Objek wisata di Indonesia terutama yang dikelola oleh pemerintah umumnya hanya memiliki satu kondisi : rusak, kotor, nggak terurus, terabaikan, dan kurang perawatan. Upsss...itu ada 5 yach. Ehehehe. Memang sich, pendapatan utama objek wisata bergantung dari retribusi tiket masuk yang dipungut bagi setiap wisatawan yang datang berkunjung, sisanya dari subsidi pemerintah pusat ataupun lokal, tergantung instansi mana yang berwenang memegang objek wisata tersebut. Walau demikian, objek wisata besar nggak menjamin kondisinya sempurna. Sejumlah objek wisata yang terhitung cukup besar dan dikunjungi banyak turis pun terkadang mengalami nasib yang menyedihkan, kurang terurus, minim perawatan dan biasanya menjadi korban vandalisme dan ujung-ujungnya tampak kotor. Objek wisata besar dan terkenal saja bisa bernasib demikian, apalagi objek wisata kecil, jauh dari lalu lintas turis, sukar dijangkau, dan berada di tengah-tengah-entah-dimana pula!
Ini yang saya rasakan ketika mengunjungi Panorama Indah Tele yang terkenal dengan Menara Pandang Tele-nya. Nggak usah jauh-jauh mengeksplorasi ke dalam sich, tulisan besar “Menara Pandang Tele” dan di bawahnya “Kabupaten Samosir” saja terlihat kotor, lusuh dan sangat butuh untuk dicat ulang. Padahal, Kabupaten Samosir baru berdiri tahun 2003. Namun, kondisi lusuhnya papan nama tersebut membuat si papan terlihat seumuran dengan si menara yang terbangun pada tahun 1988. Masuk ke dalam menara, saya bisa melihat bahwa tangan masyarakat kita terkenal dengan “kreatifitas tinggi”-nya namun salah tempat. Sejumlah bagian pilar dinding terkena coretan kreatif hasil karya anak negeri ini dengan aneka macam tulisan yang menegaskan bahwa mereka, kisah cinta dan asmara mereka, klub mereka, geng mereka, sekolah mereka atau apapun itu pernah berada di Menara Pandang Tele. Biar eksis ya, bo! Harusnya PemKab Samosir membuat Walk Of Fame bagi mereka yang berkunjung ke menara ini. Alih-alih mencorat-coret dinding, mereka bisa menulis sesuatu atau mencap tangan mereka di atas semen untuk kemudian diabadikan dalam bentuk prasasti. Ide yang bagus, bukan?
Selain vandalisme tak bertanggung jawab, bagian dalam menara memang cukup menunjukkan usia dan kelapukkannya seperti plafon yang lembab dan lapuk, berjamur, terkena vandalisme (lagi), hingga cat yang termakan usia. Sejumlah bekas tempelan brosur iklan pun tampak terlihat di sejumlah sudut plafon. Di setiap lantai menara sebenarnya ada sebuah aula kecil di tengah-tengah bangunan guna pengunjung bisa mengamati pemandangan tanpa terkena hembusan angin atau terik matahari (apabila ada). Namun, pada lantai satu, pintu masuk aulanya ternyata rusak, gagangnya hilang, dan hanya diganjal dengan menggunakan sebentuk kawat. Tanpa perlawanan berarti, saya dorong pintu tersebut dan pintu tersebut terbuka lebar memperlihatkan isi dari aula kecil tersebut. Pintu tersebut pun sudah tidak terlalu utuh karena dari sela-sela pintu, saya bisa melihat tembus ke sisi aula yang lain. Yah, memang sich, dengan kunjungan wisatawan yang sangat sedikit dan biaya retribusi masuk yang hanya Rp. 2.000 per orang, tampaknya menara ini tidak bisa berbuat apa-apa. Semangkuk bakso saja harganya Rp. 5.000! Saya yakin, Rp. 2.000 tersebut tidak disetorkan sebagai penerimaan tiket masuk objek wisata (nggak ada tiket yang disobek juga), namun lebih dilihat kepada : upah menjaga menara. Wajar banget sich kalau saya pikir-pikir ini sebagai imbalan atas mereka melakukan kerja secara swadaya. Usaha pembersihan menara walau nggak rutin dilakukan setiap hari pun mungkin merupakan upaya swadaya mereka sendiri. Jadi yah, sangat wajar kalau penerimaan tersebut tidak disetorkan lebih lanjut. Pekerjaan Rumah PemKab Samosir yang lebih penting daripada sekedar menagih retribusi yang saya yakin nggak seberapa tersebut adalah meramaikan jalur wisata Sidikalang atau Dolok Sanggul – Pangururan. Ajak wisatawan untuk melihat Danau Toba dari sisi yang berbeda dan jadikan sebuah paket wisata. Bukan ide yang sulit mengingat mereka bisa pameran disana-sini, hingga keluar negeri. Apa iya, negeri ini hanya jago berbicara saja namun payah dalam hal pelaksanaan? Loch, koq saya jadi komplain begini? Hahaha.
