Nggak Ada Pa'Piong, Ada Londong Babi Pa'marassan!

Saya sudah benar-benar lapar malam itu. Perjalanan panjang dari Mamasa menuju Rantepao hanya memiliki dua kali perhentian. Perhentian pertama sudah terjadi berjam-jam yang lalu di Messawa untuk makan siang. Sementara itu, perhentian kedua terjadi di Enrekang, namun tidak ada makanan berat disini, hanya makanan ringan dan salak saja. Saya tidak mengkonsumsi apapun disini selain sekotak minuman ringan saja. Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam dan saya bergegas mencari makan malam di Rantepao. Tanya boleh tanya, staff Wisma Maria memberitahukan saya sejumlah tempat makan yang lumayan dan bisa disambangi. Untungnya, Rantepao tidak terlalu besar sehingga fasilitas apapun letaknya tidak terlalu jauh. Sangat dekat sehingga bisa disambangi dengan berjalan kaki, malah. Saya memilih Mart’s Cafe yang terletak di seberang hotel lantaran faktor cuaca. Cuaca hujan begini membuat saya malas berjalan kaki jauh-jauh untuk menikmati kuliner Toraja.
Suasana ramai masih terjaga di restoran ini. Rata-rata, pengunjung yang makan adalah turis asing. Hampir tidak ada turis lokal yang makan di tempat ini. Orang lokal yang saya lihat hanyalah para pegawai restoran dan pemandu wisata yang rajin menawarkan jasanya kepada para tamu yang menikmati makan malam. Saya pun tak luput dari penawaran jasa tersebut. Pertama, mereka memperkenalkan diri dalam bahasa Inggris namun buru-buru saya ralat karena saya adalah asli Orang Indonesia. Sayangnya, begitu tahu saya turis lokal, sinar mata mereka meredup. Mungkin biasanya turis lokal jarang menggunakan pemandu kali yach? Ya ada benarnya juga sich kalau turis lokalnya adalah saya, Lomar Dasika. Hahaha. Saya selalu berusaha mengeliminir pengeluaran yang tidak terlalu penting dan kurang esensial di dalam perjalanan. Akhir kata, mereka tetap mempromosikan Tana Toraja dan beberapa acara Rambu Solo yang banyak terdapat di seputaran Toraja. Saya bercerita bahwa saya pernah ke Toraja sebelumnya sehingga kehadiran pemandu tidak terlalu saya butuhkan. Tambahan lagi, saya adalah turis backpacker yang berkantung cekak. Jadi, anggaran untuk pemandu sama sekali tidak masuk dalam daftar kebutuhan saya. Hehehe. Usai bercerita beberapa hal namun tetap menawarkan, kali-kali saya jatuh hati, beliau memohon diri. Mungkin tidak ada tanda-tanda bahwa saya akan menggunakan jasanya, barangkali yach? Ia duduk kembali di dekat meja counter saji dan kembali menyambut turis asing yang datang apabila mereka memasuki cafe ini.
Saya penasaran akan menu makanan Toraja yang khas yakni Pa’piong, nasi yang dicampur dengan daging dan dimasak di dalam bambu. Cara memakannya yakni bambu tersebut dibelah dan dikeluarkan isinya. Wah, saya sudah penasaran ingin menikmatinya. Tapi sayang beribu sayang, saya harus kecewa lantaran proses memasak Pa’piong ini cukup lama. Minimal, proses memasak Pa’piong berlangsung selama 3 jam. Apabila anda ingin memakan Pa’piong ini pada saat siang, anda harus memesannya pagi-pagi. Kalau anda ingin memakannya pada malam hari, anda harus memesannya pada siang hari. Seperti itu. Tidak ada Pa’piong siap saji karena makanan di Tana Toraja umumnya tergolong kategori makanan lambat. Hampir semua jenis makanannya dimasak dalam waktu yang cukup lama. Pa’piong juga sebaiknya disajikan begitu selesai dimasak sehingga tidak ada Pa’piong siap saji yang telah dimasak sebelumnya.
