Gunung Berkonde, Si Dolok Sanggul

Saya nggak berhenti lama di Dolok Sanggul. Setelah jalanan yang terus menurun dari Tele melewati hutan dan rerimbunan tanaman di jalur beraspal yang bagus lewat, Sampri yang saya naiki mulai memasuki wilayah pemukiman dan toko-toko. Tujuan akhir saya sebenarnya adalah Kota Tarutung, Ibukota Tapanuli Utara yang masih kurang lebih 80 menit perjalanan ke arah selatan. Namun, Sampri yang saya naiki melambat ketika memasuki Kota Dolok Sanggul dan akhirnya, tanpa saya duga, berbelok di depan Hotel Asima, dan parkir. Orang di belakang saya sampai menggumamkan kata “makan” kepada saya yang bengong dan tidak membuka kursi untuk mereka lewat. Hahaha. Barulah saya tersadar dari bengongnya saya dan buru-buru turun untuk memberikan kesempatan bagi orang di belakang untuk turun. Ooo…jadi kita berhenti di Dolok Sanggul untuk makan toh? Padahal perjalanan masih nanggung. Satu jam lagi kita akan tiba di Tarutung. Tapi, ya, mungkin sang supir sudah lelah. Jadi ikut saja lah.
Tampaknya saya turun tepat di tengah-tengah Dolok Sanggul. Secara harafiah, Dolok artinya gunung atau bukit, sementara Sanggul artinya sanggul atau konde. Jadi, Dolok Sanggul artinya gunung berkonde. Entah ya, saya sich nggak melihat adanya bagian gunung yang berkonde yang cukup jelas di wilayah ini. Namun, secara umum Dolok Sanggul memang berada di dataran tinggi. Konon, pada malam hari Dolok Sanggul amat dingin, benar-benar berbeda dengan yang saya rasakan pada siang hari : panas menyengat. Dalam sekejab, saya langsung nggak betah berada di kota ini karena gerah-nya. Berada di tengah-tengah keramaian pasar, saya benar-benar merasa bahwa Dolok Sanggul adalah kota perniagaan. Disana sini didominasi oleh warung makan, perusahaan otobus lintas kota, toko barang keperluan sehari-hari mulai dari makanan, elektronik, kosmetik, hingga pakaian. Walau ramai, namun bangunan yang mereka gunakan tergolong sudah cukup lama berdiri. Mayoritas bangunan yang saya amati adalah bangunan papan khas Sumatera, walaupun beberapa bangunan baru telah menggunakan material batu bata dan kayu yang lebih modern. Keunikan tampak pada bagian pucuk atap yang mengadopsi arsitektur Batak Toba. Atap lancip dengan bentuk seperti pelana kuda pada bagian punggung atap mendominasi bangunan di tempat ini walaupun fondasi dasarnya sudah bukan merupakan bangunan tradisional lagi. Soal makanan, teman-teman yang muslim nggak perlu khawatir karena terdapat sejumlah rumah makan muslim walaupun penduduk Dolok Sanggul mayoritas beragama nasrani.
Baru di Dolok Sanggul ini saya melihat ada banyak jenis angkutan lain selain Sampri (dan Pulo Samosir Nauli) yang sudah sangat umum saya naiki. Mungkin karena sudah keluar dari wilayah Samosir, makanya angkutannya sudah berbeda kali yach? Dua angkutan yang cukup mencolok adalah Humbang Jaya dan Sitra. Beberapa jenis angkutan lainnya menggunakan inisial yang saya nggak tahu kepanjangannya. Hehehe. Soal becak motor yang banyak berseliweran di kota ini, secara fisik menyerupai becak motor di Pangururan, hanya saja bertutup dan bentuknya lebih manis karena banyak lengkungnya. Sayang, sekali lagi saya nggak bisa berlama-lama di kota ini karena Sampri yang saya tumpangi akan melanjutkan perjalanan kembali ke selatan. Pilihannya hanya makan di Dolok Sanggul, atau menunggu entah Sampri berhenti dimana lagi, baru melakukan makan siang. Makan dimana yach?

5 komentar:

  1. Mana gunungnya? Biarpun sudah disebut nggak berkonde tetap bikin penasaran juga. Eh saya juga menanti-nanti tulisan Lomar tentang daerah-daerah tersebut waktu jaman kolonialisme. Apalagi Sumatera kan subur banget tuh, yang mana merupakan sasaran empuk kerakusan kolonialis nggak jelas Belanda itu. Gimana, boleh nggak usulnya?

    ReplyDelete
  2. gunungnya mungkin karena wilayah ini dataran tinggi. Soalnya nggak ada beda sih antara gunung dan bukit, sama-sama Dolok. Hehehe.

    hmm...idenya sih oke banged jeung, tapi saya harus menemukan kliknya dulu sama perjalanan. mungkin nanti pas di Balige kali ya, tentang sejarah Tano Batak dan Nommensen yang menyebarkan nasrani. hehehe...ditunggu saja, semoga memuaskan harapannya #halah

    ReplyDelete
  3. mengapa dikatakan Dolok sanggul, Dolok itu dalam bahasa Indonesia disebut dengan Kampung, dan Sanggul sendiri artinya itu diatas kata sanggul sendiri diambil dari sanggul yang sering dipakai oleh kaum hawa diatas kepala, jadi istilah dolok sanggul itu sendiri artinya kampung yang paling atas, karena cuman dolok sanggul kampung paling tinggi diantara kampung yang lain, ketika anda pergi dari dolok sanggul berarti anda menurunin gunung karena letak nya dolok sanggul tuh diatas gunung, dulu nya dolok sanggul tuh dingin bangat, pagi,siank,malam, bahkan ketika hujan turun bukan bentuk air hujan yang turun melainkan batu es, karena letaknya dolok sanggul berada di atas gunung,mungkin karena sudah menjadi pusat pemerintahan kabupaten Humbahas dan seiring bertambah nya penduduk disana dibarengi dengan polusi udara ngebuat dolok sanggul tidak terlalu dingin dikala pagi, siang.. kampung orang tua saya itu ada lah Dolok Sanggul hampir 2 x setahun saya kesana makanya saya berikan info seperti ini.

    ReplyDelete
  4. benarnya Doloksanggul, bukan Dolok Sanggul.
    so, artinya bukan Bukit Berkonde.
    :)

    #Recheck.

    ReplyDelete
  5. Boleh gak minta nomor telfonnya? Pengen info lebih jauh ttng Solok Sangul. Trims

    ReplyDelete