Di Puncak Siatas Barita, Di Puncak Salib Kasih

Dan, disanalah, Salib besar tersebut menjulang tinggi menyibak langit biru, menghujam angkasa. Agak dramatis karena sekeliling Salib Kasih tertutup oleh pepohonan Pinus yang rapat dan langit tepat di atas kami berwarna biru cemerlang dengan sejumput awan berarak. Cantik. Ya, saya telah sampai di puncak Siatas Barita, dengan Salib Kasih berdiri tegak, kokoh di atasnya. Areal bawah Salib Kasih adalah deretan kursi yang berbentuk seperti teater dengan sebuah mimbar di bawah, menghadap ke Salib Kasih. Saya yang duduk di deretan kursi-kursi ini, bisa melihat Rura Silindung dan Kota Tarutung secara keseluruhan dari atas sini. Luar biasa. Salib Kasih ini sejatinya diberikan lampu di sekujur bagiannya, mengikuti kontur pinggir salib. Seharusnya, pada saat gelap, lampu-lampu ini akan menyala sehingga terlihat dengan jelas dari bawah bukit sana. Sayangnya, saya sudah nggak di tempat ini saat malam tiba sehingga saya nggak tahu apakah lampunya menyala atau tidak.


Selain teater dan mimbar, bagian bawah persis dari Salib Kasih ini adalah kamar doa. Kamar doa ini jumlahnya banyak dan posisinya melingkari Salib Kasih. Kebanyakan kamar doa ini merupakan sumbangan dari pengunjung yang datang (soalnya ada nama penyumbangnya). Saya memasuki kamar doa yang berada persis di bawah fondasi Salib Kasih. Ada beberapa peraturan tegas yang harus dipatuhi yakni alas kaki harus dilepas, tidak boleh berfoto, dan tidak boleh meninggalkan uang sumbangan di dalam kamar doa. Memang, suasana sejuk dan kamar yang hampir kedap membuat orang bisa berdoa dengan tenang di kamar ini. Bahkan, dalam kamar doa ini ada Alkitab dalam Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris versi King James, dan Bahasa Batak. Whoaaa. Saya tertarik banget dengan Alkitab Bahasa Batak, walaupun saya nggak ngerti satupun isinya. Hehehe. Usai berdoa, saya kembali mengelilingi areal Salib Kasih ini dan menemukan satu bentuk batu yang bersalib tepat di sisi kanan mimbar yang saya kira adalah makam. Di atas batu tersebut ada prasasti yang diperuntukkan untuk Dr. Ingwer Ludwig Nommensen, sehingga sempat saya mengira bahwa ini adalah makam rasul tersebut. Namun saya teringat, Nommensen dimakamkan di Sigumpar, Toba Samosir. Belakangan saya baru tahu bahwa batu ini adalah lokasi dimana Nommensen berdoa meminta berkat dan berucap akan melayani Bangsa Batak. Konon, pada jaman dahulu sebelum kedatangan misionaris Bangsa Eropa, di puncak bukit Siatas Barita ini sering diadakan penyerahan tumbal untuk menyenangkan Sombaon (roh alam yang kedudukannya tinggi). Konon pula, puncak Siatas Barita ini terkenal angker. Nah, demi memutus mata rantai tersebut, Nommensen yang pada waktu itu ingin ditumbalkan oleh Sibaso (pemimpin ritual), mengatakan kepada Sibaso bahwa Simbaon adalah roh jahat karena nenek moyang tidak pernah meminta keturunannya untuk dijadikan tumbal. Konon lagi, Sibaso tersebut terjatuh dan mulai saat itu orang-orang mulai percaya kepada Nommensen.
Di sekeliling teater, sejumlah wisatawan yang rata-rata wisatawan lokal memenuhi area dan berfoto narsis bersama keluarga dan teman. Nggak bawa kamera? Jangan kuatir, ada fotografer Salib Kasih yang segera membantu anda menyalurkan hasrat kenarsisan anda. Hmm...harusnya sich kalau narsis nggak mungkin lupa bawa kamera yach? Kamera apapun juga jadi. Hehehe. Tentu saja, Salib Kasih menjadi latar kenarsisan paling utama. Di luar dari itu, sejumlah sudut teater, bebungaan, batu tempat Nommensen berdoa, hingga mimbar bisa dijadikan arena bernarsis ria. Kalau sudah puas berkeliling dan memandang Rura Silindung, di bagian belakang salib ada sejumlah kamar doa dan dinding yang berelief yang menggambarkan kisah perutusan Nommensen di Tanah Batak ini. menjelang sore, matahari semakin condong dan suasana pun semakin sejuk di puncak Salib Kasih ini. Ditambah dengan semakin sedikitnya pengunjung, tampaknya ini merupakan tanda bagi kami untuk segera menarik diri, dan kembali ke kota. Postingan ini sekaligus untuk memenuhi harapan Oom Bradley Marlissa yang konon kabarnya penasaran banget sama temen jalan saya. Kebetulan, ini foto terakhir saya bersama dengan dia karena setelah Tarutung, kami berpisah jalan.

7 komentar:

  1. Bukan cuma Oom Bradley yang penasaran dengan teman Lomie.
    Dan saya sebel sama Lomie karena pas bagian penting Nonsense eh Nomensen kok malah tumpang-tindih sama foto, sih? Kan gelora belajar saya yang selalu haus akan ilmu jadi terkoyak (halah). Dan sejauh saya amati, ini adalah postingan Lomie yang paling puitik *lega, akhirnya bisa komen juga*

    ReplyDelete
  2. hahahaha Mbak May penasaran juga tho? :p
    soal Nommensen, saya memang tertarik untuk mengulas kisahnya di satu postingan khusus yang saya masukkan hari ini. hehehe. met belajar ya mbak :)

    ah, masak sih saya jadi makin puitis? karena kata-kata awalan yg membuka postingan doank atuh? :D

    ReplyDelete
  3. walah... fotoku tertempel di sini. tapi kok ketindihan tulisan Lom?

    Ayo yg penasaran kalo mau kenalan #eh?!

    ReplyDelete
  4. jiaaaahhh dia promosi :))

    eh, ketindihan tulisan gimana ya? kata Mbak May, bagian Nommensen juga kena tulisan tuh. koq layoutnya bisa beda beda gitu yah?

    ReplyDelete
  5. Lha iya kok. ketumpuk. tapi kalo pas pop-up, ga ketumpuk sih. Bingung kan? Sama, gw jg bingung... wwkkwkwkw...

    ReplyDelete
  6. Btw, I miss Tarutung. I miss Salib Kasih. And for sure I miss my lens cap......

    ReplyDelete
  7. hahaha kudu liat di kompie lain buat layoutnya kayaknya :p

    hehehe tempatnya ngangenin ya? mau kangen akan tempat baru ngga? :p 22 february ini nich :)) F-L-O-R-E-S ^^

    ReplyDelete