Gereja Katedral Kristus Raja, Gereja Peninggalan Era Kolonialisme

Kalau kebetulan berada di Kupang pada hari minggu, coba deh kita melakukan kegiatan rohani. Apa pasal? Warga kota yang sebagian besar beragama nasrani memang sangat menghormati hari minggu sebagai harinya Tuhan. Sangat sedikit kegiatan yang dapat ditemukan di kota ini pada hari minggu. Saya bahkan menemukan sejumlah rumah makan, warung kecil, hingga toko tutup pada hari minggu kedatangan saya di Kupang. Wah, saran saya, kalau anda tiba di kota ini pada hari minggu, siapkanlah beberapa jenis makanan atau cemilan untuk mengganjal perut anda selama berada di Kupang.
Ada banyak gereja tempat umat bisa melakukan ibadat. Gereja Katolik paling terkenal tentu saja Gereja Katedral Kristus Raja di Jalan Urip Soemohardjo selain gereja Katolik lainnya yang tersebar di penjuru kota. Sementara itu, Gereja Protestan paling banyak di kota ialah Gereja Masehi Injili di Timor atau yang biasa disebut GMIT, banyak tersebar di penjuru kota juga untuk memenuhi kebutuhan jemaatnya.
Gereja Katedral Kristus Raja yang menjadi tempat peribadatan saya di hari minggu sore tersebut adalah bangunan lama Belanda (dibangun pada pertengahan tahun 1800). Bangunannya jadul abis. Tampaknya didirikan dari batu-batu besar yang menjadi ciri bangunan khas kolonialisme. Lonceng besar segede gaban masih bertengger sempurna di atas pucuk menara tertinggi dan masih bisa bunyi loch. Bangunan dalamnya (saya agak kecewa) tidak seperti yang saya bayangkan. Tampaknya tempelan dan ornamen modern sudah banyak menghiasi bagian dalam gereja. Chandelier yang ada saja sudah ditempeli lampu hemat energi dengan warna cukup terang. Bangunan berlantai 2 tersebut sangat panas. Padahal di luar sempat terdengar deru hujan deras namun di dalam banyak umat berkipas-kipas. Kipas besar 3 buah (mungkin karena kotor kali yach?) yang berputar di atas plafon tampaknya tidak mampu mengusir panas yang ada. Saya mengikuti misa sambil kegerahan.
Uniknya, putra altarnya ada yang perempuan, jadi mungkin tidak tepat disebut putra altar. Sejalan dengan sebutan Kupang, Kota masa lalu, Buku yang digunakan di gereja ini masih madah Bakti. Duh, saya tidak bisa mengikuti lagu-lagunya karena tidak familiar sama sekali. Ketika menerima hosti, saya semakin heran karena bagian atas tampaknya terlupakan (kebetulan saya duduk di atas). Alhasil, pastur atau prodiakon atau suster tidak naik ke atas untuk membagikan hosti. Jadi, di kala sesi pembagian hosti sudah mau selesai, barulah umat yang di bagian atas berbondong-bondong turun ke bawah atas inisiatif sendiri.
Gereja ini memiliki keistimewaan karena bangunannya berwarna sangat putih dan mencolok sekali terlihat di jantung kota. Ada sesuatu yang tampaknya seperti kuburan seorang Uskup di bagian depan gereja (tampaknya makam Mgr. Gregorius Manteiro, SVD, Uskup Agung Kupang tahun 1967-1997). Hiasan patung Jesus dan bunda Maria bersama dengan kain Ikat Timor berpadu di depan gereja.
Sama seperti patung Sonbay karena terletak berhadapan, jalur di depan gereja adalah jalur yang ramai oleh kendaraan umum. Hampir semua kendaraan umum yang melintasi pusat kota akan melewati gereja ini.

2 komentar:

  1. sudut pengambilan gambar nya keren banget bro.

    wah banyak juga ya gereja tua disana.bahkan ada yg sejak thn 1800 an.ck ck ck...

    ReplyDelete
  2. wkkwkw...kebetulan kayaknya...gak niat ambil sudut itu koq...hahaha...tunggu postingan berikutnya yah, ada gereja dari tahun 1700an loh :">

    ReplyDelete