Sisi Lain : Klasik, Soal Bahan Bakar di Pandan dan Sibolga

Masalah klasik yang masih meliputi kota-kota di luar Jawa pada umumnya, termasuk di dalamnya Kota Pandan adalah soal bahan bakar. Kendaraan yang saya tumpangi menjadi saksi sulitnya mencari bahan bakar di dalam wilayah pantai barat Sumatera ini. Mungkin, kendaraan saya itu berasal dari Medan dan ia tidak mengisi bahasa bakar di Tarutung. Ketika akan berbalik menuju Tarutung, saat bahan bakarnya sudah sekarat, ia tidak bisa mengambil resiko dengan melintasi 66 KM plus 1200 kelokan dalam kondisi menanjak menembus hutan di wilayah Sitahuis dan Adian Koting tanpa adanya stasiun pengisian bahan bakar sama sekali. Sebelum memasuki wilayah hutan di Bukit Barisan yang memisahkan Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah, kendaraan saya berputar-putar mencari bahan bakar di Kota Pandan hingga ke sejumlah SPBU. Nihil. Semua SPBU menunjukkan ketiadaan bahan bakar. Antrian kendaraan sudah terlihat berbaris mengantri dalam kondisi mesin mati. Mungkin juga, mereka sudah mengantri beberapa hari lamanya. Konon sich, bahan bakar akan dicurahkan pada hari itu. Namun, sang supir juga tidak bisa mengambil resiko untuk menunggu bahan bakar dicurahkan lantaran harus mengejar waktu menuju Medan. Sebagai informasi, Sibolga - Medan dapat ditempuh dalam 12 jam perjalanan. Wow. Apabila terlambat berangkat dari Sibolga, bisa dipastikan akan sangat terlambat pula untuk tiba di Medan.
Frustasi dalam mencari bahan bakar, akhirnya sang supir nekad membeli bahan bakar eceran di tepi jalan dengan harga lebih mahal tentunya guna menyambung nyawa lebih panjang bagi mobilnya. Kondisi kendaraan pun sudah sedikit kritis karena kendaraan harus berputar-putar di dalam Kota Pandan demi mencari sesuap bahan bakar. Saya sich, anggap ini sebagai jalan-jalan gratis di Kota Pandan. Hehehe. Walaupun ada resiko bahwa saya tidak akan bisa mencapai Pematang Siantar pada malam ini, namun, saya mencoba untuk mengambil positifnya saja.
Mobil pun diarahkan menuju pusat Kota Sibolga sambil sang supir mencari-cari SPBU mana yang kira-kira tersisa bahan bakarnya. Sungguh, mengendarai kendaraan dan bermanuver saja sudah cukup berat, supir di luar Jawa harus dihadapkan pada kondisi minim bahan bakar. Sebagai informasi, kejadian ini bukanlah kejadian yang pertama. Beruntungnya kita yang tinggal di kota-kota besar di Jawa dimana bahan bakar menjadi prioritas. Kota-kota di Kalimantan yang terkena kaya dengan sumber bahan tambang minyak bumi pun harus menerima ironi berupa sulitnya mendapatkan bahan bakar. Ironi ini diperparah lagi dengan pemadaman bergilir yang kerap diderita masyarakat sana walaupun daerah tersebut adalah lumbung batu bara. Ironi.
Untungnya, kekhawatiran tersebut menjadi menguap lantaran sang supir baru menerima sebuah telepon yang mengatakan bahwa truk tangki bahan bakar sudah tiba di pusat Kota Sibolga. Berita ini segera menaikkan semangat sang supir. Ia pun segera memacu kendaraannya ke pusat Kota Sibolga yang sudah dapat diprediksi, menjadi macet karena banyak kendaraan juga berebutan mengisi bahan bakar kendaraan mereka masing-masing. Jalanan Sibolga yang sempit dan tidak lebar tersebut menjadi macet karena antrean kendaraan. Hmm.... isu klasik yang tak pernah selesai untuk dibenahi.
Kalau dilihat dari kacamata positif, untungnya pengisian bahan bakarnya selesai juga akhirnya. Kendaraan segera dipacu menuju ke utara, bersiap menembus hutan Bukit Barisan yang rapat memisahkan Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara.

3 komentar:

  1. My family members all the time say that I am killing my time
    here at web, but I know I am getting know-how everyday by reading
    such pleasant posts.

    Feel free to surf to my webpage: Dragon City Cheat Engine

    ReplyDelete
  2. 1200 kelokan? Yakin nggak salah hitung? Siapa tahu aja 1201 atau 1202 :). Para perantau dari Jawa bilang, kalau sudah merasakan hidup di luar Jawa itu baru bisa bilang berani hidup. Benar juga, karena memang ada banyak kemudahan di Pulau Jawa yang setengah mati dapatnya di sini. Tapi jangan salah, ada juga banyak kelebihan di luar Jawa yang nggak didapat di Jawa. Intinya, semua tempat punya plus minusnya. Tinggal ambil positifnya aja. Contohnya, Manado adalah kota yang tidak ramah terhadap pengguna taksi. Kalau pesen lewat telpon nunggunya sampai jamuran. Setelah nunggu lama dan kita telpon operator lagi, malah mereka tanya,"Alamatnya di mana, Bu?" CPD...... Nunggu di jalan, ada taksi lewat lampu atasnya nyala dan kita melambai dengan semangat, eh, taunya ada penumpangnya. Pokoknya aneh-aneh, deh. Yang niatnya naik taksi biar praktis dan nyaman malah ribet plus naik darah. Tapi jangan sediiiiiih.... Sekali lagi ini kan temanya 'ambil sisi positifnya'. Gara-gara sering dikecewakan dan dilukai (halah) orang supir taksi di Manado, akhirnya saya jadi jagoan naik angkot, padahal dulu naik angkot 100 meter aja pusingnya kebawa sampai setengah hari.

    Tapi salut juga untuk para sopir di Pandan dan Sibolga. Tantangan hidupnya aja kayak gitu, pantas mereka lekas naik darah, ya? Eh, yang terakhir ini kayaknya nggak nyambung, deh. Biarin.

    ReplyDelete
  3. seluruh indonesia seperti mengalami hal yang hanpir serupa, bbm memang menjadi komoditas yang paling rentan dimainkan oleh para spekulan, sehingga mengemudikan kendaraan bermotor harus ekstra cermat mengawasi meteran bahan bakarnya, apalagi kalau menempuh jarak yang jauh...salam :-)
    http://hariyantowijoyo.blogspot.com

    ReplyDelete