Begitu keluar dari Tano Ponggol, secara resmi sebenarnya saya sudah keluar dari Pulau Samosir. Namun, secara administratif, wilayah tempat saya berdiri ini masih masuk dalam Kabupaten Samosir. Ya, selain 6 kecamatan yang ada di dalam Pulau Samosir, ada 3 kecamatan lain yang berada di luar wilayah Pulau Samosir dan terletak di sisi barat danau (Harian, Sianjur Mula-Mula, dan Sitio-Tio). Tele yang akan saya sambangi ini masuk dalam wilayah kecamatan Harian.
Di jalur Pangururan – Tele, saya melihat wajah Samosir yang belum pernah saya lihat. Kalau selama ini saya mengenal wilayah Samosir adalah wilayah yang turistik, wajah di kawasan barat danau ini sungguh kontradiktif dengan kenyataan tersebut. Saya memasuki wilayah yang jarang dihuni, jalanan rusak dan sebagian besar sedang diperbaiki (atau justru baru dibuka?), dengan pemandangan di salah satu sisi yakni Danau Toba dan lama kelamaan berupa bukit tandus nan gersang di kanan dan kiri jalan. Kalau sukar untuk membayangkannya, coba dech ingat-ingat seperti apa sich wujud Jalan Tol Cipularang waktu pertama kali dibuka dulu. Jalan tol sepanjang 60 KMan tersebut jauh dari tanda-tanda kehidupan manusia, hanya bukit kering di kanan dan kiri. Bukit-bukti penuh bebatuan dan sedikit vegetasi mengisyaratkan tanda-tanda ketandusan di sekeliling. Bedanya, jalan lintas Pangururan – Tele merupakan jalan negara, bukan jalan tol. Sekali dua kali Sampri yang saya kendarai harus menurunkan kecepatan lantaran bertemu gundukan tanah yang belum diratakan. Entah apa jadinya kalau sang supir nekad untuk menerobos gundukan tanah tersebut, mungkin jadi Sampri terbang kali yach. Hahaha.
Buat saya, perjalanan ini terbagi menjadi tiga wilayah kawasan. Kawasan pertama adalah wilayah tepian Danau Toba. Lanskap di sebelah kanan jalan merupakan perbukitan yang masih hijau dan masih dipenuhi pepohonan. Di sebelah kiri, adalah wilayah perairan Danau Toba yang masih asri, terkadang dipenuhi keramba atau sawah. Jalanan di tempat ini walaupun sudah beraspal, namun tidak dapat dikategorikan baik. Beberapa gundukan tanah di tengah perjalanan membuat Sampri harus melambat. Kawasan kedua adalah jalur sempit di tengah-tengah perbukitan. Walaupun masih ada perkampungan, namun jumlahnya semakin menyusut seiring dengan semakin melajunya Sampri. Kondisi jalan di tempat ini mungkin yang terburuk dari ketiga kawasan, entah memang belum dibuat atau justru baru diperbaiki. Sejumlah alat berat untuk meratakan jalan memang terdapat di sejumlah tempat. Kondisi jalan yang kami lalui secara umum adalah jalan tanah dengan hiasan bebatuan disana-sini. Kecepatan Sampri menurun dengan drastis. Salah satu kampung yang saya ingat adalah Sosor Silinjuang. Unik juga sebab makna kata “Sosor” dalam bahasa Batak adalah “kampung yang baru saja dibuka”. Beberapa babi hutan terlihat berkeliaran di tempat ini. Danau Toba? Sudah tidak terlihat lagi dari sisi ini.
