Selamat Datang Di Cemoro Lawang


Desa Cemoro Lawang adalah desa terakhir di perlintasan Probolinggo – Bromo, Kecamatan Sukapura. Selepas desa ini, anda langsung akan berhadapan dengan Gunung Bromo yang terkenal itu (bisa ditempuh dengan jalan kaki loch). Karena posisinya yang sedemikian strategis, maka Cemoro Lawang sering dijadikan titik awal mula kunjungan ke Bromo oleh para turis. Anehnya, turis lokal justru jarang yang menginap di Cemoro Lawang. Kebanyakan, turis asinglah yang menginap disini. Alasannya cukup jelas, suhu di Cemoro Lawang bisa turun hingga 0-5 derajat celcius pada musim kemarau (pada musim penghujan, minimal hanya 15 derajat saja). Terkadang, es (bahkan salju kecil) turun di wilayah ini namun begitu menyentuh tanah langsung mencair. Suhu yang sangat rendah tersebut membuat banyak turis lokal kabur dari Cemoro Lawang. Mereka lebih suka tinggal di Ngadisari, Sukapura, Probolinggo atau bahkan Malang yang suhunya lebih bersahabat di kulit. Hal ini wajar mengingat Cemoro Lawang terletak pada posisi paling tinggi diantara kota-kota lainnya yang memiliki akomodasi tersebut. Kondisi berbeda dialami oleh para turis asing karena mereka sudah cukup terbiasa dengan suhu dingin menusuk kulit. Bagi mereka, suhu minimal saat musim kemarau di Cemoro Lawang belum ada apa-apanya dibanding suhu pada saat musim dingin di negara mereka. Sementara itu, turis lokal lebih gemar melakukan perjalanan wisata satu hari saja untuk mengunjungi Bromo. Pagi hari, mereka bangun dan menempuh perjalanan menuju Cemoro Lawang (atau Wonokitri dari Pasuruan atau Ngadas dari Malang). Dari ketiga titik ini, mereka berganti angkutan bus ke jeep untuk menempuh lautan pasir Bromo dan bergerak menuju Gunung Penanjakan, tempat terbaik menyaksikan matahari terbit di Bromo. Akibat titik awal mereka yang masih jauh dari Bromo, usaha yang mereka lakukan harus lebih keras. Kalau di Cemoro Lawang, Wonokitri atau Ngadas, turis ‘cukup’ bangun pukul empat pagi, maka dari Probolinggo, Pasuruan atau Malang, mereka harus bangun pukul 2 pagi.
Desa Cemoro Lawang ini memiliki akomodasi yang cukup baik. Sejumlah hotel tercatat berada di tempat ini, mulai dari kelas hostel hingga hotel butik. Harga bervariasi mulai dari Rp. 100.000 hingga mencapai jutaan untuk satu kamar. Alam sekeliling Cemoro Lawang sendiri menarik untuk dieksplorasi, bahkan ketika anda menyudahi kunjungan anda di Bromo dan di lautan pasir. Beberapa gunung terlihat mengelilingi wilayah ini. Di sekeliling desa anda bisa melihat para petani lokal bertani kubis, kentang, dan daun bawang. Banyak diantara mereka yang asik memotong pakan untuk ternaknya. Sejumlah warung kelontong sederhana dapat memenuhi kebutuhan anda akan kebutuhan perjalanan. Sejumlah warung makan sederhana juga bisa membantu anda mengisi perut di kala lapar dan dingin. Anda akan benar-benar mendapatkan suasana desa yang asri disini. Jangan harapkan hiburan malam disini. Ini bukan Jakarta atau Bali. Malam adalah saat yang tepat bagi anda untuk menarik diri dari hingar bingarnya hari anda. Anda akan menikmati kesatuan dengan alam yang memaksa anda untuk tidur lebih cepat karena esoknya harus bangun pagi untuk mengejar matahari terbit.
Dari Cemoro Lawang, perjalanan ke dalam gerbang Taman Nasional Gunung Bromo Tengger Semeru hanya sepelemparan batu saja. Dari pintu gerbang (biasanya anda akan dimintai retribusi sebesar Rp. 6.000 per orang namun anda bisa mengabaikannya kalau sudah pernah masuk atau akan masuk), berjalanlah sekitar 700 meter ke arah Lava View Lodge, melewati pelataran parkir, penginapan sederhana dan kebun-kebun warga, maka anda akan bertemu langsung dengan Gunung Bromo. Walaupun terlihat sangat dekat, sebenarnya gunung tersebut masih cukup jauh untuk dicapai. Anda bisa melihat beberapa jeep (kalau masih ada) berseliweran di lautan pasir di bawah sana. Kegiatan ini bisa anda lakukan kalau anda masih memiliki banyak waktu di Cemoro Lawang dan kabut belum turun.
Sebenarnya, ada satu atraksi lagi yang tampaknya kurang menjadi perhatian banyak orang karena tidak sepopuler matahari terbit. Melihat matahari terbenam di Bromo memang belum terlalu populer. Namun, sedikit banyak orang-orang sudah cukup mengetahui adanya paket ini walau tidak semuanya berminat mengikuti. Untuk kebanyakan turis, melihat matahari terbit di Bromo adalah suatu kewajiban dan hal lain menjadi tidak penting dilakukan di Cemoro Lawang sehingga mereka bergegas pulang setelah usai mencapai Bromo. Kalau anda tertarik, coba dech hubungi hotel anda untuk menanyakan adanya paket matahari terbenam. Sayangnya, nggak setiap hotel memiliki info yang lengkap atau menyediakannya. Para supir hardtop yang pada pagi hari mengantar turis, umumnya akan tertidur pada siang hari hingga sore hari dan malam. Kalau beruntung, mungkin anda bisa mendapatkan penawaran menarik di Cemoro Lawang. Berkunjung di Cemoro Lawang jangan lupa membawa payung atau jas hujan yach, daerah ini terkenal akan kebiasaannya yang gemar menurunkan hujan tanpa pertanda apapun. Hujan mudah sekali turun di tempat ini. Membawa payung atau jas hujan kemana-mana adalah pengalaman yang sangat bijak.

0 komentar:

Post a Comment