Untung, kekecewaan saya tidak berlangsung lama. Mbak pelayan menawarkan saya jenis makanan lain yang ternyata juga khas Toraja dan sedikit mirip dengan Pa’piong. Londong Babi/Ayam/Kerbau Pa’marassan namanya. Makanan ini terdiri atas daging tanpa tulang yang dimasak bersama dengan bumbu unik yang berwarna hitam dan tumbuh-tumbuhan sejenis jeruk. Hampir mirip dengan Pa’piong, Londong ini memiliki bahan baku yang sama. Perbedaan antara Londong dan Pa’piong terletak pada adanya nasi dan bambu sebagai tempat makanan dikukus. Londong sendiri menggunakan metoda tumis. Londong dan Pa’piong masing-mnasing dihargai seharga Rp. 40.000. Porsi kedua makanan ini sangat banyak! Satu porsi bisa dinikmati hingga 3-4 orang. Benar-benar banyak! Anda kebayang nggak sich kalau saya sedang sendirian saat itu dan harus menghabiskan Londong? Walaupun tergolong cepat dibandingkan Pa’Piong, namun bukan berarti Londong bisa disajikan dalam waktu singkat. Proses masaknya sendiri membutuhkan waktu sekitar 15 menit lamanya. Cukup membutuhkan kesabaran bagi yang perutnya keroncongan. Untungnya, saya bisa memanfaatkan waktu dengan berfoto dan berbincang-bincang dengan para pemandu wisata yang menawarkan saya paket wisata mulai dari paket standard, paket Rambu Solo, hingga paket Rafting. Tentu, jasa paket-paket yang ditawarkan ini belum termasuk jasa pemandu yang mereka tawarkan. Untuk jasa pemandu, umumnya biaya jasa mulai sekitar Rp. 100.000 ke atas. Bukan harga yang murah juga untuk seorang backpacker. Kalau belakangan anda tertarik, para pemandu ini bisa dengan mudah didapatkan di Mart’s Cafe, atau di kantor departemen pariwisata di Rantepao.
Londong yang saya pesan adalah Londong Babi Pa’marassan. Tentu, bukan tanpa alasan saya memilih babi sebagai jenis daging yang disajikan. Babi adalah salah satu jenis hewan yang diternakkan di Tana Toraja, berbarengan dengan kerbau. Karena mayoritas warga Toraja adalah penganut Kristiani, maka nggak heran, konsumsi babi cukup tinggi di tempat ini. Jangan kaget kalau di buku menu yang anda baca terdapat menu babi. Babi cukup mudah ditemui dalam keseharian masyarakat Toraja. Hati-hati untuk rekan-rekan yang beragama muslim, sebaiknya mencari rumah makan non Toraja di tempat ini. Usahakan untuk mencari makanan Padang atau makanan Pangkajene saja agar aman.
Londong Babi Pamarassan berwarna hitam! Bumbu berwarna hitam tersebut meliputi seluruh bagian potongan daging yang disajikan. Warna hitam tersebut didapatkan dari tanaman sejenis jeruk, kata si mbak. Rasa makanan ini gurih dan asin. Walau nggak ada makanan yang benar-benar persis untuk dibandingkan, namun Londong ini cukup mirip dengan tumisan daging. Porsinya yang terlalu besar membuat saya berusaha keras untuk menghabiskannya. Maklum saja, porsi 3-4 orang harus saya habiskan seorang diri. Akhirnya, ketika hujan sudah benar-benar berhenti, barulah saya bisa menghabiskan satu porsi besar Londong. Kenyang.

2 komentar:

  1. tator revisited nih..
    yang aku suka dari tator adalah udaranya, bersih dan sejuk. waktu jalan2 sempat liat anak babi (so gendut'e) lagi nilep gabah yang dijemur di tepi jalan. liat aku anak babinya kaburr..hehe...

    ReplyDelete
  2. iya nich. hehehe...dapet tugas *halah* dari DepBudPar. Iya, TaTor memang menyenangkan. Udaranya sejuk dan kehidupannya menyenangkan. hehehe...bisa awet muda nich kalau tinggal disini. hehehe. hmm...sayangnya aku nggak sempet ketemu anak babi disini. hehehe...

    ReplyDelete