Mendaki Bukit Tele Dan Turun Ke Dolok Sanggul

Kata Orang Batak, hidup ini terkadang Naek Tobing, terkadang Manurung. Sagala Butar-Butar ada. Hehehe. Joke ringan a la Tano Batak aja sich. Namun, dari ketinggian Menara Pandang Tele, jalan yang akan saya lalui menuju Dolok Sanggul adalah Manurung. Ya, terus mengulir naik dan akhirnya melandai lurus dan turun. Perjalanan menuju Dolok Sanggul ditempuh dalam waktu satu jam untuk jarak sekitar 40 KM. Di bagian perjalanan ini, walaupun jalur masih berada di tepian Danau Toba, namun secara kasat mata, danau tersebut sudah tidak terlihat lagi dari sisi ini. Jalan raya negara yang menghubungkan Tele – Dolok Sanggul dibuat terlalu jauh dari tepian danau.
Nggak jauh dari Menara Pandang Tele, terdapatlah sebuah pertigaan besar yang menghubungkan Pangururan, Tele, Sidikalang, dan Dolok Sanggul. Kalau saja Sampri yang saya naiki berbelok ke kanan, pasti keseluruhan ceritanya nggak seperti ini. Blog ini bakalan nyambung sama Mas Tri Wijanarko yang berjalan dari Sidikalang. Hehehe. Jadi, Sampri yang saya naiki berbelok ke kiri, menuju Ibukota Humbang Hasundutan, Dolok Sanggul. Sisa jalan meliuk dan berkelok-kelok sudah tinggal sedikit. Mayoritas sisa dari perjalanan rute ini adalah jalanan hampir lurus yang secara umum menurun. Ya, kita meninggalkan ketinggian Tele untuk menuju Dolok Sanggul, dari 1800 mdpl menuju 1400 mdpl. Walaupun menurut saya Dolok Sanggul sudah panas, kenyataannya, kota ini berada pada ketinggian 1400 mdpl, jauh lebih tinggi dari Pangururan yang ‘Cuma’ 1000 mdpl.
Sampri yang kami naiki dari Tele ternyata sudah cukup penuh. Sempat saya ragu apakah tetap akan lanjut atau menunggu Sampri berikutnya. Namun, keraguan kami terbaca oleh supir Sampri tersebut. Ia kemudian turun dari kendaraan, menanyakan tujuan kami dan kemudian segera membantu kami untuk menata barang-barang di Samprinya, walau kami masih ragu-ragu. Benar-benar pelayanan yang privat, personal, dan menyentuh dech. Hahaha. Mungkin memang sudah jalannya kali yach? Kalau nggak dipaksa begini, kayaknya kami bakalan menunggu Sampri terus hingga sore dan baru sadar bahwa rata-rata Sampri yang melewati rute ini biasanya penuh. Toh, saya juga harus mengejar waktu kan? Alhasil, saya dan rekan saya terpisah dan harus duduk nyempil memenuhi slot kursi yang kosong. Pemandangan sepanjang jalan keluar dari Tele masih luar biasa, namun begitu melewati pertigaan Dolok Sanggul – Pangururan – Sidikalang, jalanan mulai hampir lurus dan pemandangannya sudah mulai monoton. Jalanan yang tergolong mulus, dengan hutan sekunder di kiri dan kanan lama kelamaan membuat saya mengantuk dan tertidur selang beberapa saat. Hal ini ditambah dengan supir Sampri yang hobinya menginjak gas (sampai saya yakin Sampri ini nggak ada pedal rem-nya) dan posisi saya berada di pinggir yang membuat saya ditampar bolak balik oleh angin pegunungan. Apalagi hujan agak rintik-rintik nanggung membuat segalanya semakin mendukung. Hihihi. Nggak heran, tidur menjadi agenda utama saya di jalur ini. Selang beberapa saat kemudian saya terbangun ketika menjumpai areal lapangan terbuka diantara hutan-hutan, tertidur kembali dan terbangun ketika sudah mulai memasuki wilayah Humbang Hasundutan.

2 komentar:

  1. ini kayak waktu saya nunggu angkutan dari merek ke sidikalang.. angkutan sih buanyaaakk, hampir setiap 10-15 menit sekali lewat, tapi ya itu nunggu ada yang kosong susahnya minta ampun.. nggak heran deh kalau kalau dari luar aja udah keliatan angkutan full beban dilihat dari shock mobil yang terlihat ambless.. apalagi barang-barang juga tertumpuk padat di atas.. angkutan seperti ini baru saya temui di sumatera utara mas.. -__-

    ReplyDelete
  2. *ingat ingat lagi* kayaknya atau kebetulan, angkutan yang saya naiki nggak sampai bertumpuk2 beban di atas sich Mas, walau kebetulan lagi, angkutan yang saya naiki dari Tarutung menuju Balige memiliki beban yang gila-gilaan di atas sana *plus talit temali tambang saling mengikat angkutan disana sini sampai pintunya nggak bisa ditutup rapat wekekekek

    yah...untuk menunggu 10-15 menit tapi jalannya luar biasa lengang, saya sih sejujurnya agak ngeri dan sampai punya pikiran paranoid, "akankah angkutan yang baru saja saya tolak tersebut adalah angkutan terakhir?" hihihihihi

    ReplyDelete