Selamat Datang Di Bukit Matahari, Bawömataluo

Walaupun nggak semulus campuran hotmix yang baru saja melapisi jalanan aspal, namun jalan masuk menuju Bawömataluo adalah jalan yang kualitasnya cukup baik dibanding ketika anda mencoba untuk menyambangi desa-desa adat lainnya di Nias Selatan. Untuk menuju ke tempat ini sama sekali bukan suatu perjuangan, apalagi Bawömataluo merupakan desa yang sudah sangat umum disinggahi oleh pelancong. Masyarakatnya pun tahu benar bagaimana menghadapi turis dan tampak sudah terbiasa karenanya. Seperti yang sudah saya ungkap sebelumnya bahwa akan lebih mudah kalau anda mencarter kendaraan untuk mengunjungi desa adat di Nias Selatan. Maka dari itu, disinilah saya, mendaki bukit dengan motor yang dikendarai oleh seorang supir ojek, menuju Bawömataluo yang konon tidak terlalu jauh dari Teluk Dalam.
Secara etimologis, Bawo dalam bahasa Nias artinya bukit dan Mataluo artinya matahari. Jadi, Bawömataluo artinya Bukit Matahari. Kenapa bisa disebut bukit matahari? Ada beberapa teori yang menyebutkan tentang asal usul nama ini, namun versi yang paling dikenal adalah posisi desa ini yang cukup tinggi di atas bukit, dan pada saat sore hari, pemandangan cantik matahari terbenam bisa terlihat jelas dari desa ini tanpa terhalang apapun. Ya, ketika saya mencapai puncak desa ini, pemandangan saya tidak terhalang oleh apapun. Bisa jadi, posisi Bawömataluo adalah yang tertinggi di area ini, walau desa ini sendiri bukan titik tertinggi di Nias. Sebelum memasuki desa yang terletak di Kecamatan Fanayama ini, anda akan bertemu dengan sebuah gereja BNKP yang bertuliskan “Jemaat Bawömataluo”. Wow! Artinya saya sudah sampai donk?! Namun, dimanakah desa itu berada? Gereja yang besar tersebut seakan tidak memberi peluang bagi Bawömataluo untuk memperkenalkan diri. Di sekitar tempat ini hanya ada gereja besar tersebut, deretan warung-warung sederhana, dan tangga batu! Persis di sebelah kanan dan kiri tangga batu tersebut ada patung batu kepala naga, mirip seperti Osa-Osa kepala tiga namun ini kepalanya hanya satu. Namanya mungkin Osa-Osa kepala satu aja kali yaaa...hihihi. Nah, tangga yang menjulang tinggi tersebut (konon katanya berjumlah sekitar 85 buah) adalah pintu masuk menuju Desa Bawömataluo. Tidak ada gerbang besar bertulisan Bawömataluo atau apalah, tidak ada yang menegaskan bahwa desa ini adalah lokasi wisata populer, tidak ada loket tiket, dan tidak ada tempat parkir. Sejumlah kendaraan memarkirkan kendaraanya di pojok-pojok jalan, termasuk ojek saya. Jadi, jangan harapkan gerbang masuk yang spektakuler yang menegaskan bahwa ini adalah tempat wisata yach. Tidak ada.
Bentuk susunan tangga dengan patung batu di kanan kirinya inilah yang mengingatkan saya akan struktur piramida di Mesoamerika. Yah, daripada lama-lama berasumsi dan terpanggang matahari (teori nama Bawömataluo lainnya adalah desa ini yang selalu terpanggang matahari), mari segeralah naik deretan tangga tersebut. Nggak kuat? Kaki lemas duluan? Jangan kuatir, Desa Bawömataluo ini hanya terletak di ketinggian 300an meter di atas permukaan laut saja. Kalau capek naik pelan-pelan saja. Walau demikian, ada baiknya jangan menengok ke belakang saat mendaki tangga. Sebaiknya selesaikanlah dahulu pendakian baru menengok ke belakang kalau nggak mau kena serangan pusing mendadak. Hehehehe.
Ada cerita tersendiri mengapa desa-desa adat di Nias terutama Nias Selatan menerapkan bentuk tangga yang banyak dan desanya sendiri terletak di puncak bukit seperti susunan piramida. Konon, masyarakat Nias jaman dahulu gemar sekali berperang. Skala perangnya adalah hingga desa-desa tetangga. Itu mengapa, struktur desa harus dibuat tinggi karena tangga tersebut bisa diartikan sebagai benteng. Keuntungan Bawömataluo adalah sebagai desa yang berdiri paling tinggi di area ini, artinya seluruh area bisa jelas terlihat tanpa ada halangan berarti yang memudahkan Bawömataluo untuk menyerang desa-desa lainnya. Desa Orihili saya terletak tidak jauh dari kaki Bawömataluo dan terlihat cukup jelas saat turun tangga utama desa Bawömataluo. Kalau soal posisi, Orihili ini mungkin tidak cukup beruntung kali yach...hehehe.
