Tana Toraja, Tanahnya Para Raja

Apa sich bagian paling mengesankan dari perjalanan ke Sulawesi Selatan? Pertanyaan ini banyak mendera diriku sebelum akhirnya kuputuskan menjawab “Toraja!”.
Sempat dibilang gila oleh teman-teman saya atau terlalu nekad karena perjalanan menuju Toraja tidaklah dekat dari Makassar, Ibukota Sulawesi Selatan. Perjalanan menuju ‘paha’nya Sulawesi itu membutuhkan waktu 8 jam perjalanan darat. Pada saat tulisan ini saya ketik, perjalanan tersebut molor menjadi 10 jam lantaran ruas Makassar – Pare-Pare yang sedang dilebarkan. Ada opsi lain yakni menggunakan pesawat terbang kecil yang melayang rendah selama 1 jam perjalanan dari Makassar ke Toraja. Banyak yang bilang, penerbangan ini adalah penerbangan dengan pemandangan indah. Pesawat akan melintasi bukit-bukit hijau sebelum tiba di Rantetayo, Toraja. Sayangnya, ini bukan pesawat yang setiap hari bisa ditemukan. Penerbangannya hanya ada hari selasa dan jumat. Cukup sulit untuk dicocokkan dengan jadwal kunjungan saya.Akhirnya, dengan segala kenekatan, saya memutuskan untuk menjajal tanahnya para raja, Tana Toraja. Rugi besar kalau sudah ke Sulawesi namun tidak berkunjung ke wilayah ini. Mudah-mudahan, saya tetap mengatakan hal yang sama sepulangnya dari Tana Toraja 
Terdapat dua kali waktu awal keberangkatan bus dari Makassar ke Tana Toraja, pagi dan malam. Untuk keberangkatan saya ke Tana Toraja, saya memilih waktu keberangkatan pukul 10 malam dengan bus AC VIP (bus besar ber AC dengan kapasitas 30an orang plus senderan kaki yang bisa diatur). Asumsinya, lumayan banget bisa melewatkan malam di perjalanan, sekaligus nggak buang-buang waktu di siang hari, plus sekaligus juga hemat biaya hotel! Hehehe….
Sekilas info saja, Tana Toraja kini sudah mekar menjadi dua kabupaten, Tana Toraja dan Tana Toraja Utara. Masing-masing daerah tersebut beribukota di Makale dan Rantepao. Untuk tujuan turis, Rantepao jauh lebih terkenal dan memiliki lebih banyak hotel dibandingkan Makale. Makam dan objek wisatanya tersebar luas di seputaran kedua kota tersebut. Dari Makassar, kita akan tiba di Makale terlebih dahulu. Baru, 15 KM berikutnya sampailah kita di Rantepao. Karakteristik wilayah Tana Toraja (maksudnya keseluruhan wilayah Toraja, baik Tana Toraja ataupun Tana Toraja Utara) adalah bergunung-gunung. Ketinggiannya berkisar 700 hingga 2000 meteran di atas permukaan laut. Sudah pasti, Tana Toraja sangat dingin, dan berbeda dengan Makassar yang terletak di pinggir laut dan panas. Oleh karena itu, hampir tidak ditemukan satu penginapan atau hotel pun di Toraja yang memberikan fasilitas AC karena sudah sangat dinginnya tempat ini. Kalau anda masih sempet-sempetnya nanyain AC di salah satu hotel, siap-siap aja akan menerima pandangan “dasar-orang-kota” hehehe. Walaupun hanya berjarak 325 KM dari Makassar, perjalanan menuju jantung Toraja bisa membengkak hingga 8 jam dikarenakan karakteristik wilayahnya yang bergunung-gunung dan berbukit-bukit. Perjalanan dari Makassar hingga Tana Toraja akan melewati sejumlah wilayah pesisir yang datar seperti Maros, Pangkajene, Barru dan