Perbaungan adalah salah satu kota yang ada di Kabupaten Serdang Bedagai. Jarak kota ini kurang lebih satu setengah jam perjalanan dari Kota Medan (kebetulan karena di Perbaungan sedang ada perbaikan jembatan). Perbaungan terletak di dataran rendah, suhu udara cenderung panas menyengat pada siang hari lantaran tutupan pepohonan agak jarang di wilayah ini. Namun, disinilah kami berhenti karena sang supir ingin beristirahat dan makan siang.
Perbaungan terkenal dengan dodol-nya. Disini, ada sebuah pasar yang terkenal karena menjual hasil karya masyarakat setempat yakni Pasar Bengkel. Nggak hanya menjual dodol saja sich, Pasar Bengkel ini juga menjual benda-benda keperluan rumah tangga lainnya dan hasil bumi. Namun, memanjang ke arah timur sana, yang tersisa hanyalah toko oleh-oleh yang hanya menjual satu jenis komoditas utama : Dodol Perbaungan. Walaupun mereka juga menjual penganan lainnya, namun tampaknya Dodol Perbaungan inilah yang dititikberatkan. Deretan kios-kios dodol dengan tutupan terpal spanduk warna kuning yang bertuliskan “Pusat Jajanan UKM Pasar Bengkel Serdang Bedagai” kemudian di bawahnya ada nama “Hj. Evi Diana Erry Ketua TP. PKK dan Dekranas” menghiasi sepanjang jalan dan menemani kami keluar dari Kota Perbaungan. Uniknya, hampir semua kios tersebut menggunakan tutupan terpal spanduk yang sama. Apakah mereka semua satu paguyuban pengusaha dodol?
Saya berhenti di salah satu kios dodol. Dodol Riska, namanya. Sang supir tampaknya sudah terbiasa untuk berhenti di Dodol Riska ini. Nggak hanya menjual dodol, kios ini justru tampaknya lebih fokus pada bisnis rumah makannya, terbukti dengan banyaknya antrian kendaraan yang parkir di tempat ini (umumnya taksi antar kota) guna beristirahat dan makan siang. Hmm...nggak hanya saat itu masih siang sih (sekitar jam setengah 3 sore), selain saya sudah makan di Polonia sebelumnya, terus terang, menu makanan yang ada disana tidak menarik mata saya sama sekali. Rasanya, semua menu disini memiliki cita rasa pedas. Ada segunung mie di dalam etalase yang berwarna merah rona cabai, puluhan sate telur puyuh berbumbu cabai, tahu goreng berbumbu cabai, dan usus dengan warna merah yang saya yakin adalah cabai. Waduh. Bisa-bisa ntar saya kontraksi lagi di jalan. Alhasil, saya menyelamatkan diri saya dengan memilih minuman ringan saja untuk menentramkan perut saya. Walaupun menu makanan di tempat ini cukup murah (sekitar Rp. 10.000 – 15.000), namun saya memilih untuk tidak menyantap apapun sampai tiba di Parapat nantinya. Rasanya itu keputusan yang tepat. Kalau teman-teman berminat mencobanya, boleh membagi pengalaman tersebut disini.
Nah, walaupun Dodol Riska fokus pada rumah makan, namun intinya tempat ini tetap kios dodol. Oleh-oleh penganan utama di tempat ini ialah Dodol Bengkel. Selain dodol, ada penganan standard seperti wajik, keripik, hingga brownies yang saya yakin sangat berbeda dengan brownies di Bandung. Silahkan anda berbelanja oleh-oleh di tempat ini untuk kerabat anda di rumah. Situasi di sekitar Dodol Riska pun menjadi semacam panggung drama kehidupan. Hahaha. Walaupun agak lebay, namun disinilah segala macam bentuk manusia berinteraksi dengan sesamanya. Ada ibu-ibu yang menyusui bayinya. Ada seorang gadis muda mengisi perut sebelum menempuh perjalanan. Ada sepasang inang-inang yang sedang semangat mengobrol. Sekumpulan bapak-bapak duduk di pinggiran kios dan merokok sambil mengobrol. Seorang pengemis tua, dituntun oleh anaknya untuk mendapatkan rejeki lebih pada hari itu. Sayang, selain dodol, tidak ada hal menarik lain yang bisa dilihat di Perbaungan bagian ini. Terlebih panas menyengat yang saya rasakan, membuat saya nggak betah berlama-lama disini. Untung saja, Pak Supir segera menyudahi waktu istirahat kami dan kembali ke mobil.
Saya berhenti di salah satu kios dodol. Dodol Riska, namanya. Sang supir tampaknya sudah terbiasa untuk berhenti di Dodol Riska ini. Nggak hanya menjual dodol, kios ini justru tampaknya lebih fokus pada bisnis rumah makannya, terbukti dengan banyaknya antrian kendaraan yang parkir di tempat ini (umumnya taksi antar kota) guna beristirahat dan makan siang. Hmm...nggak hanya saat itu masih siang sih (sekitar jam setengah 3 sore), selain saya sudah makan di Polonia sebelumnya, terus terang, menu makanan yang ada disana tidak menarik mata saya sama sekali. Rasanya, semua menu disini memiliki cita rasa pedas. Ada segunung mie di dalam etalase yang berwarna merah rona cabai, puluhan sate telur puyuh berbumbu cabai, tahu goreng berbumbu cabai, dan usus dengan warna merah yang saya yakin adalah cabai. Waduh. Bisa-bisa ntar saya kontraksi lagi di jalan. Alhasil, saya menyelamatkan diri saya dengan memilih minuman ringan saja untuk menentramkan perut saya. Walaupun menu makanan di tempat ini cukup murah (sekitar Rp. 10.000 – 15.000), namun saya memilih untuk tidak menyantap apapun sampai tiba di Parapat nantinya. Rasanya itu keputusan yang tepat. Kalau teman-teman berminat mencobanya, boleh membagi pengalaman tersebut disini.
inang-inang tuh apaan om ?
ReplyDeleteklo ak juga gg bakalan makan deh, bisa2 bukannya liburan malah mendekam kena diare :P
yah foto dodolnya kurang jelas, ak jadi ngebayangin dodol Picnic nih :P
inang-inang itu kalo nggak salah ibu2 atau mbah2.. eh bener nggak ya mas lomar? :D
ReplyDelete