Rekonstruksi Eksekusi Tawanan Di Huta Siallagan

Yuk, kita coba lihat proses rekonstruksi eksekusi yang dilakukan beratus-ratus tahun yang lampau oleh Raja Siallagan dan para tetua adat di Huta Siallagan ini. Jangan kuatir, proses rekonstruksinya ini nggak menyeramkan loch, beberapa pemandu bahkan bisa membawakannya dengan gaya jenaka. Pokoknya asyik dech, melihat dan mempelajari sejarah dengan cara santai dan menyenangkan seperti ini. Seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya, setiap kita memasuki Huta Siallagan, anda akan dihampiri oleh satu orang yang berprofesi sebagai pemandu wisata. Nah, kelebihan mereka bukanlah sekedar memandu anda dalam menjelaskan objek-objek menarik di Huta Siallagan ini, namun hingga melakukan proses rekonstruksi eksekusi para penjahat masyarakat atau tawanan perang yang tertangkap. Soal biaya, silahkan dibicarakan saja sebab tidak ada patokan khusus untuk harga. Umumnya, para pemandu wisata ini menargetkan rombongan walaupun tidak menutup kemungkinan juga kami yang hanya berdua ini ditawarkan jasa mereka.
Batu Parsidangan yang terletak persis di atas pelataran dan di bawah Pohon Hariara adalah tempat para tetua adat dan Raja Siallagan menyidang penjahat yang ditangkap. Sebelumnya, penjahat tersebut dipasung di kurungan “Schand Blok” yang berada persis di depan kediaman Raja Siallagan. Proses menyidang dan mengeksekusi tawanan ini ditentukan oleh kalender Batak yang tidak saja mampu menghitung hari perkawinan, namun juga waktu upacara adat, hingga proses eksekusi tawanan. Nah, dimanakah proses eksekusi tawanan tersebut dilangsungkan? Kita harus bergerak ke belakang, ke bagian belakang kampung dimana terdapat semacam batu besar dengan kursi-kursi batu melingkarinya. Agak mirip dengan Batu Parsidangan, tapi disinilah tempat tawanan dieksekusi. Proses penentuan hukuman mati ini juga bukan proses sembarangan loch. Ada ketentuannya bagaimana seorang penjahat sampai dikenakan hukuman mati. Biasanya, tawanan yang sampai dikenakan hukuman mati adalah mereka yang memiliki ilmu gaib luar biasa atau penjahat yang sangat meresahkan masyarakat.
Pada saat pengeksekusian, sang tawanan akan dibawa oleh algojo ke batu pengeksekusian. Awalnya, sang tawanan konon dipersilahkan untuk makan yang enak-enak, dan minum tuak. Tujuannya apa? Bukan sekedar permintaan terakhir sich hehehe namun agar ia menjadi mabuk dan tidak terlalu sadarkan diri. Setelah itu, kepala sang tawanan akan ditutup oleh kain Ulos. Nah, tawanan ini kan umumnya memiliki ilmu gaib yang kuat. Agar ilmu gaibnya bisa hilang sebelum ia dieksekusi, maka pertama-tama sang algojo akan memukul-mukul sang tawanan yang sudah direbahkan telentang di atas batu. Tujuannya, untuk menghilangkan ilmu gaib yang ada di tubuh tawanan tersebut. Setelah dipukul-pukul, kemudian algojo akan menggunakan pisau kecil untuk menyayat lengan sang tawanan kemudian meneteskan air perasan jaruk limau ke dalam sayatan tersebut. Duh, mikirinnya aja sudah bikin ngilu nggak sich? Nah, di kala tawanan tersebut menjerit-jerit kesakitan karena luka yang diberi limau tersebut, disanalah diartikan bahwa ilmu gaib orang tersebut sudah lenyap dan proses eksekusi bisa dilanjutkan. Konon, orang-orang batak jaman dahulu banyak yang kebal terhadap benda tajam loch. Ini berkaitan dengan ilmu gaib terutama ilmu hitam yang mereka kuasai.
