Nyeni di Pasar Ubud

Terus terang, gue bukan orang yang sangat berseni. Maka dari pada itu, Ubud mungkin gak masuk dalam list kunjungan yang harus dicapai saat gue ke Bali. Ya, cerita mengenai Ubud memang selalu berkaitan dengan tempat paling 'nyeni' di Bali. Mulai dari arsitektur rumahnya, galeri seni, pusat kerajinan tangan, hingga villa villa kaya yang dibangun di Ubud. Ya, Ubud is not for me, I have said to myself.
Namun, berhubung lokasinya di Bali tengah, pusat dari segala arus lalu lintas yang mau ke lokasi-lokasi wisata lain di Bali. Kayaknya mau nggak mau, Ubud pun pasti akan terlewati juga. Mau ke Timur atau Barat, umumnya lewat Ubud. Mau ke Gunung Agung, Gunung Batur, atau Danau Bratan, pasti lewat Ubud. Yah, walaupun ada jalan lain, tapi Ubud ini yang kayaknya paling umum untuk dilalui dech.
Oleh karena itu, daripada penasaran, akhirnya kita turun juga dech di Ubud (berhubung juga anggota rombongan mau ke Ubud). Tujuan kami di Ubud bukanlah galeri seni, villa mahal dan mewah ataupun lokasi pusat kerajinan tangan. Kami menuju Pasar Ubud, selepas berkunjung ke SUkawati. Yach, hitung-hitung sekaligus melihat-lihat kemungkinan ada barang yang tidak terdapat di Sukawati Guwang.
Turun dari kendaraan, langit tampak tidak bersahabat dengan kami. Rintik-rintik air hujan mulai membasahi bumi walaupun hanya sekedar gerimis saja. Alhasil, kami sekaligus berteduh di Pasar Ubud. Melihat dari keramaian yang dimilikinya dan perjualnya, secara cepat dapat saya simpulkan bahwa Pasar Ubud bukanlah pasar yang ramai (walaupun Pasar Ubud adalah salah satu pasar seni utama di Bali). Yap, siang itu hanya terlihat segelintir orang yang berbelanja di Ubud, jauh berbeda dengan SUkawati. Karakteristik ini juga dapat dilihat dari penjual (ning-ning) yang tidak agresif dalam menjual produknya (misalnya ketika saya melintas untuk melirik saja, bahkan mereka cenderung cuek dan menyapa kami). Kemudian soal harga, yach memang harga yang di buka cenderung lebih tinggi dibanding SUkawati. Namun, saya berhasil menawar essential oil hingga harganya sama (ya eyalah...kan produknya juga sama) dengan di Sukawati.
Apabila bangunan Sukawati cenderung lebih fokus untuk kegiatan perniagaan, maka Ubud masih memiliki nilai spiritualnya dengan bentuk bangunan Bali lama yang berukir-ukir macam candi dan potongan candi lama. Di sisi bangunannya pun terdapat sebuah pohon besar yang tampaknya dikeramatkan (karena dililit oleh kain khas Bali). Hingga sisi dalam dan pinggir bangunan dan bekas candi pun diisi oleh kios kios pedagang barang-barang seni untuk souvenir. Teman saya membeli beberapa buah papan surfing Bali di bagian pojok pasar ini.
Hujan yang tadi membesar seiring dengan kegiatan kami melihat-lihat pasar telah berhenti dan bahkan cenderung reda. Kami sempat berfoto-foto dengan bangunan-bangunan unik dan antik yang terdapat di luar wilayah pasar. Ya, kini saya percaya, Ubud adalah Bali yang sungguh-sungguh Bali.

0 komentar:

Post a Comment