Setelah mencapai puncak tangga, yang saya lihat adalah tanah datar berbentuk jalan terbuat dari batu, cukup lebar untuk dilalui manusia (bahkan tiga atau empat mobil sekaligus-walau tidak ada mobil di atas sini-) dengan deretan rumah adat Nias Selatan, Omo Hada di sisi kiri dan kanan. Ohhh saya sudah tiba di Nias yang benar-benar autentik! Walaupun tidak semua masih mempertahankan bentuk rumah adat Nias Selatan dengan fondasi persegi dan atap persegi (beberapa diantaranya telah berubah menjadi rumah bata), namun sebagian besar rumah di Bawömataluo masih didominasi oleh Omo Hada. Dari semua deretan rumah-rumah tersebut yang membentuk jalur huruf T, sebagai pusatnya berdirilah Omo Sebua (Omo Sebua di Bawömataluo bergelar Omo Nifolasara), atau rumah yang dihuni oleh kepala desa dengan ukuran yang luar biasa besar, jauh mengalahkan Omo Hada di sekelilingnya. Itulah pusat desa adat di Nias Selatan.
Sembari berjalan masuk ke dalam pusat desa, tentu saja pemandangan seorang turis asing tampak begitu menarik untuk dilihat oleh warga. Sejumlah perempuan tampak melihat ke arah saya dan beberapa anak-anak tampak mengikuti langkah saya sambil bermain di sekeliling. Desa adat Nias Selatan, tidak hanya berfungsi sebagai pusat kebudayaan, namun masih difungsikan sebagai tempat tinggal hingga saat ini. sejumlah bangunan Omo Hada dan bangunan yang sudah baru dan terbuat dari bata diantara Omo hada bahkan telah difungsikan menjadi semacam warung yang menjual pernah-pernik dan kebutuhan sehari-hari. Realitas jaman telah menggiring pola hidup manusia, yach? Tampak di depan deretan Omo Hada tersebut, ada batu-batu megalitik yang teronggok dan mayoritas berwarna hitam. Nampaknya, bebatuan tersebut tidak lagi dipergunakan dalam ritual apapun karena mereka justru melakukan aktifitas ekonomi dan rumah tangganya di seputaran batu, mulai dari menjemur pakaian hingga menjemur biji-bijian hasil pangan. Pemandangan yang agak lucu ketika sebuah meja megalitik dipergunakan untuk menjemur biji-bijian dan disampingnya sejumlah pakaian basah dijempur persis di atas batu-batu tersebut. Konon, batu yang panas tersebut akan membuat pakaian lebih cepat kering walau sejumlah penduduk lainnya sudah cukup modern dengan menggunakan jemuran alumunium atau kayu. Sayang, pemandangan ini sedikit banyak menghilangkan romantisme Nias Selatan dan sedikit menggangu bayangan saya akan desa adat di Nias Selatan.
Rata-rata, Omo Hada yang berdiri di Bawömataluo sudah menggunakan atap seng sebagai pengganti sirap. Ada sich sejumlah rumah yang masih bertahan dengan atap sirapnya, namun sebagian besar telah menggunakan seng sebagai bahan baku atapnya. Walaupun lebih panas, namun atap seng diyakini lebih tahan api dibanding sirap. Selain itu, alasan lainnya adalah mencari sirap tidak mudah disbanding mendapatkan seng di toko bangunan. Kalau anda melambatkan jalan anda sedikit, selain meja dan kursi batu yang terletak di depan setiap Omo Hada, mereka juga memiliki sejumlah patung leluhur atau Adu Zatua. Ada pula bentuk-bentuk ukiran lain yang tentunya memiliki fungsi tertentu namun sudah tidak terlalu dipedulikan lagi oleh warga karena difungsikan menjadi lokasi jemur pakaian. Sebuah meriam yang tampaknya peninggalan dari jaman penjajahan dahulu masih bisa ditemukan dalam kondisi cukup terawat namun tanpa penjelasan yang memuaskan.
