Tertambat Tongkongan Tangkeallo Karungian Pangli

Batutumonga ternyata masih cukup jauh. Untungnya, dalam jalan berliku sepanjang 20 kilometer menuju kesana, banyak tempat menarik yang bisa disinggahi untuk dinikmati. Perhentian pertama setelah anda melewati percabangan Bori sebelah kiri adalah Pangli. Disini, ada Tongkonan Tangkeallo Karungian Pangli yang cantik. Walaupun ada plang nama yang menunjukkan lokasi Tongkonan ini, namun Tongkonan ini sejatinya bukan tempat wisata. Tongkonan ini adalah milik keluarga turun temurun yang masih dipertahankan hingga saat ini. Keluarga Tangkeallo masih tinggal di Tongkonan ini.
Setelah menempuh jalan menanjak becek dan berbatu-batu, sampailah saya di sebuah lapangan terbuka. Seekor kerbau (Bahasa Toraja : tedong) terikat di pojokan lapangan. Deretan Alang (lumbung padi dengan arsitektur Toraja) berjejer cantik di lapangan tersebut. Ketika saya datang, seorang anak menyambut saya. Saya meminta ijin kepadanya untuk melihat-lihat dan ia berkata akan meminta ijin kepada neneknya terlebih dahulu. Ternyata, keluarga tersebut tinggal di belakang Tongkonan utama dan, sambil tersenyum, mereka melambaikan tangannya mengijinkan saya untuk melihat-lihat. Sayangnya, anjing-anjing yang mereka pelihara tidak demikian. Beberapa ekor anjing menyalak menggonggong tidak ramah kepada saya. Saya cuek saja dan mulai berfoto-foto.