Nah, setelah ilmu gaibnya dipastikan lenyap, sang algojo akan membuka kitab aksara Batak untuk kemudian mendaraskan mantra-mantra sebelum proses eksekusi dijalankan. Setelah selesai, inilah bagian yang paling mengerikan : tubuh sang tawanan dikuliti hidup hidup dan isinya dibiarkan terburai. Hiiiii. Nah, tawanan yang sudah setengah mati secara harafiah tersebut akhirnya dibawa ke batu dengan ceruk untuk menempatkan kepala. Dari posisi telentang dengan isi perut berhamburan, sang tawanan ditempatkan dalam posisi nungging dengan kepala berada di ceruk batu tersebut. Dinilah klimaks dari tugas seorang algojo berada. Kepala sang tawanan harus putus dalam sekali tebas. Nggak heran, pedang pemancung yang digunakan harus benar-benar tajam. Konon, katanya kalau sampai nggak putus, kepala sang algojolah yang akan menjadi taruhannya. Wih, tugas yang teramat berat yach? Nah, disinilah para tetua adat dan masyarakat yang menyaksikan akan beramai-ramai bersorak-sorak ketika kepala sang tawanan sudah lepas dari tubuhnya. Kepala tersebut akan diarak keliling kampung dan kemudian dimasak untuk disantap Raja Siallagan sementara bagian-bagian tubuhnya dibagikan kepada para penduduk untuk dikonsumsi. Pesta yang mengerikan yach? Konon, Raja Siallagan ini mendapat bagian jantungnya agar ilmu gaib yang masih tersisa di orang tersebut bisa diserap ke dalam tubuh raja. Makin saktilah Raja Siallagan yach? Nah, setelah memakan tubuh sang tawanan ini, Raja menggunakan darah orang tersebut sebagai minuman pencuci mulut. Mengerikan yach? Untung saja, tulang-tulangnya tidak ikut-ikutan sampai dikonsumsi melainkan dibuang ke Danau Toba (persis di belakang tempat eksekusi ini adalah Danau Toba). Kalau jaman dahulu sudah ada panci presto, mungkin akan muncul menu tawanan penyet atau tawanan tulang lunak kali yach? Hihihi.
Mungkin saja cerita saya yang terlalu bombastis dan terlalu menegangkan. Namun, aslinya, rekonstruksi peristiwa ini menyenangkan. Sang pemandu mampu melontarkan lelucon jenaka agar rekonstruksi yang diadakan tidak terlalu serius. Bahkan, ketika sang terdakwa yang seharusnya sudah mati tersebut kembali terhuyung-huyung bangun, sang pemandu menginstruksikan agar ia kembali di posisinya semula dengan adegan : mati. Hahahaha. Beruntungnya kami, kami terkena imbas dari rombongan turis yang memang meminta agar rekonstruksi penyembelihan dilakukan. Lumayan, tontonan menarik ini saya dapatkan dengan gratis. Salah seorang relawan yang bersedia menjadi contoh tawanan adalah salah seorang peserta tour yang tampaknya memang paling sering menjadi korban diantara teman-teman seperjalannya. Hehehe. Tidak lupa, kalau anda terkesan akan cerita ini dan Huta Siallagan, anda sangat dihimbau sekali untuk melakukan donasi agar Huta Siallagan ini tetap menarik dan hidup dari masa ke masa. Apresiasi itu penting loch agar sejarah tetap hidup.
Untungnya, ritual mengerikan semacam ini terjadi ratusan tahun yang lampau saat Raja Siallagan dan penduduk Ambarita masih menganut kepercayaan tradisional Batak, Pelebegu. Semenjak kedatangan Bangsa Eropa ke Indonesia, sudah beberapa kali pula ritual mengerikan ini dicoba untuk dihapus seiring dengan kristenisasi yang dilakukan oleh sejumlah misionarisnya. Sayang, proses kristenisasi yang terjadi tidak selalu mulus. Beberapa misionaris mendapat pertentangan dari masyarakat. Bahkan, sejumlah misionaris dilaporkan hilang saat menyebarkan agama kristen di wilayah Ambarita. Kemanakah mereka? Sudah jelas, mereka berakhir di batu pemancungan lantaran Raja Siallagan tidak percaya dengan ajaran kristen. Namun, tersebutlah seorang misionaris dari Jerman yang bernama Ingwer Ludwig Nommensen yang melakukan pendekatan dengan cara berbeda. Ia tidak melakukan proses kristenisasi dengan cara frontal. Terlebih dahulu, ia mempelajari Bahasa Batak dan Melayu. Nah, pendekatan yang dilakukan oleh Nommensen inilah rupanya pendekatan terbaik yang bisa diterima oleh warga Huta Siallagan di Ambarita. Segera, setelah kristen masuk ke dalam Ambarita, ritual penyembelihan ini dihapus sama sekali. Sekarang, Ambarita dan Huta Siallagan adalah desa wisata yang menyenangkan dengan sejarah menarik di masa lalu untuk dipelajari. Nah, sudah tertarikkah anda menyambangi Huta Siallagan?

