Warung Makan Dan Museum Numismatik Satu-Satunya Di Desa Tele

Warung makan ini mungkin satu-satunya warung yang berada di Desa Tele (hmm…desa? Saya nggak lihat adanya hunian lain selain warung makan dan pondok berjaga ini di seputaran Tele…). Lokasinya sedikit banyak mengingatkan saya akan Tinimbayo, lokasi wisata di ketinggian Toraja Utara yang terletak di lereng Gunung Sesean. Walau nggak benar-benar mirip dengan pemandangan di Tinimbayo (jelas, daratan di bawah Tinimbayo dipenuhi Tongkonan dan Alang), namun komposisi tempat ini pas : satu tempat untuk melihat pemandangan dan satu-satunya warung makan yang berada entah berapa kilometer jauhnya dari warung terdekat lainnya. Selain memang bersifat mutualistis antara menara dan warung, keberadaan warung tentunya menguntungkan buat saya, terutama di jalur Pangururan – Dolok Sanggul yang sepi ini. Daripada bengong di pinggir jalan, makan, minum, sambil melihat-lihat sekeliling nggak jelek juga.
Seperti halnya standar warung di pinggir jalan yang bermaksud untuk memanjakan para petualang yang lelah, haus, maupun lapar, warung ini menjual berbagai penganan umum seperti minuman teh, atau minuman ringan dalam kemasan, kopi hangat, snak ringan yang bisa dibawa-bawa (yang isinya cuma angin doank hihihi), dan permen. Ada pula sejumlah makanan unik yang saya jamin nggak bisa ditemui di tempat lain di Indonesia karena biasanya hanya diproduksi secara lokal saja dan didistribusikan tidak dalam skala luas. Contohnya adalah sebuah kue yang menarik perhatian saya dari namanya : Roti Ketawa. Secara fisik, roti ini nggak menimbulkan perasaan ajaib bagi saya, nggak beda jauh dengan roti-roti lokal yang biasa diproduksi masyarakat setempat. Namun, buat saya, namanya yang unik lah yang justru menarik perhatian saya. Bentuknya mirip croissant kecil yang dipadatkan dan ditaburi wijen pada bagian atasnya. Roti Ketawa ini keras, beda sama croissant yang kosong dan melesak ketika ditekan. Oh ya, Roti Ketawa Cap Bintang Terang ini diproduksi di Pematang Siantar. Cukup jauh juga loch wilayah jelajahnya mengingat roti ini bukanlah jenis roti yang bisa tahan cukup lama.
Memasuki warung ini, waktu serasa mundur beberapa puluh tahun ke belakang. Selain foto-foto sang pemilik yang sudah tampak jadul, warung ini juga memajang sejumlah foto orang-orang penting seperti Ludwig Ingwer Nommensen, rasulnya orang Batak berkebangsaan Jerman kelahiran Denmark yang menyebarkan Kristen ke penduduk Batak yang kala itu masih menganut Pelebegu. Foto Ompu Nommensen (begitu orang Batak memanggilnya) dan keluarganya tersebut bertanggal 1909 dan diambil di Sipoholon, satu kota yang terletak antara Siborong-borong dan Tarutung, masih terletak di Tapanuli Utara. Poster jadul lain yang langsung menarik mata saya adalah poster minuman bir hitam Anker Stout yang entah sudah dipasang dari tahun berapa. Hahaha. Nggak cuma warna posternya yang sudah pudar, namun desain poster dan minumannya sendiri pun sudah tidak pernah saya jumpai dalam keseharian saya. Entah dech kalau ada teman-teman yang masih menjumpai poster sejenis di lingkungannya. Adakah?
Nggak cuma warung makan dan minum serta tempat istirahat saja. Suatu kejutan yang menarik ternyata warung yang terletak di Desa Tele ini menyimpan koleksi mata uang Tapanuli dari jaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, hingga masa-masa awal kemerdekaan. Memang sich, koleksinya nggak banyak, namun museum mini ini membuat saya kagum karena benda koleksi yang ditampilkan masih cukup terawat walaupun nggak bisa dibilang sangat terawat. Yang menarik buat saya, adalah uang yang digunakan pada jaman pra-kemerdekaan dan masa penjajahan ternyata berbeda dengan yang kita kenal di Jawa, atau di belahan Indonesia lainnya. Uang yang ditampilkan disini jelas-jelas mencantumkan keterangan “mata uang Tapanuli” yang artinya hanya bisa dipakai selama anda berada di wilayah Tapanuli. Kalau misalnya saya mau ke Karesidenan Sumatera Timur seperti Labuhan Batu, Asahan atau Pematang Siantar, maka tampaknya peran money changer diperlukan disini. Hehehe. Saya nggak terlalu yakin bahkan, apakah money changer pada masa itu sudah ada atau belum. Hihihi. Repot juga yach? Walaupun uang atau alat pembayaran pada jaman itu masih sangat sederhana dari segi corak dan warna, namun saya cukup terkagum-kagum oleh kearifan lokal yang sudah diangkat oleh pemerintah setempat kala itu seperti memasukkan gambar burung rangkong, burung kakaktua jambul, hingga wayang orang.
Saya senang berada di Desa Tele ini. Selain menikmati pemandangan yang indah dari ketinggian Menara Pandang Tele dan hawa sejuk yang luar biasa, saya juga bisa menikmati museum mini numismatik akan alat pembayaran yang sah di Karesidenan Tapanuli. Nggak cuma makan, minum, atau meluruskan kaki sejenak dan melihat pemandangan, warung ini menyediakan toilet yang bersih dan airnya dingin. Buat penggemar bebungaan, bersyukurlah karena pemilik warung ini nampaknya memang senang berkebun dan menanam bunga-bungaan khas pegunungan yang bentuk dan warnanya indah. Aneka baby breath, hibiscus, bougenville, dan keluarga duranta ditanam di sejumlah titik, baik di dalam pot maupun langsung di sepanjang lereng. Nggak terasa, sambil saya menunggu dan menikmati koleksi uang kertas jaman dahulu dan bebungaan, eh, Sampri-nya sudah datang untuk membawa saya ke kota berikutnya : Dolok Sanggul.