Jelas, Tongkonan Tangkeallo diambil dari nama sang pemilik, Drs. J.B. Tangkeallo. Walaupun Pangli dicatat di beberapa tempat sebagai tempat wisata yang memiliki deretan Tongkonan terindah, namun tempat ini bukanlah tempat wisata umum. Untuk masuk dan melihat-lihat, anda butuh meminta ijin terlebih dahulu dari keluarga yang menghuni. Bukan tidak mungkin, di saat mereka sedang melangsungkan hajatan di lapangan tersebut, anda tidak bisa berkunjung ke Tongkonan ini. Kata sang bapak yang menemani saya melihat-lihat, lapangan ini biasanya sering diubah untuk didirikan area perhelatan Rambu Solo (pesta kematian/perayaan dukacita) atau Rambu Tuka (pesta pernikahan/perayaan sukacita). Sedikit banyak beliau juga menjelaskan tentang Tongkonan ini, termasuk bagaimana dewan pariwisata Toraja Utara kerap datang untuk memberikan bantuan pembersihan Tongkonan dari berbagai kekotoran, tanaman liar hingga sarang laba-laba. Memang sich, pada saat kunjungan, saya menemukan deretan Alang dan Tongkonan di tempat ini kurang terawat. Padahal, pembersihan yang dilakukan oleh Dewan Pariwisata Toraja Utara baru saja tidak terlalu lama.
Seperti Tongkonan lain di Tana Toraja, yang mengesankan dari Tongkonan Tangkeallo ini adalah deretan tanduk tedong yang dikoleksinya. Seperti yang anda semua tahu, deretan tanduk tedong yang dimiliki suatu Tongkonan adalah tanda seberapa banyak keluarga tersebut pernah melakukan Rambu Solo. Jumlah tanduk tedong yang dimiliki mengindikasikan seberapa banyak kerbau yang pernah disembelih untuk perayaan. Di bagian paling bawah, tanduk tedong yang maha besar dipasangkan pada replika kepala tedong yang terbuat dari kayu. Pada kasus Tongkonan Tangkeallo, replika tedong yang dimiliki berjumlah dua buah, hitam dan putih. Apakah ini artinya bahwa mereka pernah menyembelih kerbau bule yang konon harganya jauh lebih mahal dibanding kerbau hitam? Jumlah tanduk tedong umumnya juga mengindikasikan harta kekayaan suatu keluarga. Kenapa? Begini, harga satu ekor kerbau bisa puluhan juta. Untuk kerbau yang bagus, bisa mencapai 30 juta. Untuk kerbau bule atau kerbau belang, konon bisa mencapai 80 juta dan 120 juta. Fantastis yach? Dengan harga kerbau yang setinggi itu, wajar donk kalau dengan mudah kita bisa memprediksi berapa harta kekayaan yang dimiliki oleh keluarga tersebut? Maka dari itu, wajar sekali kalau tanduk tedong adalah simbol prestisius dan derajat suatu keluarga di Tana Toraja ini. Semakin banyak tanduk kerbau yang dimiliki, semakin tinggi pula derajat suatu keluarga di masyarakat.
Di Tongkonan Tangkeallo, anda bisa menikmati uniknya aneka ukir-ukiran menarik yang memenuhi sekujur bagian Tongkonan. Ukir-ukiran ini banyak terdapat di tubuh Tongkonan utama, plus diberi warna. Sementara itu, pada deretan alang, ada yang berukir, ada yang tidak. Alang di tempat ini pun sudah cukup modern, mungkin sudah mengalami proses perbaikan kali yach? Terbukti, atap alang rata-rata sudah menggunakan asbes, berbeda dengan Tongkonan Tangkeallo yang masih menggunakan sirap sehingga banyak ditumbuhi tanaman paku. Selain ukir-ukiran umum, saya juga baru pernah melihat ukiran yang agak lain dari biasanya di tempat ini. Kalau secara umum filosofi ukiran di Toraja adalah bentuk-bentuk motif geometris dan bentuk khusus (pa’ tedong), saya baru melihat ada bentuk salib dan pelangi yang secara kasat mata pun mencolok dan berbeda dengan ukir-ukiran Toraja lainnya. Apakah bangunan besar dengan atap ala Toraja tersebut merupakan gereja? Sayangnya, saya nggak bertanya kepada kakek keluarga Tangkeallo.
Sayang, siang itu tidak ada wisatawan lain yang datang ke Tongkonan Tangkeallo ini selain saya. Jadi, saya juga sesegera mungkin menyudahi kunjungan saya di tempat itu. Nggak enak juga merepotkan penghuni Tongkonan Tangkeallo terlalu lama. Seusai saya berfoto dengan Tongkonan, Alang, anjing dan kerbau, saya memohon diri. Sebelum pulang, bapak tersebut memberikan informasi akan adanya Rambu Solo di Balusu, dekat dengan Pangli menuju arah Sa’dan. Bapak tersebut bahkan menawarkan, ada rombongan keluarganya yang akan berangkat ke Balusu dan saya diperkenankan ikut apabila saya mau. Waduh, baik banget sich si bapak. Saya dilema. Waktu sudah menunjukkan pukul 9 pagi dan apabila saya ingin berangkat menuju Rambu Solo, saya harus pergi agak pagian sedikit. Tentu, selain mencari alamat, saya juga harus membeli hantaran terlebih dahulu. Namun di lain sisi, saya bahkan tidak sampai seperempat perjalanan menuju Batutumonga. Rasanya sayang sekali kalau perjalanan ini harus dibuang begitu saja.
Akhir kata, setelah menimbang-nimbang, akhirnya saya bermaksud untuk pergi ke Balusu pada saat sore hari sehingga tujuan saya mencapai Batutumonga tercapai. Jadi, saya masih punya waktu di pagi hari donk untuk menuju Batutumonga. Dengan sangat menyesal, saya menyampaikan penolakan akan tawaran bapak tersebut. Saya memilih melanjutkan perjalanan saya saja. Segera, saya memohon diri kepada bapak dan keluarga Tangkeallo, kemudian saya kembali memutar sepeda motor saya dan kembali mendaki jalan menuju Batutumonga yang dingin, sepi dan berhutan.

6 komentar:

  1. masa jumlah tanduk kerbau mencerminkan kekayaannya? yang pernah saya dengar: banyak keluarga yang berhutang atau menabung selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun demi mengadakan sebuah upacara kematian yang layak. jadi belum tentu jumlah tanduk itu sebanding dengan kekayaannya sih.

    sekedar opini aja. hehehe

    ReplyDelete
  2. mahal sekali ya harga kerbau disana, bisa sampe puluhan bahkan ratusan juta.. disini mau yang item atau yang bule rasanya harganya sama aja, kisaran 5-8 juta saja.. hehe

    ReplyDelete
  3. @Oom Brad : Hehehe...berhubung saya bukan Orang Toraja, saya nggak bisa mengonfirmasikan hal ini. Saya juga pernah denger versi yang seperti Oom Brad sebutkan. Sebagai Orang Toraja, mereka merasa harus mampu menyelenggarakan pesta Rambu Solo walaupun pesta tersebut digelar bertahun-tahun atau bahkan berpuluh-puluh tahun sesudahnya, dengan catatan : dana yang diperlukan sudah tersedia. Jadi, bukan yang aneh kalau Rambu Solo digelar berpuluh-puluh tahun semenjak kematian sang almarhum lantaran dananya baru tersedia belakangan. Hal ini jadi terasa menggelitik dan menimbulkan semacam guyonan di bus yang membawa saya dari Rantepao ke Maros. Sesama warga Toraja berkelakar, Orang-Orang Toraja adalah orang-orang kaya dan suka menghambur-hamburkan uang, karena dengan adanta pesta apapun, suka cita maupun duka cita, berekor-ekor atau berpuluh ekor tedong akan disembelih untuk acara tersebut. Hehehe. Saya sempat tersenyum-senyum juga mendengarnya.

