Sisa Praktik Kanibalisme Raja Siallagan

Pernah dengar sarkasme yang berbunyi “Orang Batak Suka Makan Orang”? “Hati-hati, ntar dimakan sama orang Batak lho” untuk menggambarkan Orang Batak tuh galak dan “sadis”. Seram yach? Walaupun sarkasme konotatif semacam ini sudah jarang terdengar lagi, tapi perkataan semacam ini pernah melekat dan menjadi stereotipe Bangsa Batak beberapa puluh tahun yang lalu. Kini, perkataan semacam ini sudah jarang terdengar lagi sich. Namun, pernyataan konotatif ini ternyata memiliki sejarah tersendiri loch. Konon, ungkapan ini berasal dari sebuah kampung Batak yang terletak di pedalaman Samosir. Di Kampung tersebut, memang pernah ada kisah makan-memakan manusia sehingga muncul stereotipe semacam ini di masyarakat. Untuk mencari tahu kisah tersebut, kita harus bergerak ke utara ke Huta Siallagan, Desa Ambarita, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir.

Memasuki Huta Siallagan, ternyata tempat ini mirip dengan kampung Batak pada umumnya. Huta Siallagan ini terdiri atas deretan Ruma Bolon dan Sopo. Bagian ini cukup standard dan nggak ada yang terlalu istimewa sich. Tempat ini tidak ubahnya kampung Batak pada umumnya. Yang istimewa dan unik dari situs ini adalah adanya deretan bentuk batu-batu berbentuk kursi, tersusun melingkari meja batu di tengahnya yang tepat berada di tengah-tengah kampung. Kompleks batu-batu inilah yang disebut Batu Parsidangan karena fungsinya memang untuk menyidang (perhatikan betapa Bahasa Batak cukup dekat hubungannya dengan bahasa Indonesia). Kompleks Batu Parsidangan ini berada tepat di bawah satu pohon besar dengan akar melilit yang biasa dikenal sebagai Pohon Hariara (pohon hari ketujuh), pohon suci masyarakat Batak yang biasanya ditanam di kampung-kampung. Disinilah kisah stereotipe itu berasal. Dahulu, Raja Siallagan memang memiliki kebiasaan untuk mengadili penjahat di dalam masyarakat atau musuh politiknya di Batu Parsidangan ini. Sebelum disidangkan, tawanan tersebut biasanya dipasung di Ruma Raja Siallagan. Nah, Raja Siallagan akan menggunakan kalender Batak untuk mencari hari baik untuk menyidang sang tawanan dan mengeksekusinya. Proses menyidang tawanan atau penjahat ini akan dilakukan bersama dengan para tetua adat di Huta Siallagan pada masa itu. Apabila memang terbukti bersalah, terdakwa akan dibawa ke belakang kampung untuk dieksekusi, dibedah hidup-hidup, lalu kemudian dipancung. Selesai? Nggak juga, sebab potongan-potongan tubuhnya akan dibagikan untuk dimakan beramai-ramai dan Raja Siallagan tentu mendapat jantungnya. Darah sang terdakwa akan dijadikan minuman pencuci mulut. Tulang belulangnya akan dibuang ke Danau Toba. Agak menyeramkan dan nggak kebayang yach? Namun, justru dari kisah yang pernah terjadi ratusan tahun lampau inilah masyarakat Batak memperoleh stereotipe semacam itu. Untungnya, praktik kanibalisme ini sudah tidak dijalankan hingga saat ini. Walaupun mendapat kesulitan, terutama dengan sejumlah misionaris yang ditawan dan dipancung di Huta Siallagan ini, namun Bapak Ingwer Ludwig Nommensen, rasulnya Orang Batak berhasil mempelajari bahasa Batak untuk kemudian melakukan kristenisasi dan menghentikan praktik menyeramkan ini. Terbukti, setelah kedatangan Nommensen, Raja Siallagan yang sebelumnya menganut Pelebegu, mau masuk Kristen dan berjanji untuk tidak melanjutkan ritual kanibalisme lagi. Sekarang, Huta Siallagan di Desa Ambarita ini hanya berfungsi sebagai tempat wisata saja untuk mengenang sejarah. Keturunan Raja Siallagan masih berdiam di seputaran Desa Ambarita ini. Beberapa makam keturunannya pun bisa ditemukan di tempat ini.Tertarik menyambangi Huta Siallagan ini?

4 komentar:

  1. aaaah foto yang kedua itu menyeramkan sekali :O

    bagus ya penerapan hukuman untuk para penjahatnya meskipun klo udah di pancung langsung dimakan sih err nanti dulu keknya ya :P tapi klo koruptor gpp deh kayaknya om, dagingnya buat makan singa aja, eh singa aja belum tentu mau ding :P

    ReplyDelete
  2. itu foto Batukursi-nya koq Tir...hehehe...menyeramkan yach?

    singa sih doyan kayaknya. trus kudu dikasi tonton di tengah tengah kota biar orang kapok dan nggak berbuat onar lagi. hehehe

    ReplyDelete
  3. Ooooo jadi seperti ini tho yang ada di Ambarita itu.. Ya memang nggak beda-beda jauh sih sama di Tomok. Kalau untuk rumah-rumah yang ada di foto kedua itu ditempati atau nggak mas? Atau memang sengaja dibuat sebagai penunjang objek wisata ini?

    ReplyDelete
  4. Kamu ini asal buat tulisan aja, tanpa nara sumber yg jelas. Kalau mau buat tulisan harus bisa di pertanggung jawabkan bukan ngarang.

    ReplyDelete