Manortor Bersama Sigale-Gale

Salah satu kekhasan budaya Batak Toba yang unik dan tiada duanya serta fenomenal mungkin Patung Sigale-Gale. Ya jelas saja unik, kisah ini nggak akan anda temukan di luar dari lingkup Danau Toba, kecuali memang dibawa untuk pertunjukkan hingga melanglang buana. Saya pernah menuliskan kisah singkatnya di blog ini medio 2007. Sejarah lengkap dari terciptanya kisah Sigale-Gale ini pun bisa dibaca disini. Namun, semakin mencari informasi mengenai Sigale-Gale ini, semakin menarik juga mengetahui fakta dan cerita yang ada di belakangnya. Termasuk fakta bahwa dahulunya patung berukuran satu setengah meter yang dipakaikan baju dan didandani selayaknya laki-laki Batak Toba ini digerakkan dengan kekuatan mistis, bukan mekanis seperti yang kita kenal sekarang.
Alkisah ada seorang Raja yang kaya dan berkuasa bernama Tuan Rahat. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang sangat disayanginya, Manggale namanya. Suatu ketika, ketika terjadi perang, sang Raja turut mengirim anaknya untuk ikut berperang melawan musuh. Sayang, takdir berbicara lain, anak laki-laki yang disayanginya tersebut tewas dalam peperangan. Perasaan terlalu sayang dan kangen anak semata wayangnya ini membuat sang Raja menjadi sangat sedih. Alhasil, sang Raja pun jatuh sakit. Dalam proses penyembuhannya, seluruh tabib di penjuru kerajaan dipanggil untuk menyembuhkan sang Raja. Seorang tabib mengatakan bahwa sang Raja sakit rindu. Oleh karena itu, ia meminta kepada penasehat kerajaan untuk memahat sebuah kayu yang menyerupai wajah Manggale. Namun sang Raja berpesan agar patung tersebut ditempatkan saja agak jauh dari rumah, yakni di Sopo Balian (rumah-rumahan yang berada di tengah sawah). Pada saat upacara kematian, patung tersebut dijemput untuk menari di samping jenazah Manggale. Dalam upacara kematian Manggale, sang tabib memanggil roh Manggale dan dimasukkan ke dalam boneka yang dipahat menyerupai wajah Manggale tersebut. Demikianlah boneka kayu yang dipahat dari pohon nangka tersebut manortor selama 7 hari 7 malam dengan iringan musik Batak Toba yakni Sordam dan Gondang Sabangunan.
Ada banyak tempat untuk menyaksikan pertunjukkan Patung Sigale-Gale di seputaran Danau Toba. Salah satu yang paling terkenal tentu saja yang berada di Desa Tomok, persis di sebelah makam Raja Sidabutar. Sepanjang perjalanan saya menjelajahi wilayah Danau Toba, sedikitnya saya menemukan tujuh buah Patung Sigale-Gale yang tersebar dengan konsentrasi utama tentu di Pulau Samosir. Lainnya, saya mendapatkan patung Sigale-Gale ini di Desa Simanindo, Desa Pagarbatu (Balige), sebuah toko souvenir di Tuk-Tuk Siadong, dan untuk pementasan di Bagus Bay Tuk-Tuk Siadong. Di Tomok sendiri ada dua buah patung Sigale-Gale yang berada lebih dekat ke jalan raya dan bukan berada di area inti pertunjukkan Patung Sigale-Gale. Patung-patung Sigale-gale ini memang tidak ada yang berwajah sama. Bahkan, Patung Sigale-Gale di Simanindo terdiri atas dua patung dalam satu keranda peti mati. Uniknya, Sigale-Gale kedua berukuran lebih kecil dan tampaknya merupakan representasi dari seorang wanita (terlihat dari ikat kepala yang dikenakannya). Konon, katanya patung-patung ini merupakan perwujudan untuk mengenang kembali orang yang telah tiada. Maka dari itu, wajah Sigale-gale dibuat menyerupai orang yang ingin kita kenang tersebut. Lebih dari pada itu, ada kepercayaan di masyarakat bahwa orang yang siap memahat Sigale-Gale sudah harus siap untuk menyerahkan nyawanya agar tarian Sigale-Gale Nampak hidup dan nyata. Seram yach? Hiiiii... Konon, apabila ada seseorang yang memahat patung Sigale-Gale, maka ia akan segera meninggal. Dari sebab inilah maka Patung Sigale-Gale tidak pernah dibuat banyak-banyak. Berangkat dari kejadian-kejadian ini, proses pembuatan Sigale-Gale tidak pernah dikerjakan oleh satu orang, termasuk untuk peti mati yang penuh ukiran dan tali-tali mekanik penarik gerakan Sigale-Gale ini.
Yuk, mari kita tengok seseram apakah pertunjukkan Sigale-Gale yang berlangsung di Desa Tomok ini! Pertunjukkan Sigale-Gale dapat diselenggarakan dengan biaya hanya Rp. 80.000 saja lho! Biaya ini dibebankan per pertunjukkan. Jadi, kalau anda bepergian rame-rame,ini sangat menguntungkan! Belum lagi ada Ulos yang dipinjamkan secara gratis. Hehehe. Biaya ini nggak begitu tergerus inflasi yach mengingat empat tahun lalu biaya yang diperlukan hanya Rp. 60.000 saja. Namun, saya mendapat keberuntungan pada pagi itu. Ketika saya datang, musik khas Batak berkumandang di wilayah pertunjukkan. Oho, ternyata sedang ada pertunjukkan Sigale-Gale dihelat dan sedang ada rombongan turis lokal yang sedang mengikuti acara ini. Asyik! Sebelum memulai, Pemandu wisata sekaligus sebagai pemimpin pertunjukkan ini menceritakan kisah Sigale-Gale. Kemudian, ia membagikan Ulos dan mengajak seluruh peserta untuk manortor mengikuti gerakan yang ia contohkan. Gerakannya sederhana, hampir berupa melebarkan telapak tangan di samping tubuh atau di depan dada sambil menari mengikuti irama. Sayangnya, musik yang dimainkan hanyalah musik rekaman saja. Sayang sekali. Saya berharap ada orkestra Batak lengkap dengan Gondang-Gondang khas Batak itu.
Menarik sekali melihat rombongan ibu dan bapak tersebut manortor. Beberapa diantara mereka ada yang cuek dan keluar dari barisan, membentuk grup sendiri untuk kemudian eksis-eksisan berfoto sendiri. Hahaha. Teuteup yach…. Di belakang mereka, disanalah Sigale-Gale bergerak secara ganjil yang membuat suasana agak magis. Saya melihat Patung Sigale-Gale tersebut mengkerut, kemudian bergetar, kemudian tangannya memuntir, memelintir, kemudian sambil manortor dan telapak tangan di arahkan ke depan. Indah dan sekaligus mistis ketika Sigale-Gale tersebut manortor sambil mengikuti irama musik Batak. Namun, kemagisan tersebut sirna lantaran saya bergerak ke samping dan menjumpai seorang dalang yang sedang menarik tali-temali mekanik penggerak Sigale-Gale. Pertunjukkan Sigale-Gale ini dilakukan dalam beberapa repertoar. Setiap perpindahan lagu, sang pemandu wisata akan berhenti dan menjelaskan ritual yang harus dilakukan dan maknanya. Di ujung pertunjukkan, semua peserta dipersilahkan untuk menyawer Sigale-Gale. Menarik sekali melihat tangan Sigale-Gale yang menari tersebut penuh dengan lembaran uang, mulai dari Rp. 5.000 hingga Rp. 10.000. Wuih...panen dech. Hehehe. Saya sich nggak ikutan manortor karena saya bukan dari grup tersebut dan saya nggak bayar Rp. 80.000. Hehehe. Saya Cuma jadi pengamat dan fotografer saja di pinggir. Lumayan, walau gratis, tapi bisa melihat pertunjukkan Sigale-Gale di pagi ini. Sebenarnya sich aneh juga kali yach kalau rombongan yang berjumlah dua orang saja mau manortor bersama Sigale-Gale ini. Entah kenapa, pertunjukkan ini rasanya baru seru dilakukan dengan rombongan orang yang banyak. Yah, terlepas dari magisnya cerita di belakang Sigale-Gale ini atau serunya manortor bersama Sigale-Gale, saya sendiri tidak terlalu menyukai ekspresi Sigale-Gale ini. Ada rasa seram yang timbul ketika saya memandangi wajah Sigale-Gale ini lama-lama. Mungkin memang mistisnya Sigale-Gale ini memang benar adanya yach. Menurut anda bagaimana?