Pare-Pare. Perjalanan mulai menempuh wilayah yang berbukit-bukit dimulai dari Sidenreng Rappang, Enrekang hingga di Tana Toraja sendiri. Pada wilayah pesisir, anda masih bisa menemukan deretan rumah, ruko dan bangunan yang akan anda lintasi sepanjang perjalanan walaupun sedikit diselingi kebon kosong dan perbukitan di kejauhan. Memasuki wilayah Rappang, saya mulai memasuki wilayah perkebunan dan di Enrekang, saya melalui jalan meliuk-liuk naik turun sepanjang bukit yang dikelilingi hutan. Gelap, tidak ada cahaya sama sekali. Saya mual.
Rasanya, saya hampir nggak tidur malam itu. Bus yang menderu perlahan, sekali dua kali berpapasan jalan dengan kendaraan lain baik bus atau mobil membuat saya kerap terjaga. Entah terlalu gembira bisa ke Tana Toraja atau saya memang nggak bisa tidur di dalam bus yang sebenernya sich ya cukup nyaman yach. Rasanya, saya hanya tidur satu dua jam saja kemudian terjaga kembali dan memandang pemandangan yang tersaji di luar sana. Dramatis menurut saya. Saya hanya melihat perbukitan dari kejauhan yang diterangi oleh cahaya bulan sabit yang sebagian tertutup awan. Pepohonan dan semak-semak yang ada di samping saya terlihat bagaikan gumpalan abu-abu yang sebenarnya agak menakutkan karena hanya diterangi oleh sedikit sekali cahaya. Sekali dua kali dalam interval yang tidak terlalu panjang bus menjumpai cahaya terang dan suara kegiatan mesin pembuat jalan. Berkat cahata dan deru mesin tersebut, saya tahu bahwa saya masih berada di ruas Makassar – Pare-Pare yang sedang diperlebar. Situasi di luar sana tidak bisa dikatakan gelap seratus persen, saya masih bisa melihat apabila ada cahaya terang dari kegiatan jalanan atau lampu rumah penduduk.
Pagi hari menyambut saya di pegunungan sekitar Rantemario. Saat itu pukul 3 pagi, bus berhenti di sekitar Enrekang, Taman Nasional Bamba Puang, tempat untuk menyaksikan pemandangan alam Buntu Kabbobong atau yang lebih dikenal Gunung Nona. Sayangnya, situasi terlalu gelap untuk melihat kejauhan dengan jelas. Jendela kios makanan yang harusnya terbuka lebar dan menampilkan pemandangan Gunung Nona, tidak menampilkan satu bentuk apapun. Gelap saja. Buntu Kabbobong sendiri tidak dihuni sehingga tidak ada satu titik cahaya pun yang dapat menerangi keberadaan gunung tersebut. Ada alasannya mengapa Buntu Kabbobong disebut Gunung Nona. Kalau anda memutari wilayah Enrekang, ada satu titik pengamatan di Taman Nasional Bamba Puang dimana gunung tersebut akan terlihat seperti alat vital wanita. Walaupun bentuknya cukup mirip, namun tampaknya imajinasi lah yang membantu kita untuk menemukan bentuk tersebut…hehehe. Perhentian di Bamba Puang ini berupa sebuah kios penjualan makanan ringan dan oleh-oleh khas wilayah Enrekang dan Toraja. Dinginnya perbukitan dan pegunungan Rantemario sudah menusuk kulit disini. DItambah dengan bekunya bus AC dan saat itu masih dini hari, kebayang donk dinginnya kayak apa? Saya terus menerus menggosok kulit saya biar ga terlalu beku. Jangan lupakan selimut dan jaket anda. Celana panjang adalah pilihan yang bijak saat itu.