    Namun, beberapa warga yang saya tanyai memang mengkonfirmasikan kebenaran perihal jumlah tanduk tedong mengindikasikan jumlah kekayaan keluarga tersebut loch. Gini, sederhananya saja, satu kerbau yang bagus bisa dihargai 30 juta. Nah, kalau di satu tiang rumah itu dipasang puluhan tanduk tedong, apakah mereka nggak disebut koayoaaaa roayaaaa *saking kaya rayanya* hehehe.....masalah berikutnya mereka tidak memiliki kerbau lagi setelah mengadakan Rambu Solo besar-besaran ya mungkin urusan belakangan kali yach? Soalnya, tanduk tedong juga menjadi semacam simbol prestisius bagi masyarakat Toraja :) iya, itu beberapa hal yang berhasil saya kumpulkan dari perjalanan saya ke Tana Toraja. Hehehe...mohon koreksinya kalau ada yang salah yach :D

    @Mas Tri : Hehehehe...iya tuh yah. Mungkin nggak yah, jangan-jangan kerbau disini dan disana berasal dari genus atau species yang berbeda? Kalau sama, mendingan mengimpor dari sini saja kali yach? Harganya melonjak naik disana. Hohohoho. Atau harus kerbau peranakan (hidup dan makan rumput di Toraja) sanakah yang berlaku? hehe...sayang, saya nggak sempet bertanya akan hal ini :)

    ReplyDelete
  4. @Oom Brad : Hehehe...berhubung saya bukan Orang Toraja, saya nggak bisa mengonfirmasikan hal ini. Saya juga pernah denger versi yang seperti Oom Brad sebutkan. Sebagai Orang Toraja, mereka merasa harus mampu menyelenggarakan pesta Rambu Solo walaupun pesta tersebut digelar bertahun-tahun atau bahkan berpuluh-puluh tahun sesudahnya, dengan catatan : dana yang diperlukan sudah tersedia. Jadi, bukan yang aneh kalau Rambu Solo digelar berpuluh-puluh tahun semenjak kematian sang almarhum lantaran dananya baru tersedia belakangan. Hal ini jadi terasa menggelitik dan menimbulkan semacam guyonan di bus yang membawa saya dari Rantepao ke Maros. Sesama warga Toraja berkelakar, Orang-Orang Toraja adalah orang-orang kaya dan suka menghambur-hamburkan uang, karena dengan adanta pesta apapun, suka cita maupun duka cita, berekor-ekor atau berpuluh ekor tedong akan disembelih untuk acara tersebut. Hehehe. Saya sempat tersenyum-senyum juga mendengarnya.

    Namun, beberapa warga yang saya tanyai memang mengkonfirmasikan kebenaran perihal jumlah tanduk tedong mengindikasikan jumlah kekayaan keluarga tersebut loch. Gini, sederhananya saja, satu kerbau yang bagus bisa dihargai 30 juta. Nah, kalau di satu tiang rumah itu dipasang puluhan tanduk tedong, apakah mereka nggak disebut koayoaaaa roayaaaa *saking kaya rayanya* hehehe.....masalah berikutnya mereka tidak memiliki kerbau lagi setelah mengadakan Rambu Solo besar-besaran ya mungkin urusan belakangan kali yach? Soalnya, tanduk tedong juga menjadi semacam simbol prestisius bagi masyarakat Toraja :) iya, itu beberapa hal yang berhasil saya kumpulkan dari perjalanan saya ke Tana Toraja. Hehehe...mohon koreksinya kalau ada yang salah yach :D

    @Mas Tri : Hehehehe...iya tuh yah. Mungkin nggak yah, jangan-jangan kerbau disini dan disana berasal dari genus atau species yang berbeda? Kalau sama, mendingan mengimpor dari sini saja kali yach? Harganya melonjak naik disana. Hohohoho. Atau harus kerbau peranakan (hidup dan makan rumput di Toraja) sanakah yang berlaku? hehe...sayang, saya nggak sempet bertanya akan hal ini :)

    ReplyDelete
  5. hehehe, bener-bener takjub deh sama orang Toraja.

    ReplyDelete
  6. setau saya jumalah kerbau yang di pajang itu bukan berdasarkan jumlah kerbau yang telah dipotong, tapi jumlah pesta adat yang pernah diadakan di tongkonan tersebut...karena 1 kali pesta rambu solok kebau yang dikorbankan bisa diatas 100 ekor...kalau semua di pajang ngak muat om...

    ReplyDelete