Kawasan ketiga adalah kawasan tertinggi dari keseluruhan kawasan. Maklum, perjalanan di wilayah ini menanjak terus dan meliuk-liuk melewati gunung. Sampri yang saya tumpangi meraung-raung menanjak gunung. Pemandangan di kawasan ketiga ini tergolong indah buat saya. Di satu sisi, kita bisa melihat Danau Toba di ketinggian, sementara itu persis di sebelahnya, ada Gunung Pusuk Buhit yang cantik, tempat yang diyakini menjadi lokasi asal muasal Orang Batak Toba. Kondisi jalan di lintas pegunungan ini sudah beraspal hotmix, jauh lebih baik dibanding kawasan sebelumnya. Semakin menanjak, udara semakin dingin dan tak jarang kabut melintas berarak di sekeliling. Hawa tentu saja menjadi semakin dingin. Jalan yang kami lalui terlihat cukup jelas di bawah sana. Tele merupakan satu titik tertinggi diantara Pangururan dan Dolok Sanggul. Yang mengerikan, kendaraan yang melintas balik ataupun berada di depan/belakang kami bisa dihitung menggunakan sebelah tangan. Bahkan, saya merasa Sampri yang saya tumpangi bergerak pelan dan sendirian di tengah-tengah gunung ini. Saya tidak menemukan adanya kendaraan lain dan perkampungan di gunung yang saya lintasi ini untuk waktu yang menurut saya cukup lama. Jangan membayangkan kawasan puncak yang penuh dengan rumah, villa, pedagang, dan mobil yang mengantri yach! Melihat orang melintas saja rasanya langka di tempat ini. Hahaha. Untung saja, kengerian tersebut bisa saya tepis dengan pemandangan indah berupa Danau Toba dan pegunungan dari ketinggian.
Walaupun Sampri yang saya naiki bergerak perlahan sambil meraung-raung sehingga perjalanan ini terasa cukup panjang, namun kenyataannya, saya tiba di Tele kurang lebih setengah jam saja selepas meninggalkan Pangururan. Jarak di atas kertas Pangururan – Tele adalah 22 KM, kalau dibulatkan 30 KM, artinya Sampri melaju dalam kecepatan 1KM/menit. Cukup cepat juga ternyata! Oh ya, penumpang yang naik atau turun di jalur ini pun bisa dibilang langka. Seingat saya, hanya ada satu penumpang yang turun di jalur yang saya lintasi ini. Sisanya, hanya saya dan rekan saya yang turun di Tele. Percayalah, anda nggak akan mau terjebak malam di tempat ini. Melihat perjalanan yang saya lakukan barusan, saya juga nggak akan mau untuk kembali ke Pangururan guna mengambil tas sekiranya tadi saya menitipkan tas di hotel. Hohoho. Oh, itu dia Menara Pandang Tele. “Berhenti, Bang!”.
Di jalur Pangururan – Tele, saya melihat wajah Samosir yang belum pernah saya lihat. Kalau selama ini saya mengenal wilayah Samosir adalah wilayah yang turistik, wajah di kawasan barat danau ini sungguh kontradiktif dengan kenyataan tersebut. Saya memasuki wilayah yang jarang dihuni, jalanan rusak dan sebagian besar sedang diperbaiki (atau justru baru dibuka?), dengan pemandangan di salah satu sisi yakni Danau Toba dan lama kelamaan berupa bukit tandus nan gersang di kanan dan kiri jalan. Kalau sukar untuk membayangkannya, coba dech ingat-ingat seperti apa sich wujud Jalan Tol Cipularang waktu pertama kali dibuka dulu. Jalan tol sepanjang 60 KMan tersebut jauh dari tanda-tanda kehidupan manusia, hanya bukit kering di kanan dan kiri. Bukit-bukti penuh bebatuan dan sedikit vegetasi mengisyaratkan tanda-tanda ketandusan di sekeliling. Bedanya, jalan lintas Pangururan – Tele merupakan jalan negara, bukan jalan tol. Sekali dua kali Sampri yang saya kendarai harus menurunkan kecepatan lantaran bertemu gundukan tanah yang belum diratakan. Entah apa jadinya kalau sang supir nekad untuk menerobos gundukan tanah tersebut, mungkin jadi Sampri terbang kali yach. Hahaha.