Kembali, saya tertidur lagi di sisa perjalanan itu agar tidak terlalu banyak mabuk perjalanan. Kalau misalnya anda mabuk pada perjalanan naik turun gunung, dijamin, anda akan jackpot berkali-kali disini. Jalurnya, dashyat banget! Kalau anda pernah mencoba jalur Balimbiang – Batusangkar di Sumatera Barat atau Niki-Niki – Kefamenanu di Timor, mungkin jalur inilah yang dapat mengimbanginya. Mantap! Saya tergolong orang yang kurang mampu beradaptasi dengan jalur berliku pegunungan. Saya biasanya mabuk darat ketika melintasi ruas yang berkelok-kelok. Menyiksa sekali! Bahkan ketika lambung saya sudah tidak berisi apapun alias kosong, saya tetap merasakan dorongan untuk mengeluarkan isi perut saya. Sungguh tidak enak.
Menurut saya, hal paling menakjubkan selama saya menyaksikan Tana Toraja adalah pada saat saya tiba di Tana Toraja, pukul 5 pagi! Saya terbangun karena dingin yang saya rasakan sudah melewati batas toleransi. Dingin sekali! Matahari baru muncul sedikit sehingga langit masih berwarna abu-abu dan biru muda. Bus masih berjalan naik turun gunung melalui jalan berkelok-kelok. Kabut putih sangat tebal menutupi seluruh pandangan. Saya hanya melihat bus mendaki menurun berkelok di sisi bukit di tengah-tengah kabut putih. Seperti mimpi. Saya tidak pernah melihat kabut setebal itu dalam sepuluh tahun terakhir ini. Tempat-tempat wisata pegunungan yang saya kunjungi sudah kehilangan pesona kabutnya. Kabut-kabut di tempat itu sudah tidak terlalu sering muncul. Pemanasan global barangkali?
Pohon-pohon hanya tampak ketika sudah dekat menempel ke sisi bus saja. Saya merinding ketika tiba-tiba saja muncul sebentuk bangunan gereja sederhana di sisi bus. Secara mengagetkan lagi, tiba-tiba muncul bangunan sebentuk perahu dengan atap tinggi muncul di depan mata. Tongkonan. Saya sudah sampai di Toraja! Saya merinding sekali lagi saking gembiranya. Melihat bangunan-bangunan ini membuat saya merasa saya sudah tiba di negeri yang berbeda dari Jakarta atau wilayah sekitarnya. Bukan sekedar wisata alam saja, saya benar-benar melakukan perjalanan kali ini. Akhirnya saya tiba juga di Tana Toraja! Suatu tempat di Indonesia yang unik dan tiada duanya bahkan di dunia. Ya, Tana Toraja hanya ada satu di Indonesia, di Sulawesi Selatan saja. Tiada tempat lain di Indonesia atau bahkan dunia yang memiliki ritual dan bentuk kebudayaan sama persis dengan Tana Toraja. Tempat yang sangat penuh dengan kebudayaan. Saya rasa, anda sebaiknya merasakan perjalanan darat ini untuk merasakan magisnya Toraja. Sayangnya, kemagisan tempat ini berkurang selepas pukul 6 atau selepas perginya kabut seiring dengan semakin tingginya matahari. Seiring perginya kabut, saya mulai melihat hutan, kebun dan sawah diselingi dengan rumah-rumah penduduk dan Tongkonan. Beberapa penduduk sudah keluar dari peraduannya, sambil mengenakan sarung khas Toraja yang berwarna-warni dan kaya motif. Saya yakin, pasti dingin sekali di luar sana. Brrr…Bus pun kembali menderu mengantarkan saya menuju jantung Tana Toraja. Ya, saya bisa mengatakan hal yang sama kali ini. Rugi besar kalau sudah ke Sulawesi namun tidak berkunjung ke wilayah ini.

