Perihal Taksi Di Nias

Walaupun Nias seringkali mendapatkan predikat daerah dengan biaya ekonomi tinggi lantaran segala sesuatunya kurang tersedia, termasuk angkutan darat, namun untuk jarak 3 jam (90 KM) melintasi Gunungsitoli – Teluk Dalam, harga yang dibebankan per kepala adalah Rp. 50.000 dan menurut saya ini murah. Sayangnya, transportasi publik belum tersedia di Nias sehingga satu-satunya wahana yang dapat mengantarkan anda dari Gunungsitoli menuju Teluk Dalam hanyalah taksi-taksi ini (dalam wujud Kijang Innova, Kijang Krista, Daihatsu Luxio, atau Suzuki APV biasanya). Silahkan anda bandingkan dengan rute Jakarta – Bandung sejauh 125 KM dan biaya yang dibebankan sebesar mulai dari Rp. 60.000. Karena merupakan satu-satunya penghubung antar dua kota besar di Pulau Nias, maka taksi-taksi ini bukanlah angkutan umum yang cukup baik. Dari segi kenyamanan sich sudah cukup memadai, perjalanan 3 jam ini tak terasa ketika berada di dalam kendaraan yang cukup nyaman ini, sambil menikmati pemandangan sekitar. Namun,taksi-taksi ini tampaknya harus mematuhi kuota pengisian kursi di dalam rute mereka kalau tidak mau menanggung rugi. Ini sebabnya taksi yang saya tumpangi menunggu sejenak di pelabuhan, lalu masuk ke Terminal Bus Gunungsitoli cukup lama (yang sangat sepi, anehnya namun buru-buru saya menyadari bahwa minggu adalah hari dimana segala aktifitas akan turun drastis. Hari gereja, mungkin?), dan kemudian masuk lagi ke Bandara Binaka. Proses menunggu penumpang di sejumlah titik tersebut sangat membuang waktu dan melelahkan. Kalau anda diburu waktu dan berdana lebih, mungkin bisa mencarter satu taksi sekaligus tanpa harus menunggu penumpang lainnya. Nias yang memang termasuk dalam kategori daerah tertinggal, memang belum sempat menikmati indahnya pembangunan. Jalan mulus yang anda lalui sejauh 90 KM adalah gambaran yang tepat dari peribahasa “Petaka Membawa Nikmat”. Apa pasal? Sebelum tahun 2004, semenjak jaman kemerdekaan, Nias tampak tak tersentuh manisnya pembangunan. Rute 90 KM antara Gunungsitoli menuju Teluk Dalam harus dilalui dengan susah payah dan tertatih-tatih. Namun, Gempa besar di Nias tahun 2004 dan 2005 yang turut membawa pula BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) turut andil dalam memuluskan pembangunan jalan lintas Nias, plus memuluskan juga tingkat ekonomi kawasan ini. Bahkan ada semacam guyonan sarkastis yang berkembang di masyarakat, “untung ada gempa”. Hasilnya jelas bisa dinikmati oleh warga Nias dan pelancong yang hendak wara-wiri Gunungsitoli – Teluk Dalam dan sebaliknya. Mobilitas warga menjadi mudah dan cepat, cukup 2,5 – 3 jam saja. Walaupun hanya berupa taksi saja, namun saya percaya, ke depannya Nias akan semakin berkembang. Dengan ukuran yang tidak terlalu lebar, pulau ini tampaknya mudah untuk dikelola. Bisa saja wacana pemekaran Provinsi Nias yang santer berkembang bisa mewujudkan transportasi publik antar kota yang diidam-idamkan warga. Bukan nggak mungkin bus besar hingga kereta api akan muncul di kawasan ini. Ya ngga? Nias sejauh ini sudah cukup harum namanya di kalangan para peselancar, terutama peselancar asing dan Pantai Sorake dan Teluk Lagundri-nya. Belum lagi keindahan dan keunikan budaya Nias yang sedikit banyak memiliki pertalian antara Bangsa Ainu dan Suku Maya dan Inca. Bukan nggak mungkin, nanti Bandara Internasional Binaka atau bandara baru di Teluk Dalam melayani penerbangan internasional langsung tanpa harus melalui Polonia, Soekarno Hatta, atau Ngurah Rai.

0 komentar:

Post a Comment