12 komentar:

  1. Saya cuma penasaran satu hal: apakah pria yang ada di iklan bir itu adalah Willy Dozan di kala muda? Ada yang tahu jawabnya?

    ReplyDelete
  2. sampri apaan sih om ?
    semacam angkutan umum gitukah ?
    roti ketawa itu kok dalam benakku onde-onde versi beku ya :P

    ReplyDelete
  3. hihihihi...iya Tir...sejenis Mikrolet kalau orang Jakarta bilang. itu sebenarnya nama mereknya, namun digeneralisasi jadi nama angkutan yang berbentuk demikian.

    kalau Roti Ketawa, saya nggak beli dan saya nggak nyobain jadi saya nggak tau rasanya seperti apa. hehehehe. Onde-onde beku? rasanya sih nggak mewakili soalnya onde-onde kan dari tepung ketan. ini kayaknya bener-bener dari terigu padat, terus raginya sedikit jadinya bantet dan keras...hihihi

    ReplyDelete
  4. cieee...kayaknya ada penggemarnya Willy Dozan nich. hihihi. pasti Betharia Sonata dimusuhi sama ibu-ibu penggemar Oom Willy deh #apa-sich

    saya amati lekat2, namun saya lihat bentuk matanya, raut wajahnya, kayaknya itu bukan Willy Dozan deh jeung. saya nggak tahu deh itu siapa, tapi ya itu, rasanya sich bukan beliau yaaa :D kalau ada koreksi boleh dibantu. ^^

    ReplyDelete
  5. padahal selain sampri kan ada juga PSN (Pulo Samosir Nauli).. hehe

    ReplyDelete
  6. Setau saya warung makan terdekat ada di Tele ya mas, bukan menara pandang tele ini melainkan masih naik lagi lumayan jauuuh.. disana cukup banyak warung-warung makan yang lumayan rame. wajar juga sih karena disana juga dijadikan tempat ngetem angkutan-angkutan yang akan ke sibolga, sidikalang, dan lain-lain.. yah kalo menara tele sih menurut saya jauh dari mana-mana.. udah syukur banget tuh ada warung makan sebiji gitu.. :))

    ReplyDelete
  7. iya, tapi orang sini sebutnya cuma Sampri. hihihi

    ReplyDelete
  8. untung ada warung ini. kalau nggak, bener-bener mati gaya deh nunggu Sampri yang lewat. hahahaha. sekalian kasih palang melintang aja di jalanan. hehehe.

    Sampri yang waktu itu saya naiki nggak berhenti di Desa Tele yang sebenarnya itu. hehehe. Sayang sebenernya. Makanya, saya juga merasa aneh. menara pandang ini masih masuk bagian dari Tele walau terpisah oleh hutan dan gunung yang lumayan panjang...

    ReplyDelete
  9. Loh jadi nggak berhenti di Desa Tele tho malahan? Apa angkutannya sudah penuh sejak dari Pangururan mas? Padahal cukup banyak angkutan yg berhenti disana hanya untuk sekedar mampir makan atau beli minum (sopirnya)..
    Sent from my BlackBerry®
    powered by Sinyal Kuat INDOSAT

    ReplyDelete
  10. *coba inget inget* iya, kayaknya angkutannya sudah penuh dari Pangururan. Saya dan teman saya saja duduknya mencar. hehehehe

    ReplyDelete
  11. Saya bukan penggemar Willy Dozan, saya penggemar Barry Prima, hihihi....

    ReplyDelete
  12. jadi inget sama Oom Advent Bangun :))

    ReplyDelete