11 komentar:

  1. wah akhirnya keluar juga ulasan ttg toraja nya.
    sumpah gw iri banget ama lo.
    udah nyampe toraja.salut...
    perjalannya jg ngelewatin maros ya??kan dositu banyak bukit karst & kupu2...

    ReplyDelete
  2. hehehe...kebetulan aja bro, dapet waktu dan tiket yg murah...:D ya dah deh, bikin nekad biar sampe ke Toraja...:D
    yup, ada lewat Maros dan Pangkajene. bukit Karst dan Kupu-Kupu...ulasannya belum masuk nich...hehehe

    ReplyDelete
  3. Bro, mengunjungi Toraja selalu saja berkesan. Menulis soal daerah wisata ini pun, amat kaya angle. Itulah keunikan Toraja.
    Saya senang membaca postingannya, pengalaman real di tempat. Bagi saya, bro seorang citizen reporter karena menulis laporan perjalanan ke Toraja. Terutama karena mampu merekam dinamika daerah itu, sehingga tulisan ini up to date

    salam bloger

    ReplyDelete
  4. duh...jadi nggak enak...hehehe...terima kasih atas pujiannya yach :) saya hanya menulis apa yang saya rasakan aja koq :)
    sekali lagi, terima kasih ya Bro

    Yup, terlalu banyak tempat di Toraja yang bisa dikunjungi, bahkan satu tempat pun bisa memiliki berbagai cerita karena anglenya tidak selalu sama. saya ingin ke Toraja lagi, mudah2an kali lain saya kesana, saya tidak mabuk lagi...hehehe

    Salam Blogger juga, terima kasih telah mampir :)

    ReplyDelete
  5. Wah, jadi bangga dengan keunikan Toraja. :D hehe
    sy orang toraja Mas, dan skrg masih tinggal disini, tepatnya kota kecil Rantepao.
    Hm, spertinya belom ke tempat2 wisatanya toraja ya? atau hanya sedikit yang dikunjungi?

    sy punya satu info ttg objek Toraja yang "harus" Mas kunjungi kalau ke Toraja. hehe
    nama tempatnya Danau Assa , danau kecil, atau kolam alam. Belum dijadikan objek wisata, masih sangat natural, berbau mistis. Pokoknya bagus banget. hehe

    linknya dari blog sy :
    http://semaniskopi.blogspot.com/2009/05/danau-assa-2.html

    dan

    http://semaniskopi.blogspot.com/2009/05/danau-assa.html
    dan

    ReplyDelete
  6. hehehe....belum sempet posting aja...masih ngepost tentang Malang dulu...kalau abis, baru deh ke Toraja....

    kemaren saya mengunjungi Makale, Rantepao, Londa, Lemo, Ti'ilanga, Ke'te Ke'se, Buntu Pune, Kambira, Makula. hehehe wah, jangankan berbau mistis...waktu itu ke Ti'ilanga aja udah terasa aroma mistisnya....:D

    emang Danau Assa ada dimana? jauh kah dari Rantepao?

    pasti! kapan2 saya akan ke Toraja lagi. masih banyak tempat yang belum saya datangi, termasuk Mamasa :)

    yup, anda harus berbangga jadi warga Toraja....alamnya bener-bener cantik dan indah dipandang. Apalagi kebudayaannya, sangat tinggi sekali! terima aksih untuk kunjungannya...nanti saya link ke blog anda yach :)

    salam kenal! :D

    ReplyDelete
  7. Salam kenal kembali.
    Danau Assa, lebih menonjol keindahannya dibanding mistik. Datanglah ketika musim hujan, airnya luar biasa indah,.. hijau namun bukan hijau keruh.

    hehe....anyway, saya suka blog kamu, jadi terobsesi travelling keliling Indonesia. :D

    Kalau ke Toraja lagi, saya siap jadi guide kamu. Plus nyediain tempat tinggal. Kebetulan, saya kerja sampingan jadi guide gratis bagi para turis. :) ok ok

    ReplyDelete
  8. boleh...pasti saya akan kembali ke Toraja. pengalaman pertama kali sampai di TanaToraja pukul 5 pagi itu pengalaman yang nggak bisa dibeli dengan uang. kabut tebal sekali dimana mana. sayang, saya waktu itu hanya 2 hari 1 malam saja...terlalu singkat. harusnya bisa beberapa hari yah di sana. Termasuk mengunjungi Danau Assa. ahh...jadi rindu...mungkin kalau disana, saya awet muda kali yach? kan udaranya dingin banget...hehehe

    yup...pasti akan kesana lagi. thanks banget untuk tawarannya loch...jadi terharu :D
    hebat euy profesinya, :D pengetahuan akan sejarah TaTor dan tempat-tempat menariknya udah tau banget donk yach? :D

    ReplyDelete
  9. Mantap blognya mas, artikelnya jg menarik,, menjadikan kita mencintai bumi pertiwi

    ReplyDelete
  10. terima kasih untuk kedatangan dan komentarnya. sukses selalu yach :)

    ReplyDelete
  11. ulasannya menarik, kawan....saya baru sadar keunikan Toraja ketika suatu saat berkesempatan kuliah di luar pulau. Kawan-kawan saya banyak menanyakan tentang kuinikan Toraja di lain pihak saya terkagum2 ketika mereka mulai bercerita tentang daerah mereka. Untungnya banyak yang mulai menyadari keunikan dan keragaman budaya Indonesia seperti mas Lomardasika. Saya salut untuk orang2 seperti anda.....

    ReplyDelete