Ini yang saya rasakan ketika mengunjungi Panorama Indah Tele yang terkenal dengan Menara Pandang Tele-nya. Nggak usah jauh-jauh mengeksplorasi ke dalam sich, tulisan besar “Menara Pandang Tele” dan di bawahnya “Kabupaten Samosir” saja terlihat kotor, lusuh dan sangat butuh untuk dicat ulang. Padahal, Kabupaten Samosir baru berdiri tahun 2003. Namun, kondisi lusuhnya papan nama tersebut membuat si papan terlihat seumuran dengan si menara yang terbangun pada tahun 1988. Masuk ke dalam menara, saya bisa melihat bahwa tangan masyarakat kita terkenal dengan “kreatifitas tinggi”-nya namun salah tempat. Sejumlah bagian pilar dinding terkena coretan kreatif hasil karya anak negeri ini dengan aneka macam tulisan yang menegaskan bahwa mereka, kisah cinta dan asmara mereka, klub mereka, geng mereka, sekolah mereka atau apapun itu pernah berada di Menara Pandang Tele. Biar eksis ya, bo! Harusnya PemKab Samosir membuat Walk Of Fame bagi mereka yang berkunjung ke menara ini. Alih-alih mencorat-coret dinding, mereka bisa menulis sesuatu atau mencap tangan mereka di atas semen untuk kemudian diabadikan dalam bentuk prasasti. Ide yang bagus, bukan?
Selain vandalisme tak bertanggung jawab, bagian dalam menara memang cukup menunjukkan usia dan kelapukkannya seperti plafon yang lembab dan lapuk, berjamur, terkena vandalisme (lagi), hingga cat yang termakan usia. Sejumlah bekas tempelan brosur iklan pun tampak terlihat di sejumlah sudut plafon. Di setiap lantai menara sebenarnya ada sebuah aula kecil di tengah-tengah bangunan guna pengunjung bisa mengamati pemandangan tanpa terkena hembusan angin atau terik matahari (apabila ada). Namun, pada lantai satu, pintu masuk aulanya ternyata rusak, gagangnya hilang, dan hanya diganjal dengan menggunakan sebentuk kawat. Tanpa perlawanan berarti, saya dorong pintu tersebut dan pintu tersebut terbuka lebar memperlihatkan isi dari aula kecil tersebut. Pintu tersebut pun sudah tidak terlalu utuh karena dari sela-sela pintu, saya bisa melihat tembus ke sisi aula yang lain. Yah, memang sich, dengan kunjungan wisatawan yang sangat sedikit dan biaya retribusi masuk yang hanya Rp. 2.000 per orang, tampaknya menara ini tidak bisa berbuat apa-apa. Semangkuk bakso saja harganya Rp. 5.000! Saya yakin, Rp. 2.000 tersebut tidak disetorkan sebagai penerimaan tiket masuk objek wisata (nggak ada tiket yang disobek juga), namun lebih dilihat kepada : upah menjaga menara. Wajar banget sich kalau saya pikir-pikir ini sebagai imbalan atas mereka melakukan kerja secara swadaya. Usaha pembersihan menara walau nggak rutin dilakukan setiap hari pun mungkin merupakan upaya swadaya mereka sendiri. Jadi yah, sangat wajar kalau penerimaan tersebut tidak disetorkan lebih lanjut. Pekerjaan Rumah PemKab Samosir yang lebih penting daripada sekedar menagih retribusi yang saya yakin nggak seberapa tersebut adalah meramaikan jalur wisata Sidikalang atau Dolok Sanggul – Pangururan. Ajak wisatawan untuk melihat Danau Toba dari sisi yang berbeda dan jadikan sebuah paket wisata. Bukan ide yang sulit mengingat mereka bisa pameran disana-sini, hingga keluar negeri. Apa iya, negeri ini hanya jago berbicara saja namun payah dalam hal pelaksanaan? Loch, koq saya jadi komplain begini? Hahaha.
0 komentar:
Post a Comment