Buat saya, perjalanan ini terbagi menjadi tiga wilayah kawasan. Kawasan pertama adalah wilayah tepian Danau Toba. Lanskap di sebelah kanan jalan merupakan perbukitan yang masih hijau dan masih dipenuhi pepohonan. Di sebelah kiri, adalah wilayah perairan Danau Toba yang masih asri, terkadang dipenuhi keramba atau sawah. Jalanan di tempat ini walaupun sudah beraspal, namun tidak dapat dikategorikan baik. Beberapa gundukan tanah di tengah perjalanan membuat Sampri harus melambat. Kawasan kedua adalah jalur sempit di tengah-tengah perbukitan. Walaupun masih ada perkampungan, namun jumlahnya semakin menyusut seiring dengan semakin melajunya Sampri. Kondisi jalan di tempat ini mungkin yang terburuk dari ketiga kawasan, entah memang belum dibuat atau justru baru diperbaiki. Sejumlah alat berat untuk meratakan jalan memang terdapat di sejumlah tempat. Kondisi jalan yang kami lalui secara umum adalah jalan tanah dengan hiasan bebatuan disana-sini. Kecepatan Sampri menurun dengan drastis. Salah satu kampung yang saya ingat adalah Sosor Silinjuang. Unik juga sebab makna kata “Sosor” dalam bahasa Batak adalah “kampung yang baru saja dibuka”. Beberapa babi hutan terlihat berkeliaran di tempat ini. Danau Toba? Sudah tidak terlihat lagi dari sisi ini.
Kawasan ketiga adalah kawasan tertinggi dari keseluruhan kawasan. Maklum, perjalanan di wilayah ini menanjak terus dan meliuk-liuk melewati gunung. Sampri yang saya tumpangi meraung-raung menanjak gunung. Pemandangan di kawasan ketiga ini tergolong indah buat saya. Di satu sisi, kita bisa melihat Danau Toba di ketinggian, sementara itu persis di sebelahnya, ada Gunung Pusuk Buhit yang cantik, tempat yang diyakini menjadi lokasi asal muasal Orang Batak Toba. Kondisi jalan di lintas pegunungan ini sudah beraspal hotmix, jauh lebih baik dibanding kawasan sebelumnya. Semakin menanjak, udara semakin dingin dan tak jarang kabut melintas berarak di sekeliling. Hawa tentu saja menjadi semakin dingin. Jalan yang kami lalui terlihat cukup jelas di bawah sana. Tele merupakan satu titik tertinggi diantara Pangururan dan Dolok Sanggul. Yang mengerikan, kendaraan yang melintas balik ataupun berada di depan/belakang kami bisa dihitung menggunakan sebelah tangan. Bahkan, saya merasa Sampri yang saya tumpangi bergerak pelan dan sendirian di tengah-tengah gunung ini. Saya tidak menemukan adanya kendaraan lain dan perkampungan di gunung yang saya lintasi ini untuk waktu yang menurut saya cukup lama. Jangan membayangkan kawasan puncak yang penuh dengan rumah, villa, pedagang, dan mobil yang mengantri yach! Melihat orang melintas saja rasanya langka di tempat ini. Hahaha. Untung saja, kengerian tersebut bisa saya tepis dengan pemandangan indah berupa Danau Toba dan pegunungan dari ketinggian.
Walaupun Sampri yang saya naiki bergerak perlahan sambil meraung-raung sehingga perjalanan ini terasa cukup panjang, namun kenyataannya, saya tiba di Tele kurang lebih setengah jam saja selepas meninggalkan Pangururan. Jarak di atas kertas Pangururan – Tele adalah 22 KM, kalau dibulatkan 30 KM, artinya Sampri melaju dalam kecepatan 1KM/menit. Cukup cepat juga ternyata! Oh ya, penumpang yang naik atau turun di jalur ini pun bisa dibilang langka. Seingat saya, hanya ada satu penumpang yang turun di jalur yang saya lintasi ini. Sisanya, hanya saya dan rekan saya yang turun di Tele. Percayalah, anda nggak akan mau terjebak malam di tempat ini. Melihat perjalanan yang saya lakukan barusan, saya juga nggak akan mau untuk kembali ke Pangururan guna mengambil tas sekiranya tadi saya menitipkan tas di hotel. Hohoho. Oh, itu dia Menara Pandang Tele. “Berhenti, Bang!”.
itu kering begitu karena memang pas lagi kemarau atau memang tanamannya di sana gak subur ya?
ReplyDeleteinilah indonesiaku...
ReplyDeleteinilah indonesiaku...
ReplyDeletebaik tidaknya aku CINTA...
Oom Brad : tanahnya memang seperti itu, mengingatkan saya pada bukit-bukit di Flores :D
ReplyDelete@Andi : makasih udah mampir. cinta Indonesia terus yaaa ^^