4 komentar:

  1. iih serem deh menurutku mah :O mukanya gg ramah gitu
    jadi keingetan jelangkung :O

    ReplyDelete
  2. hehehe...bahannya pun khas : Pohon Nangka. Tau-Tau di Tana Toraja terbuat dari Pohon Nangka juga. apa Pohon Nangka melambangkan dunia setelah kehidupan yach?

    mukanya memang nggak ramah, berkesan dingin dan menyeramkan bahkan. Beberapa Sigale-Gale ada yang agak nyentrik dengan mukanya dicat kuning :p

    ReplyDelete
  3. secara sepintas budaya Batak itu hampir mirip toraja ya..?
    pun dengan ciri khas wajah penduduknya..
    bahkan kata orang, kata ToBa itu singkatan dari Toraja Batak..entah benar atau tidak..

    :D

    ReplyDelete
  4. hmm... muka khasnya mirip ya, Daeng? bisa jadi juga sich, muka dengan bentuk rahang yang keras ya? Tapi selama ini saya mengasosiasikan bentuk rahang seperti itu hanya dimiliki oleh Orang Batak saja :p

    kalau kemiripan, ya bisa jadi, karena dua-duanya merayakan kematian sebagai suatu peristiwa besar dalam adat istiadat mereka. Namun secara bahasa, bentuk rumah, pakaian adat, dan kain tenunan, kayaknya memang beda yach. Hehehehe. Wah, saya bukan ahli sosiologi sich. Tapi mungkin saja memang mereka berhubungan. hehehe....

    ReplyDelete