Siwalawa, Di Balik Bawömataluo

Desa yang terletak di balik rerimbunan pohon kelapa tersebut bernama Siwalawa. Posisinya tidak tinggi sehingga hanya desa lainnya yang sejajaran yang bisa terlihat dari tepian Siwalawa. Posisi Siwalawa tidak jauh dari Bawömataluo, tinggal teruskan saja perjalanan anda menuju ke pedalaman, menjauhi Teluk Dalam. Kurang lebih 3 KM dari Bawömataluo, tibalah anda di Siwalawa. Permasalahan utama menuju Siwalawa hanyalah kontur jalan yang lumayan ekstrem naik dan turun. Saya harus memegang diri saya erat-erat di atas motor yang menderu agar tidak terlontar karena kontur jalanan yang berdisko ini. Seru? Ya, seru banget!
Walaupun Siwalawa tidak berlokasi terlalu jauh dari Bawömataluo, namun cukup tenggelam oleh kebesaran nama Bawömataluo karena kunjungan turis pada umumnya hanya mencapai Bawömataluo saja. Akses jalannya walaupun memiliki kontur naik turun, namun secara umum masih cukup baik untuk dilalui motor maupun mobil. Namun, walapun tidak sefenomenal Bawömataluo, Siwalawa memiliki kebersahajaan tersendiri. Siwalawa jauh dari hingar bingar turisme, penjualan souvenir, hingga tawaran Hombo Batu. Penduduk yang tinggal disana, walaupun pada awalnya masih agak kagok dengan kehadiran turis, namun tetap melanjutkan aktifitas sehari-harinya tanpa merasa terganggu dengan kedatangan saya. Tidak ada loket tiket, tidak ada buku tamu, tidak ada tour guide atau perwakilan masyarakat yang hadir untuk menyambut tamu. Semuanya sangat alami.
Jalan masuk yang membingkai Siwalawa tidaklah tinggi dan besar seperti Bawömataluo. Jalan masuknya hanya berupa deretan tangga yang tidak terlalu lurus. Sebagai penanda, ucapan “Selamat Datang di Desa Siwalawa” terpampang di papan bagian depan desa ini. Mengapa rasa Nias Selatan di desa ini sangat kurang? Tampaknya jawabannya cukup jelas dari sangat minimnya Omo Hada yang tersisa di desa ini. Ya, walaupun memiliki bentuk desa yang hampir mirip-mirip, terutama dengan jalan yang cukup lebar yang memisahkan deretan rumah, sebagian besar rumah di Siwalawa telah berubah bentuk menjadi modern. Sebagian besar rumah di Siwalawa telah berdinding batako, memiliki ornamen semen, atau tersusun atas kayu namun bukan merupakan Omo Hada melainkan mengadopsi rasa Melayu Pesisir. Semua ini ditambah dengan jemuran ekstra yang dipampang di masing-masing setiap rumah, makin buyarlah rasa dan romantisme Nias Selatan di desa ini. Beberapa Omo Hada yang masih bertahan pun sudah tidak terlalu banyak. Bahkan ada satu Omo Hada yang memiliki atap genteng berwarna biru! Kenapa sich bisa seperti ini kondisinya? Konon, Siwalawa dahulu pernah terkena kebakaran hebat yang menghanguskan hampir seluruh isi desa. Siwalawa yang kita lihat sekarang adalah desa hasil pembangunan kembali namun tidak dibarengi dengan pembangunan Omo Hada yang konon pula, rumit, dan memakan lebih banyak biaya walaupun –ironisnya- sejalan dengan kearifan lokal.
Satu lagi, Siwalawa tidak memiliki Omo Sebua di pusat desanya. Sebagai catatan, empat Omo Sebua yang masih ada di Nias adalah yang berada di Ono Hondro, Hilinawalo Mazingo, Bawömataluo, dan Hilinawalo Fau. Siwalawa, walaupun masih memiliki batu yang digunakan para Fahombe untuk melompat di tengah-tengah desa, namun keberadaan Omo Sebua sukar diidentifikasi dengan cepat di tempat ini. Keberadaan susunan batu maupun peninggalan megalitikum masih tersisa di desa ini. Sayang, seperti halnya di desa-desa lain, peninggalan tersebut terkadang dipergunakan untuk menjemur pakaian basah dan bahan makanan. Realitas ekonomi tampaknya bertubrukan dengan pelestarian kebudayaan. Cobalah untuk mengunjungi desa adat yang tidak terlalu jauh dari Bawömataluo ini.

3 komentar:

  1. Inilah dilemanya: bila tak dikembangkan sayang, bila dikembangkan maka akan ada banyak nilai yang hilang. Semakin terpapar dengan baik sebuah tempat pada dunia luar, makin sulit pula bagi tempat tersebut untuk bertahan pada akarnya. Saya jadi ingat ketika ada teman perempuan dari Spanyol datang ke Manado dan menginap di tempat kami. Kami banyak diskusi mengenai banyak hal, dan terutama Indonesia. Sampailah kami pada diskusi mengenai Manado, yang punya obsesi untuk menjadi the second Bali. Saya bilang, sulit bagi Manado untuk mencapai hal itu, karena masyarakat di sini kurang lekat dengan tata hidup adatnya. Tingkat spiritualitas yang tinggi di Bali dan begitu merasuk sukma penduduknya adalah faktor utama yang paling mengikat para turis, dan seterusnya. Namun teman saya ini punya pendapat sendiri. Ia bertanya, "Why should Manado be the second Bali? So that they loose their innocence and purity? To make them being excited by anything relateed to money?". Benar juga, karena salah satu hal yang paling memikat tentang Manado adalah orang-orangnya yang tulus dan polos. Jika itu adalah harga yang musti dibayar untuk menjadi 'the second Bali', maka lebih baik Manado memang tak menjadi 'the second whatever it is'.

    ReplyDelete
  2. suka banget, mbak May! bener banget! kenapa sich, segala sesuatu musti disebut sebagai Second Bali, mirip Bali, apanya Bali, sejenisnya lah. mungkin ini yang orang lokal kita nggak sadari. kita begitu euforia dengan pengembangan pariwisata di Bali dan menjadikan Bali sebagai kiblat pengembangan pariwisata kita. akibatnya, bukan pelestarian budayanya yang ditolnjolkan, melainkan materialistis dan gelombang kapitalisme lah yang diusung. Coba dech, di kawasan Ungasan menuju Pecatu, berapa banyak hotel berbintang di atas 5 yang hadir disana dengan skala internasional. kamarnya sendiri nggak bisa dibilang murah bahkan terlampau mahal untuk kalangan menengah sekalipun. yah, nggak ada yang salah sih, karena orang bisa menikmati itu kalau ada uang dan pilihan menjadi semakin luas. namun, kalau ingin menikmati Bali yang seaslinya, tentunya orang nggak akan ke Pecatu atau Nusa Dua atau Kuta donk? mereka akan merangsek ke dalam, mencari tempat yang masih asli mungkin seperti Karangasem atau SIngaraja yang lebih asli.

    Siwalawa, walaupun sudah nggak terlalu asli dan sudah direnovasi, mungkin bisa menjadi opsi buat mereka yang ingin melihat seperti apa sich desa adat Nias yang lebih "sehari-hari" :D

    ReplyDelete
  3. Terutama bagi mereka yang mengusung semangat gretongan dengan contoh nontoh atraksi lompat batu dapat nebeng. Pisssss.....

    ReplyDelete