Begitu keluar dari Bandara Polonia, seperti yang sudah banyak terjadi di bandara-bandara lainnya, kami segera disergap oleh para jasa ojek dan taksi. Sayang sekali, saya harus menolak mereka semua lantaran kami butuh makan dan tempat untuk menentukan rencana kami berikutnya. Jelas lah, pesawat yang harusnya mendarat pukul 09.15 baru mendarat jam 12.15! Laparrrr! Huh, kalau lapar jadi emosi bawaannya! Hahaha. Kaki membawa kami ke sudut bandara, tempat Inter cafe berada. Tepat di seberang jalan, ada stasiun pengisian bahan bakar Petronas dan restoran KFC. Hmm....masak sudah jauh-jauh ke Sumatera Utara, makannya tetap KFC?, begitu pikir kami. Alhasil, kami memilih cafe ini saja dan harap-harap cemas ada menu makanan khas Sumatera Utara yang berhasil menggoyang lidah kami. Ups...kami salah.
Alih-alih menjual menu makanan khas Sumatera Utara, cafe ini menjual makanan standard, malah dengan cita rasa Jawa kalau menurut saya. Menu makanan yang dijual antara lain sop buntut, rawon, sop ayam, gado-gado, mie tiauw, mie goreng dan nasi goreng. Yah, karena hitung-hitung sebagai perkenalan dengan rasa Sumatera Utara, alhasil saya memesan nasi sop daging dan teman saya nasi cap cay. Cafe ini tidak memiliki tutupan dinding sama sekali. Penumpang lalu lalang di sepanjang sisi cafe, termasuk para pramugari cantik yang bersiap akan menaiki atau turun dari pesawat. Sementara kami menikmati hidangan, beberapa calo pun tampak mendatangi kami untuk menawarkan jasa transportasi mereka. Untungnya, kami masih lapar sehingga tawaran mereka kami tampik. Kami ingin agar berpikir jernih dahulu dengan mengisi perut, barulah memutuskan akan pergi kemana. Ya donk, daripada nggak konsen gara-gara lapar, terus dibohongin kan berabe. Hihi.
Tidak lama, makanan yang dipesan pun datang. Kening teman saya mengernyit. “Nasi cap cay?”, begitu benaknya. Alih-alih tumpukan sayur di atas piring dengan saus yang agak sedikit menggumpal, “cap cay” ini dihidangkan di atas mangkuk, dengan warna kuah oranye kental. Bau gulai menusuk hidung kami. Sayuran ini mirip dengan sayur ditumis dengan bumbu acar atau mungkin gulai. Milik saya, walaupun tidak berbeda terlalu jauh dari ekspektasi semula, sejujurnya rasanya agak mengecewakan dengan jumlah daging yang bisa dihitung dengan jari. Nasi putih di tempat ini pun agak berbeda dengan nasi yang umum saya makan di Daratan Jawa. Nasinya cenderung agak kemerahan walau saya yakin itu bukan nasi merah. Yah, perut saya yang masih beradaptasi dengan udara bumi mencoba memakan semuanya. Syukurlah, walaupun tidak terlalu direkomendasikan, namun makanan ini masih bisa masuk perut saya dan habis. Saran saya, daripada bingung, KFC di seberang Polonia tampaknya adalah pilihan yang jauh lebih bijak. Untuk menu makanan selamat datang di Sumatera Utara, saya harus membayar Rp. 30.000 untuk sop daging yang sedikit tersebut dan teman saya Rp. 20.000 untuk cap caynya. Nasi dibanderol dengan harga Rp. 6.000 dan minuman botolan seperti fruit tea dijual dengan harga Rp. 10.000. Awal yang baik untuk membuang-buang duit.
Alih-alih menjual menu makanan khas Sumatera Utara, cafe ini menjual makanan standard, malah dengan cita rasa Jawa kalau menurut saya. Menu makanan yang dijual antara lain sop buntut, rawon, sop ayam, gado-gado, mie tiauw, mie goreng dan nasi goreng. Yah, karena hitung-hitung sebagai perkenalan dengan rasa Sumatera Utara, alhasil saya memesan nasi sop daging dan teman saya nasi cap cay. Cafe ini tidak memiliki tutupan dinding sama sekali. Penumpang lalu lalang di sepanjang sisi cafe, termasuk para pramugari cantik yang bersiap akan menaiki atau turun dari pesawat. Sementara kami menikmati hidangan, beberapa calo pun tampak mendatangi kami untuk menawarkan jasa transportasi mereka. Untungnya, kami masih lapar sehingga tawaran mereka kami tampik. Kami ingin agar berpikir jernih dahulu dengan mengisi perut, barulah memutuskan akan pergi kemana. Ya donk, daripada nggak konsen gara-gara lapar, terus dibohongin kan berabe. Hihi.
Tidak lama, makanan yang dipesan pun datang. Kening teman saya mengernyit. “Nasi cap cay?”, begitu benaknya. Alih-alih tumpukan sayur di atas piring dengan saus yang agak sedikit menggumpal, “cap cay” ini dihidangkan di atas mangkuk, dengan warna kuah oranye kental. Bau gulai menusuk hidung kami. Sayuran ini mirip dengan sayur ditumis dengan bumbu acar atau mungkin gulai. Milik saya, walaupun tidak berbeda terlalu jauh dari ekspektasi semula, sejujurnya rasanya agak mengecewakan dengan jumlah daging yang bisa dihitung dengan jari. Nasi putih di tempat ini pun agak berbeda dengan nasi yang umum saya makan di Daratan Jawa. Nasinya cenderung agak kemerahan walau saya yakin itu bukan nasi merah. Yah, perut saya yang masih beradaptasi dengan udara bumi mencoba memakan semuanya. Syukurlah, walaupun tidak terlalu direkomendasikan, namun makanan ini masih bisa masuk perut saya dan habis. Saran saya, daripada bingung, KFC di seberang Polonia tampaknya adalah pilihan yang jauh lebih bijak. Untuk menu makanan selamat datang di Sumatera Utara, saya harus membayar Rp. 30.000 untuk sop daging yang sedikit tersebut dan teman saya Rp. 20.000 untuk cap caynya. Nasi dibanderol dengan harga Rp. 6.000 dan minuman botolan seperti fruit tea dijual dengan harga Rp. 10.000. Awal yang baik untuk membuang-buang duit.
mantaaab laaeeee... harganyaa.. hahaha...
ReplyDeletesebenernya kalo mahal tapi enak sih masih mendingan.. tapi kalo mahal plus nggak sesuai dengan ekspektasi ya gimana ya.. ahahaha
hahahaha...cepet kali Lae! :D postingan kau belum selesai di Ambarawa tho?
ReplyDeletebener, nggak sesuai sama harganya. padahal ekspektasinya tinggi loch. yah, cukup tau aja. lain kali, HIDUP KFC!! hahaha
mauliate godang :D
ngeeeng :O minuman botol 10 ribu :O #demo pedagang :P
ReplyDeletekadang kalao kemana-mana nyari makanan pasti kepikiran KFC dsb, cuma ya itu ya "masa jauh-jauh makannya KFC lagi" tapi ya rasa dan harga KFC udah pasti sih ya :D