Melongok Makam Raja Sidabutar, Sang Penguasa Tomok

Di Tano Batak, melihat makam dimana-mana adalah hal yang lumrah. Makam-makam tersebut pun terkadang bukan sekedar sebuah pusara dengan batu nisan saja, namun cukup eksotis hingga berupa tugu, rumah adat, hingga bangunan unik. Kalau anda turun dan hanya bermain di Medan, anda nggak akan melihat makam-makam ini. Namun, begitu memasuki wilayah masyarakat Batak, misalnya anda masuk dari Sibolangit, Deli Serdang atau Pematang Siantar wilayah Simalungun, mata anda mau tidak mau akan mulai terpincut satu dua kali untuk melihat bangunan tidak biasa yang berada di tepi jalan, di sebelah rumah, di pekarangan, dan di tengah sawah. Semakin mendekati wilayah Samosir, terutama di Pulau Samosir atau di Toba Samosir, konsentrasi makam-makam itu akan semakin banyak dan menarik mata. Nggak jarang, makam bahkan bisa menjadi objek wisata yang menarik lantaran bentuk fisik bangunannya yang memikat.
Di Desa Tomok, ada satu kuburan yang terkenal yang sudah biasa banget jadi objek wisata. Kuburan ini adalah Makam Raja Sidabutar, Raja penguasa Tomok. Walaupun bergelar raja, namun kekuasaannya tidaklah mutlak dan absolut yach. Raja disini bisa disamakan dengan kepala desa yang juga berfungsi sebagai kepala adat. Agak susah menemukan kisah Raja Sidabutar ini di belantara internet, namun kalau anda tertarik akan kisahnya, anda bisa minta dipandu oleh pemandu wisata yang biasanya akan menawarakan diri begitu anda tiba di kompleks Makam Raja Sidabutar ini. Penjelasan singkat yang bisa anda temukan di internet adalah Raja Sidabutar adalah orang yang pertama kali menginjakkan kaki di Tomok. Hmmm... berarti sebelum sampai di Tomok, Raja Sidabutar ini sudah melalui Onan Runggu atau Simanindo donk? Logikanya begitu nggak sich? Kan Orang Batak Toba aslinya berasal dari Gunung Pusuk Buhit, wilayah Sianjur Mula-Mula di barat Samosir, khan? Disebut-sebut pula, Raja Sidabutar yang pertama masih menganut Malim, agama tradisional masyarakat Batak yang kini masih dianut oleh sejumlah kalangan di Tano batak ini dengan pusatnya di Laguboti, Toba Samosir. Hmmm...kalau peristiwa ini sudah lama sekali, mungkin maksudnya bukan Malim tapi Pelebegu kali yach? Karena dikisahkan bahwa ini adalah agama tradisional orang Batak sebelum Kristenisasi terjadi. Mau tahu yang mana makamnya? Lihat saja makam yang masih berupa sarkofagus, biasanya terbuat dari batu utuh tanpa sambungan dan memiliki ukir-ukiran pada tutupnya. Makam Raja Sidabutar adalah makam terbesar yang ada di kompleks ini, lengkap dengan ukiran dan bukan yang berbentuk Ruma Bolon. Mengagumkan yach membayangkan orang jaman dahulu mampu mengukir batu sebesar itu menjadi makam, lengkap dengan ukiran yang konon katanya ukirannya ini mengikuti wajah sang almarhum. Semakin modern makam, anda akan melihat bentuknya lebih sederhana dan memiliki tanda salib apabila telah memeluk agama Nasrani. Makam yang lebih berusia tua biasanya terbuat dari bebatuan, mirip dengan batuan andesit pada lahan vulkanis. Selain Raja Sidabutar dan keturunannya, konon disini juga disemayamkan salah seorang ajudan setia sang Raja yang berasal dari Aceh loch.
Kompleks makam ini tertata dengan rapih, bahkan memiliki semacam tangga masuk dan beranda untuk menerima tamu. Warna merah, hitam dan putih mewarnai hampir seluruh bagian dari kompleks makam, mulai dari warna ukir-ukiran hingga kain yang menutupi bagian atas makam-makam ini. Ya, ketiga warna ini adalah warna suci masyarakat Batak. Unik dan serunya, setiap wisatawan yang hendak memasuki kompleks makam ini diwajibkan untuk mengenakan Ulos baik pria maupun wanita. Cara mengenakannya adalah dengan menyilangkannya di salah satu pundak dan dijuntaikan ke bawah. Agak berbeda dengan Uluwatu di Bali, celana yang memperlihatkan lutut wajib ditutup oleh kain ungu bertali kuning tersebut. Di Tomok, Ulos wajib dikenakan namun tidak ada batasan minimal untuk pakaian wisatawan. Yah, sesopannya saja lah. Nggak mungkin banget donk ke makam trus pakai bikini two pieces? Mau dagang? Hahahaha. Ulos-ulos ini dipinjamkan dengan gratis-tis-tis-tis. Akan sangat diharapkan bahwa anda menyewa pemandu untuk menceritakan sejarah Raja Sidabutar ini. Tempat untuk mendengarkan sejarah ini pun sudah tertata rapih dan berkanopi koq. Nyaman dan santai. Di pintu keluar (tepat di seberang pintu masuk), ada petugas yang bertugas mengumpulkan Ulos pinjaman sembari menghimbau agar para wisatawan mendonasikan beberapa untuk kelestarian dan perawatan Makam Raja Sidabutar ini. Oh ya, di tengah kompleks ada pohon besar yang sudah ditebang dan hanya tinggal pangkalnya saja. Tahun 2007 saat saya berkunjung ke kompleks makam ini, pohon tersebut sudah seperti itu. Dilihat dari diameternya, mungkin ini bekas Pohon Hariara kali yach? Pohon Hariara (beringin) itu pohon suci masyarakat Batak yang biasanya ditanam di tengah-tengah Huta (kampung). Kompleks makam yang tidak begitu luas ini pun dapat dengan mudah anda selesaikan sebelum berkunjung ke lokasi wisata berikutnya.

2 komentar:

  1. bawa batunya gimana ya ? batu sebesar itu kan kemungkinan dari gunung, ckckck kadang takjub sendiri bagaimana orang dulu bekerja tanpa bantuan teknologi :O
    om Lomar sejarahnya pinter ya :D

    ReplyDelete
  2. iya, nggak kebayang dech orang-orang jaman dahulu tuh. Apa iya memang tersedia batu batu segede gini atau bawanya dari nun jauh disana yach?

    eits....tolong dikoreksi soal bagian sejarah itu yach? hahaha. Saya cuma suka sejarah aja koq. Kalau ahlinya kayaknya ada yang lebih mantep dech. hihihi

    ReplyDelete