Laskar Pelangi The Movie, Penyegaran Film Indonesia

Belitung atau Belitong, adalah sebuah pulau (dan kepulauan) di sebelah timur Pulau Bangka, dipisahkan oleh Selat Gaspar. Dahulu, Belitung masuk dalam wilayah administrasi Sumatera Selatan. Semenjak dengung otonomi digaungkan dimana-mana, Bangka dan Belitung resmi berpisah dari Sumatera Selatan menjadi provinsi baru, Bangka Belitung atau yang biasa disebut BaBel. Terkenal dengan hasil timahnya, tidak serta merta membuat pulau ini terkenal. Pamornya masih lebih sering kalah dibanding saudaranya, Bangka yang terletak di sebelah barat.
Laskar Pelangi, sebuah novel karya Andrea Hirata mungkin adalah salah satu hal yang dapat mendongkrak popularitas Pulau Belitung. Terlebih setelah filmnya dimainkan di layar lebar, tampaknya pulau ini menjadi lebih terkenal dibanding sebelumnya. Ya, Laskar Pelangi karya Andrea Hirata disebut-sebut sebagai film terbaik dan terbesar tahun ini dengan jumlah penonton mencapai dua jutaan orang, belum termasuk penikmat tontonan di daerah yang tidak dapat disurvei dan pembelian VCD/DVD nya. Setelah sekian lama beredar, akhirnya film ini memang layak tonton bagi saya yang agak anti menonton film Indonesia. Bukannya saya sok atau bagaimana, namun dalam pikiran saya, film Indonesia akan muncul di tv dalam kurun waktu 3-6 bulan mendatang, jadi tidak ada keharusan untuk menonton film di bioskop. Untung saja saya salah. Laskar Pelangi tidak boleh ditonton di rumah saja. Laskar Pelangi adalah tontonan wajib di sinema layar lebar. Keindahan jalan cerita maupun alam Pulau Belitung yang mempersona, saya kira, tidak akan mampu terpetakan di televisi saja.
Berkisah tentang tiga orang guru (Cut Mini Theo, Ikranagara, Teuku Wisnu Wikana) yang mempunyai ambisi dan cita-cita untuk mengajar di SD Muhammadiyah Gantong, Belitung, satu-satunya sekolah Islam di Pulau Belitung. Idealisme mereka ini terhimpit oleh kemiskinan yang membelenggu siswa-siswinya serta kucuran dana yang hampir tidak ada untuk sekolah tersebut. Bahkan, persyaratan untuk membuka sekolah pun sulit karena harus mendapatkan sepuluh murid sebagai syarat membuka sekolah tersebut. Untunglah, sepuluh murid tersebut dapat dikumpulkan dengan susah payah.
Masa perjalanan waktu sekolah dan cerita ini beredar dari tahun 1974 hingga 1979, mulai dari siswa-siswa tersebut kelas 1 hingga kelas 5. Jalan cerita para siswa-siswinya sendiri lebih fokus pada tahun kelima mereka di sekolah ini. Di tahun ini, mereka melakukan berbagai kegiatan, mulai dari masalah ketidaktertiban, liburan, bekerja sambil sekolah, acara karnaval 17 Agustus, lomba cerdas cermat, bertualang ke pulau kosong, kehilangan guru, masalah cinta, kedatangan murid baru, ujian bersama di sekolah lain, dan banyak lainnya yang membuat kita terkadang tersenyum melihat adegan demi adegan. Bahkan, nama Laskar Pelangi tampaknya terbentuk di tahun kelima mereka bersekolah di sekolah ini. Cerita masa sekolah mereka berakhir seusai lomba cerdas cermat, dimana ayah Lintang hilang di laut dan Lintang harus fokus sebagai pencari nafkah bagi anggota keluarganya. Cerita ditutup dengan pertemuan dua sahabat, Lintang dan Ikal, tokoh yang tampaknya menjadi tokoh sentral dalam cerita ini, pada masa dewasa mereka, dimana mereka masing-masing telah berhasil mencapai impian mereka. Ending yang manis dan berpesan moral baik digunakan untuk menutup cerita ini, bahwa mimpi akan selalu bisa terkejar untuk mereka yang berusaha. Seperti pesan Pak Harfan (Ikranagara), “Selalu memberi sebanyak-banyaknya, daripada menerima sebanyak-banyaknya”.
