Di Rumah Babah Djiauw Kie Siong

Ada yang menarik dari kisah pengasingan Bung Karno dan Bung Hatta pada 16 Agustus 1945. Selama ini, nama-nama yang beredar mengelilingi kisah heroisme tersebut adalah Soekarno, Muhammad Hatta, Soekarni, Wikana, Chaerul Saleh, Achmad Soebardjo, Sayuti Melik dan Laksamana Maeda. Seingat saya, entah memang sejarah saya payah atau gimana yach, rumah yang menjadi tempat pengasingan kedua tokoh proklamator bangsa ini adalah rumah milik Laksamana Maeda. Namun saya salah. Entah saya memang tidak mendengarkan pelajaran sejarah dengan betul atau salah ingat. Namun, pernahkah sejarah menyebut nama Djiauw Kie Siong?
Rumah berdinding kayu tersebut terletak di Dusun Kalijaya I No 41, RT 001 RW 09, Desa Rengasdengklok Utara, Kecamatan Rengasdengklok, 41352, Kabupaten Karawang. Rumah sederhana dengan arsitektur betawi ini tampak sudah direnovasi beberapa kali. Bagian depan rumah tampak bercat putih dengan dua buah jendela kayu berwarna hijau di kanan dan kiri, mengapit satu pintu di tengah. Begitu masuk, kami disambut oleh interior rumah sederhana dengan dinding bercat hijau. Disinilah, monumen penghormatan untuk Alm. Bapak Djiauw Kie Siong alias Babah Kie Siong serta memorabilia terhadap seluk beluk kemerdekaan Indonesia diletakkan. Bagian pusat dari ruangan tersebut adalah sebuah meja altar untuk menghormati Alm. Bapak Djiau Kie Siong. Namun itu bukan altar biasa. Altar khas chinese lengkap dengan hio dan lilin tersebut berhiaskan aneka foto-foto seputar kemerdekaan Indonesia. Di seputar altar, anda bahkan bisa melihat foto Bung Karno beserta Ibu Fatmawati dan kedua anaknya, Guntur Soekarnoputra dan Megawati Soekarnoputri. Selain foto Presiden Republik Indonesia, ada juga foto-foto pejuang kemerdekaan pada kala itu. Beberapa lukisan dan foto yang lazim ditemui di rumah seorang chinese juga terpampang di tempat ini. Tidak lupa, untuk mengabadikan kunjungan, sebuah buku tamu terpajang guna membiarkan kita mengisi data diri kita. Terakhir, banyak sekali piagam penghargaan yang diberikan oleh para pengamat budaya atau tim peneliti dan tur sejarah Indonesia kepada keturunan Babah Kie Siong yang diletakkan di seputar altar tersebut.
Selain altar yang dipenuhi aneka foto dalam bingkai tersebut, ada sebuah meja dengan 4 kursi di sudut ruangan yang konon katanya masih asli dari jaman Babah Djiauw Kie Siong masih hidup dan tidak dikutak-katik sampai sekarang (walaupun kenyataannya, kursi-kursi tersebut dapat diduduki). Sudut dinding yang lain berisi sekumpulan foto yang sudah lebih modern, anak dan cucu Djiauw Kie Siong yang sudah sukses menempuh pendidikan dan gelar akademis lainnya. Itulah isi dari ruangan utama bercat hijau dan beratap anyaman bambu tersebut. Situasi dan nuansanya masih dipertahankan seasli kejadian 16 Agustus 1945, hanya cat dan perawatannya saja yang terus menerus dilakukan. Nah, di sebelah kiri dan kanan ruang utama inilah terdapat masing-masing kamar tidur Soekarno dan Muhammad Hatta. Kamar Soekarno di sebelah kanan ruangan dan Muhammad Hatta di sebelah kirinya. Seluruh perabotan di tempat tersebut juga dibiarkan sama seperti aslinya (konon, ranjang asli yang dahulu sempat ditiduri oleh Soekarno sudah dibawa ke Museum Siliwangi. Benda yang ada disini adalah replikanya). Sebuah ranjang tidur kayu bertiang, lengkap dengan tirai kelambu sungguh menegaskan era yang dibawa olehnya. Semua seprei dan sarung bantal guling telah diganti dengan yang baru. Kami pun bahkan, sempat berfoto di ruangan tersebut.
Sisa dari rumah tersebut adalah bagian baru yang ditambahkan pada periode berikutnya. Anda bisa melihat dengan jelas perbedaannya. Rumah bagian belakang yang tampak jelas dari sisi kanan dan kiri altar, merupakan rumah tambahan baru dengan dinding bata dan semen. Arsitekturnya pun jauh lebih modern dibandingkan bagian depan yang masih dipertahankan keasliannya. Kami nggak masuk ke bagian ini, maklum, area ini tampaknya sudah menjadi area privat keluarga keturunan Djiauw Kie Siong. Sebuah bale-bale tempat bersantai tampak diletakkan di depan rumah tersebut. Cucu Djiauw Kie Siong, Ny. Iin dan suaminya, Tn. Yayang-lah yang menerima kami dengan hangat dan dengan sukarela menceritakan kisah mereka kepada kami. Ny. Iin tampak lebih malu-malu dan Tn. Yayang-lah yang lebih banyak membeberkan cerita perjuangan bangsa di rumah mereka itu. Sebagai bentuk perhatian kita terhadap sejarah bangsa Indonesia, donasi seadanya diharapkan bagi mereka yang bertandang ke rumah ini. Mereka tidak pernah meminta, akan tetapi, mengurus rumah bersejarah agar tidak dimakan usia tentu membutuhkan dana dan upaya bukan?

2 komentar:

  1. Saya pernah baca sih soal Djiauw Kie Siong. Semoga suatu saat bisa berkunjung ke sana!

    ReplyDelete
  2. Aminnnnn :D deket koq. indak jauh-jauh :D

    ReplyDelete