Sisi Lain : Toilet Terminal Bus Gunungsitoli...Jangan Kaget!

Ketika taksi sudah mau melanjutkan perjalanan, saya yang tak ingin kenyamanan perjalanannya terganggu memutuskan untuk membuang air kecil saya terlebih dahulu. Daripada nahan-nahan selama 2-3 jam ke depan dan perjalanan jadi nggak nyaman, lalu minta supir untuk berhenti di suatu tempat sementara penumpang lainnya nungguin? Lebih baik saya buang dahulu sebelum perjalanan dilanjutkan, khan? Nah, saya mencari-cari lokasi toilet di Terminal bus Gunungsitoli. Dimanakah toilet tersebut berada? Saya memutari terminal dan tidak mendapatkan apapun karena tidak ada tulisan toilet sama sekali. Tidak ada yang bisa ditanyai karena saya jarang melihat orang disini. Eh, di sudut sana ada seorang ibu yang sedang bermain bersama anaknya. Saya hampirilah mereka dan memamerkan senyum saya yang paling manis. *tring*. “Ibu, maaf, dimanakah toilet berada?”. Sambil tetap tersenyum, si ibu beranjak dan kemudian menunjuk rumahnya, “toilet, silahkan”. Hah?
Ternyata entah saya kurang teliti mencari atau memang tidak ada toilet sama sekali di Terminal bus Gunungsitoli. Alih-alih toilet umum, kios kecil sayur dan makanan ringan ibu itu yang tampaknya digunakan juga sebagai rumah difungsikan pula sebagai toilet umum. “Lurus saja, di ujung sana”, kata si ibu. Ya, saya menuruti ibu tersebut. Lalu sampailah saya pada sebuah lorong di bagian belakang rumah. Toiletnya nampaknya berada di sudut kiri lorong tersebut. Namun ada sesuatu di deretan lorong sebelah kanan. Pagar-pagar setinggi satu meteran berkotak-kotak berderet sepanjang lorong, memenuhi sisi sebelah kanan. Suara geraman dan dengusan rendah terdengar saat saya memasuki lorong tersebut. Ooops... ini adalah kandang babi! Agak kaget sich dan saya nggak terlalu senang juga berada agak dekat dengan babi yang ukurannya lumayan besar tersebut. Untung saja ada pagar tersebut, tapi bagaimana kalau babi tersebut memanjat? Huft. Ya, saya melakukan hajat saya dengan segera namun agak susah karena penerangan di tempat ini sangat gelap dan seadanya. Belum lagi bagian belakang rumah yang tertutup dan pengap membuat suasana semakin tidak menyenangkan. Ini menjelaskan kenapa foto yang saya ambil nggak fokus dan blur semua.
Segera, setelah saya menyudahi ritual saya, saya memutuskan untuk berfoto di lokasi ini. Walapun berbulu hitam dan panjang, namun nampaknya babi yang dipelihara disini adalah babi ternakan, bukan babi hutan. Maklum, sebagian besar penduduk Nias menganut agama Nasrani sehingga babi adalah makanan yang cukup lazim ditemukan. Namun, memiliki kandang babi yang menyatu dengan toilet dan rumah? Saya agak kaget sich sebenarnya walaupun mungkin masih ada lagi kebiasaan serupa di Nias ini. Segera, setelah saya keluar, saya mengucapkan terima kasih kepada sang ibu. Nah, disini saya dilema, bayar atau nggak yach? Namun, karena saya melihat posisi si ibu sebagai orang yang menawarkan fasilitas umum, maka saya akhirnya membayar Rp. 2.000 yang diterima ibu tersebut dengan sukacita. Oh, berarti memang harus membayar kalau menggunakan jasa toilet di rumah beliau. Nggak lupa saya mengucapkan salam khas Nias "Ya'ahowu" agar bisa diterima dengan lebih baik lagi. Eh, sang ibu melontarkan ucapan serupa pula sambil mengatakan bahwa ia mengira saya adalah turis Jepang. *awww, you, please, stop it. fuhuhu* hehehe. Hmm...terus terang, selepas taksi beranjak dari Terminal bus Gunungsitoli, saya masih penasaran, dimanakah letak toilet umum yang sesungguhnya di Terminal Bus Gunungsitoli itu?

4 komentar:

  1. Di Waingapu, urusan ke toilet lebih keren lagi. Ada pria Cina kaya paruh baya mengajak jalan kakak saya dan suaminya ke Waikabubak. Di perjalanan kakak saya kebelet pipis. Om John Wadu, pria kaya baik hati tersebut segera rapat pinggir di depan sebuah rumah entah milik siapa. Di teras yang jauh letaknya dari pagar depan tampak seorang gadis sedang duduk. Tanpa dinyana Oom John berteriak maha keras, "Hey, NONA!!! Ini Ibu mau kencing!!!". Si Nona sama sekali tidak tampak terkejut. Kakak sayalah yang terperanjat bukan kepalang dan merasa sangat bersalah pada si Nona. Baginya Oom John jelas tidak sopan dan semena-mena. Tapi Om John dan si Nona sendiri tampaknya punya pikiran lain. Kasihan kakak saya yang Jawa itu, belum tau dia kalau Indonesia begitu beragam termasuk standart kesopanan dan kebaikan hati:).

    ReplyDelete
  2. whoaaaa Mbak May pernah pigi Waingapu too? kerennn ^^

    iya ya mbak, kadang kita perlu untuk melanglang buana sedikit saja keluar dari halaman rumah kita. agar kita bisa punya pikiran yang lebar, luas, serta hati yang lapang :D

    ReplyDelete
  3. halo Lomar... saya melakukan petualangan ke Nias tahun 2008. perjalanan saya via darat dari Medan ke Sibolga dan dilanjutkan naik kapal cepat ke Gunung Sitoli (kapal cepatnya ex kapal Batam - Singapore gitu). dari pelabuhan gunung sitoli sudah ada taksi langsung ke teluk dalam jadi tidak melewati terminal busnya. kalau dipelabuhan gunung sitoli, Toiletnya masih cukup beradap hanya saja dilantai2 seputar pelabuhan banyak berceceran bekas ludahan orang nyirih, hal tersebut mungkin dikarenakan laki2 orang Nias jg terbiasa mengunyah sirih. Ya'ahowu Lomar....

    ReplyDelete
  4. Di pelabuhan saya malah nggak ke toilet hehehehe.... Btw, kapal cepat itu durasinya berapa jam yach Oom Ruben? Kapal yg saya naiki ini 8 jam.lumayan sich, lumayan banged buat pengganti Hotel.untungnya bisa tidur dan goyangannya nga berasa. H ehehehe

    Mungkin krn pelabuhan kali ya? Makany toiletnya lebih bersih dan nyata hehehe

    ReplyDelete