Di luar itu semua, Laskar Indonesia yang tampaknya mendapat poin 9.25 dari 10 ini pun tetap memiliki beberapa kekurangan yang tampaknya hanya bisa dilihat oleh orang yang sungguh-sungguh mencerna isi film ini. Satu, film ini masih lemah dari segi setting lokasi dan waktu. Ada beberapa komponen barang, suasana tempat yang tidak sesuai dengan waktu saat pembuatan film ( 1974 – 1979 ) sehingga agak mencolok di tengah suasana yang vintage tersebut. Misalnya saja plat mobil yang digunakan ada yang bermodel masa kini dan beberapa lainnya masih menggunakan plat kuno yang mungkin memang dipakai pada masa itu. Beberapa kali, rias wajah Cut Mini dan Ikranagara, terlihat “terlalu bersih” dibanding anak-anak Gantong yang terlihat lebih kusam. Namun, untuk urusan make up, film ini sudah patut diacungi jempol karena sangat natural. Sangat jauh dari kesan rias wajah sinetron yang sangat dibuat-buat, bahkan pada waktu bangun tidur sekalipun (pensil alis tidak boleh ketinggalan).
Mengenai kelebihan, tentu saja tidaklah berlebihan bahwa film ini mendapat pujian dari sana sini dikarenakan banyak elemen positif di dalam film ini. Akting ke sepuluh plus satu anak Laskar Pelangi sudah sangat baik. Adegan tangis baik Ibu Muslimah (Cut Mini) maupun Ikal, sangat natural dan wajar serta tidak dibuat-buat. Adegan tangis ini mampu menguras air mata penonton terutama saat Pak Harfan (Ikranagara) meninggal atau saat Lintang mengucapkan selamat tinggal pada teman-temannya. Dari segi sinematografi, Pulau Belitong sangat tergambarkan dengan baik di film ini. Keindahan landscape, kota, arsitektur serta alamnya, saya jamin akan meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke Pulau Belitung, terutama batu-batu besar di tepi pantai yang akan sangat sukar dicari tandingan di lokasi lain. Alur film yang lambat di bagian awal mungkin akan membuat penonton bosan atau mungkin masih menerka-nerka apa fokus dari film ini yang ternyata memang tersirat sekali. Tontonan Laskar Pelangi pun tidak direkomendasikan untuk anak yang sangat kecil karena kedalaman emosi mereka belum sampai pada tahap dapat memahami isi film ini. Banyak juga hal-hal yang tampaknya berjalan begitu saja tanpa adanya penjelasan lebih lanjut yang tampaknya hanya merupakan sekedar bumbu saja pada film ini atau justru membuat penonton bertanya-tanya. Hal-hal tersebut seperti misalnya pemberian nama Laskar Pelangi yang terkesan agak “tiba-tiba” dan hilangnya ayah Lintang di laut serta pertemuan dengan dukun yang tidak diceritakan. Tidak diceritakan juga bagaimana potongan bola tenis bisa membuat otot menjadi besar. Pada sisi lain, ada beberapa hal yang justru menjadi kunci utama dari film ini, salah satunya adalah hadangan buaya pada Lintang di jalan menuju sekolah setiap harinya. Penggarapan emosi juga menjadi satu hal yang teramat kuat pada film ini. Misalnya saja ketika Ikal jatuh cinta, ada bunga-bunga yang berjatuhan tiba-tiba saja. Namun sebaliknya, ketika Aling pergi ke Jakarta, tiba-tiba barang-barang di Toko Sinar Harapan seakan-akan ambruk dan jatuh berkelontangan di belakang Ikal. Sungguh menarik. Porsi karakter 10+1 anak yang bermain juga tidak seimbang. Ada beberapa anak yang tampaknya hanya menjadi bumbu sampingan saja tanpa diceritakan adegan atau persona detail dari si anak. Satu lagi, artis-artis senior yang tampil mungkin sedikit banyak bisa membuat anda bosan karena karakter mereka yang jarang berubah seperti misalnya Mathias Muchus sebagai seorang ayah, Jajang C. Noer sebagai seorang Ibu, Robby Tumewu sebagai abah pemilik toko kelontong, Diah R. Pitaloka sebagai seorang ibu, dan Tora Sudiro yang sudah kuat image sebagai seorang penghiburnya. Lukman Sardi pun dipakai sebagai Ikal pada masa dewasa. Mungkin ada baiknya pula artis artis senior tidak diisi dengan orang yang sama terus menerus.
Yah, sekali lagi saya rekomendasikan film ini buat pencinta film Indonesia, penyuka film segar yang sedikit berbeda dengan genre film Indonesia umumnya, dan tentunya pencinta travelling. Laskar Pelangi dan Belitung siap menyambut anda.

0 komentar:

Post a Comment