5 komentar:

  1. Uah, membaca deskripsi hukuman mati di blog ini saja udah serem. Gimana sewaktu adegan sesungguhnya ya? Lebih kejam daripada film Braveheart :p

    ReplyDelete
  2. wah jadi pake Disqus om :D

    beuh ... disayat, terus ditetesi air jeruk limau, makjaan kenapa gg sekalian aja tuh taburi garam :O
    ya ampun tak kirain dipancung biasa, dikuliti ? dibiarkan terburai hiiii kejam banget tapi jamin deh ampuh pasti ya hukumannya.

    hhahha suka suka sama pemikiran kalau dulu udah ada panci presto hhahha :P

    ReplyDelete
  3. bikin iriiii... hmm.. dimana-mana yah, nggak di sumatera, jawa, kalimantan, dan daerah lain di indonesia nggak akan jauh-jauh dari cerita mistis.. jadi pada intinya raja siallagan ini nggak mau ada orang lain yang lebih sakti dari dirinya ya. makanya orang-orang sakti jadi sasaran hukuman pancung..


    akhirnya pake disqus juga nih mas lomar :))

    ReplyDelete
  4. iya neh, berkat Oom Brad, saya jadi "dipaksa" pake Disdus...eh Disdus mah kupon yak? wekekeke... Disqus deng! hahaha

    @Oom Brad : yang jelas, kalau bukan penduduk Batak asli Ambarita, mungkin sensasinya tidak terbayangkan kali yach? hehehehe. konon, yang dibelek ini selain tawanan perang juga terkadang para misionaris atau orang luar yang menawakan konsep dunia baru ke Kampung Siallagan ini.

    @Tiara : ditetesin jeruk limau, taburi garam, bikin asinan deh. hihihi. iya, hukumannya disini benar-benar secara literatur "setengah mati". gimana nggak setengah mati, usunya sudah terburai kemana-mana trus masih belum dipancung pula. hiiiiiiii. even ada panci presto pun saya nggak tertarik nyobain orang penyet atau orang tulang lunak. hahahaha. ayam jauh lebih enak #eh

    @Mas Tri : iyah neh, Kata Opa Brad #koqJadiMakinTuir? beliau kesulitan buat komen. hehehe...ya wes, dicoba saja lah pake disqus... :p hehehehe
    Mas Tri, nggak mesti yang lebih sakti sih. itu, beberapa misionaris awal sebelum Nommensen pun ikut disembelih juga koq. Padahal, misionaris dari dunia yang modern kan kata kasarnya nggak ada kemampuan gaib kan ya?

    ReplyDelete
  5. wah jadi pake Disqus om :D

    beuh ... disayat, terus ditetesi air jeruk limau, makjaan kenapa gg sekalian aja tuh taburi garam :O
    ya ampun tak kirain dipancung biasa, dikuliti ? dibiarkan terburai hiiii kejam banget tapi jamin deh ampuh pasti ya hukumannya.

    hhahha suka suka sama pemikiran kalau dulu udah ada panci presto hhahha :P

    ReplyDelete