan ditemukan, candi ini tertutup unur atau bukit/gundukan tanah. Orang-orang yang suka menggembalakan kambing mereka suka beristirahat di unur ini. Dari sinilah muncul nama Blandongan. Belakangan, ditemukan kerangka manusia, tembikar, dan perhiasan di tempat ini. Ini tentu mengejutkan sekaligus memberi petunjuk bagi para arkeolog bahwa ada sesuatu di bawah unur ini.
Tidak tampak adanya keramaian berarti di Candi Blandongan ini. Wisatawan yang mengunjungi lokasi pun tidak terlalu banyak, hanya ada kami dan beberapa orang masyarakat lokal saja. Dibandingkan dengan Candi Jiwa, Candi Blandongan memang terlihat lebih tidak utuh dan berantakan. Namun dari segi ukuran, Candi Blandongan lebih lebar daripada Candi Jiwa yakni sekitar 24m x 24m. Konon, menurut sejumlah ahli, candi ini adalah candi utama dari Situs percandian di Batujaya ini. Hal ini terbukti dengan adanya pintu masuk dan tangga di keempat sisinya. Oh ya, hal menarik lainnya dari batuan penyusun candi-candi ini adalah mereka menggunakan kerang. Warna putih yang tampak diantara batu tersebut merupakan kerang. Hal ini wajar, karena Desa Segaran, Kecamatan Batujaya ini terletak tidak jauh dari laut (dengan ketinggian sekitar 4 meter di atas permukaan laut). Namun, pada jaman dahulu, dipercaya bahwa tepi laut itu tidak berada sejauh sekarang loch. Kompleks percandian ini berada persis di pinggir laut, muara Sungai Citarum Purba. Karena sedimentasi ratusan tahun lamanya, maka tepi laut bergeser semakin ke utara, menjauhkan candi dari tepian laut.
Tidak ada hal lain yang dapat kami lakukan di Candi Blandongan selain melihat dan berfoto-foto. Maklum, selain belum selesai, candi ini belum dilengkapi dengan petunjuk atau informasi atau latar belakang sejarah candi ini. Akhirnya, kami beristirahat dan berteduh di bawah sebuah pohon sejenis petai cina yang tumbuh di sudut kompleks candi. Wajarlah, berada tidak terlalu jauh dari tepi pantai dan tanpa naungan pohon besar, berjalan-jalan di candi ini pada siang hari lumayan membuat terbakar. Maka, kami segera bergegas kembali ke pintu masuk agar tidak terlalu lama terpanggang sengatan matahari. Ingat, dilarang mengusik candi karena candi ini milik anak cucu kita. Jangan sampai kejahilan kita membuat mereka tidak mampu lagi melihat fisik candi dan hanya mampu menatap fotonya saja.
Candi-nya polos gitu ya, gg rame :P belum ada yang jual souvenir juga :P
ReplyDeleteIya tuh orang jahil pada gg mikir apa ya doyan banget vandalisme disana-sini, padahal itu kan ngerusak peninggalan sejarah :(
hihihi...belum resmi2 banged jadi objek wisata. makanya sepi. hahaha.
ReplyDeleteyah, beberapa orang merasa perlu menunjukkan keeksistensiannya dengan vandalisme. cape deh. mereka hidup untuk saat ini aja kali yaaa...
lapisan putih itu mungkin plaster yang disebut vajralepa ya..
ReplyDeletewhoaaaaa info baru nich. Vajralepa itu campuran sekam dan kerang itu, Cie?
ReplyDelete