Tidak jauh dari Omo Sebua, terdapatlah sesuatu yang saya ingin lihat dari dekat dan dahulu pernah muncul di mata uang Rp. 1.000 keluaran tahun 1992. Deretan batu berbentuk menara setinggi dua meteran tampak berdiri tunggal. Ya, inilah batu yang dipergunakan untuk atraksi Lompat Batu atau Hombo Batu, keahlian tradisional masyarakat Nias. Sejumlah teman saya asal Nias yang berada di Jakarta pun berkata bahwa mereka mampu untuk melakukan Hombo Batu ini. Menarik yach, bahwa kebiasaan dan keterampilan tradisional mampu bertahan dan dilestarikan oleh generasi masa kini. Tentu saja, melompati batu setinggi dua meteran ini bukan perkara mudah. Namun, dengan latihan bertahun-tahun, seorang Fahombe (pelompat batu) mampu untuk melakukan atraksi ini. Buat turis yang nggak biasa melakukannya, sebaiknya memang tidak nekad mencobanya karena selain unsur latihan, sedikit warna mistik juga turut andil dalam tradisi Hombo Batu ini. Menurut guide saya, Hombo Batu tidak bisa dilakukan sembarangan. Walaupun sudah latihan bertahun-tahun dan sudah yakin bisa, namun jika di dalam dirinya masih ada halangan atau memang tidak diperbolehkan untuk melompat, pasti tidak akan bisa melompat. Efek terburuknya adalah bisa sampai meninggal karena kecelakaan saat melompati batu tersebut. Selain keterampilan matang, masyarakat Nias percaya bahwa seorang Fahombe harus berhati bersih dan melakukan ini bukan dengan tujuan yang buruk. Kini, atraksi ini bisa dinikmati dengan membayar Rp. 50.000 untuk seorang Fahombe dan untuk satu kali lompatan. Yach, anda kalikan saja sendiri kalau anda misalnya ingin melihat 3-4 lompatan. Hehehe. Makanya, kunjungan beramai-ramai juga merupakan sesuatu yang asyik karena bisa meringankan biaya untuk menonton Fahombe ini. Nggak asyik juga kan kalau Fahombenya cuma satu dan begitu selesai melompat, sret, selesai. Hahaha. Fahombe yang melompati batu pun nggak setengah hati loch dalam melakukan aksinya ini. Setiap Fahombe akan selalu berpakaian adat nias lengkap khusus untuk melompati batu ini. Kebayang donk gimana kerennya? Apabila anda mau menonton atraksi Hombo Batu ini, bicarakanlah niat anda kepada guide anda atau para penjual souvenir di bagian bawah Omo Sebua yang rata-rata menawarkan jasa pertunjukkan ini. Para pemainnya pun bisa dicari setiap saat karena mereka memang penduduk Bawömataluo yang sudah sering sekali melompat untuk pertunjukkan.
Walaupun pernah digoyang gempa dan luluh lantak, namun cerita-cerita miring masyarakat Nias yang dahulu pernah saya dengar tidak saya alami pada saat kunjungan. Masyarakat tampak lebih terbuka dan tidak terlalu heboh dengan kedatangan turis. Sejumlah anak-anak memang masih menawarkan souvenir khas Bawömataluo dan Nias, namun tiada unsur pemaksaan berlebihan ketika sang turis tidak berniat membeli. Mungkin juga kunjungan BRR Nias telah membuat mereka terbiasa dengan orang asing kali yach? Nah, coba dech temen-temen yang sudah sampai ke Nias, jangan lewatkan desa adat yang paling fenomenal di nias Selatan ini yach. Kalau beruntung, pada saat kunjungan mungkin teman-teman bisa melihat tarian perang kolosal yang ditarikan oleh ratusan pria dengan pakaian adat dan memenuhi seluruh bagian Bawömataluo. Tentu, ini peristiwa yang pastinya menarik banget untuk disaksikan.

4 komentar:

  1. Gereja yang besar tersebut seakan tidak memberi peluang bagi Bawömataluo untuk memperkenalkan diri.
    Bukannya secara keseluruhan tulisan di atas enggak menarik, tapi entah kenapa, kok saya malah terpesona dengan kalimat di atas, ya?:). Btw, Lomie ada lihat atraksi Fahombe? Berapa lompatan? *membayangkan lembar-lembar warna biru*. Lagian kok ingat-ingatnya sih itu gambar ada di pecahan seribu tahun 1992? Iseng banget:)

    ReplyDelete
  2. hahahaha....soalnya dari bawah, gereja BNKP yang besar tersebut mencuri perhatian Desa Bawömataluo yang nggak keliatan itu. :p

    saya cuma lihat satu lompatan, itu pun nebeng liat atraksi orang lain hihihihi....

    ReplyDelete
  3. wogh jadi ada unsur mistiknya juga supaya mampu melompat batu itu ya? #barutau

    ReplyDelete
  4. iya oom...menurut penjelasan guide saya, ada sedikit kemistisan disana, jadi jangan dipake buat main-mainan belaka yach :D

    ReplyDelete