Begitu anda mengira bahwa anda akan selamat dan akan tiba di Parapat dengan utuh, anda salah! *tertawa kejam* BWAHAHAHAHA!
Kami melanjutkan perjalanan selama dua jam berikutnya menyusuri jalan-jalan Perbaungan dan sedikit mengalami macet sebelum mencapai Sei Rampah karena pembangunan jembatan. Selepas Sei Rampah, halangan hampir tidak ada sama sekali, yang ditandai dengan ngebutnya mobil yang kami tumpangi sepanjang sisa perjalanan. Lagi-lagi, kami sport jantung gratis disini! Begitu memasuki wilayah Simalungun, hujan turun dengan derasnya sehingga mau nggak mau “taksi” agak diperlambat lajunya. Syukurlah! Namun, memasuki kota Pematang Siantar, hujan telah berhenti dan si bapak kembali memacu cepat kendaraannya. Saya dan teman saya tidak dapat memejamkan mata barang sebentar pun karena terlalu waspada untuk tidur. Adrenalin kami memuncak. Disini, kami duduk di bagian tengah mobil dengan nyamannya sementara penumpang lain duduk di belakang. Saya berharap, situasi seperti ini terus berlanjut hingga kami tiba di Parapat, tempat kami bisa menikmati pemandangan dengan santai. Seperti yang telah saya katakan tadi, saya salah!
Ketika memasuki Kota Pematang Siantar, dalam hati saya berteriak senang! “Yay!” ternyata waktu yang dibutuhkan jauh lebih singkat. Mungkin saja saya akan tiba di Parapat sebelum matahari sempat terbenam, sehingga masih banyak waktu untuk melakukan banyak hal. Sebelum itu terjadi, sang supir menurunkan salah seorang penumpang, seorang gadis di akademi perawatan Pematang Siantar. Kemudian, ia beranjak berjalan lagi. Harapan saya bahwa ia akan berjalan ke luar kota pun pupus sudah. Ia berhenti di suatu pasar, dimana saya berpikir ia akan menurunkan salah seorang penumpang disini. Ternyata, sang supir memberhentikan kendaraan, turun, dan menurunkan barang-barang kami. “loch? Loch? Pak?”. Kemudian ia berkata, “sampai sini saja yach, saya masih harus mengantarkan orang-orang ini dahulu. Takutnya nggak sampai Parapat kalau saya harus nganterin orang-orang ini terlebih dahulu”. Seraya berkata demikian, ia menunjuk satu buah mobil van bobrok yang tampaknya akan menggantikan taxi tersebut untuk mengantarkan kami ke ujung perhentian, Parapat. Gleg. Saya menelan ludah dengan susah payah. Dari suasana menyenangkan di dalam taxi tersebut, saya diturunkan dan ditransfer ke mobil van bobrok dimana saya harus duduk di belakang lantaran kursi depan sudah penuh dengan inang-inang yang berbelanja sayur dan hasil bumi. Hm...saya terbengong. Sisa perjalanan ini pastinya akan menjadi sangat panjang....
Kami melanjutkan perjalanan selama dua jam berikutnya menyusuri jalan-jalan Perbaungan dan sedikit mengalami macet sebelum mencapai Sei Rampah karena pembangunan jembatan. Selepas Sei Rampah, halangan hampir tidak ada sama sekali, yang ditandai dengan ngebutnya mobil yang kami tumpangi sepanjang sisa perjalanan. Lagi-lagi, kami sport jantung gratis disini! Begitu memasuki wilayah Simalungun, hujan turun dengan derasnya sehingga mau nggak mau “taksi” agak diperlambat lajunya. Syukurlah! Namun, memasuki kota Pematang Siantar, hujan telah berhenti dan si bapak kembali memacu cepat kendaraannya. Saya dan teman saya tidak dapat memejamkan mata barang sebentar pun karena terlalu waspada untuk tidur. Adrenalin kami memuncak. Disini, kami duduk di bagian tengah mobil dengan nyamannya sementara penumpang lain duduk di belakang. Saya berharap, situasi seperti ini terus berlanjut hingga kami tiba di Parapat, tempat kami bisa menikmati pemandangan dengan santai. Seperti yang telah saya katakan tadi, saya salah!
Ketika memasuki Kota Pematang Siantar, dalam hati saya berteriak senang! “Yay!” ternyata waktu yang dibutuhkan jauh lebih singkat. Mungkin saja saya akan tiba di Parapat sebelum matahari sempat terbenam, sehingga masih banyak waktu untuk melakukan banyak hal. Sebelum itu terjadi, sang supir menurunkan salah seorang penumpang, seorang gadis di akademi perawatan Pematang Siantar. Kemudian, ia beranjak berjalan lagi. Harapan saya bahwa ia akan berjalan ke luar kota pun pupus sudah. Ia berhenti di suatu pasar, dimana saya berpikir ia akan menurunkan salah seorang penumpang disini. Ternyata, sang supir memberhentikan kendaraan, turun, dan menurunkan barang-barang kami. “loch? Loch? Pak?”. Kemudian ia berkata, “sampai sini saja yach, saya masih harus mengantarkan orang-orang ini dahulu. Takutnya nggak sampai Parapat kalau saya harus nganterin orang-orang ini terlebih dahulu”. Seraya berkata demikian, ia menunjuk satu buah mobil van bobrok yang tampaknya akan menggantikan taxi tersebut untuk mengantarkan kami ke ujung perhentian, Parapat. Gleg. Saya menelan ludah dengan susah payah. Dari suasana menyenangkan di dalam taxi tersebut, saya diturunkan dan ditransfer ke mobil van bobrok dimana saya harus duduk di belakang lantaran kursi depan sudah penuh dengan inang-inang yang berbelanja sayur dan hasil bumi. Hm...saya terbengong. Sisa perjalanan ini pastinya akan menjadi sangat panjang....
wow lebih asik dong naik mobil bak kayak begitu :D
ReplyDeletehhahha lucu banget ak ngebanyangin om beneran ketawa kejam BWAHAHAHAHA LOL