Selain terkenal sebagai daerah pusatnya tenun ikat, Kefa Menanu juga diketahui memiliki sejumlah desa tradisional Timor yang masih menggunakan Ume, atau Lopo dan Sonaf sebagai tempat tinggal mereka. Pemandangan Lopo akan banyak ditemui di ruas jalan Camplong – Kefa Menanu. (Harusnya di Atambua kesana sich ada yah, kan masih masuk dataran tinggi Timor yach). Apabila tidak memungkinkan bagi anda untuk berhenti di tengah-tengah jalan di pedalaman (berhenti di tengah jalan demi ngeliat Lopo maksudnya) , cobalah untuk mencari Lopo di Kefa Menanu.
Di Kefa Menanu, terdapat sebuah Lopo yang ternyata, tidak semua warga Kefa tahu akan keberadaannya. Hal ini yang saya alami ketika saya memulai perjalanan saya di Kefa demi mencari Lopo ini. Dalam satu gerombolan masyarakat yang saya temui, mulai dari anak muda, polisi, anak sekolah, hanya sebagian dari mereka saja yang tahu dan mampu untuk menunjukkan lokasi tempat Lopo berada. Sebagian lainnya malah tidak tahu sama sekali. Saya sempat tersasar beberapa kali dalam pencarian ini. Uniknya, ketika saya tersasar di dekat lokasi pun, warga sekitar masih banyak yang tidak mengetahui dan tidak dapat menunjukkan dimana letak Lopo tersebut. Hampir saya menyerah dan tidak meneruskan pencarian berhubung hari sudah hampir gelap dan jalanan sekitar tidak memiliki penerangan sama sekali. Namun, sekali lagi saya mencoba mencari jalan dengan bertanya pada warga terakhir yang saya jumpai. Untungnya, informasi yang diberikan ternyata benar. Saya tersasar dengan hanya berbeda gang saja. Ketika saya pindah gang, saya menemukan Lopo yang dimaksud.
Lopo yang saya maksud ini terletak di Jalan Cendana, nomor 1. Sonaf Nai Neno dan Lopo Timor, begitu namanya. Lopo Raja Bana, begitu masyarakat setempat menyebutnya, ternyata masih dihuni oleh Raja Bana Nai Neno II, PR.B hingga saat ini, bersama istrinya. Sempat saya memutar mencari jalan masuk Lopo ini sebelum akhirnya saya disapa oleh beliau dan mengatakan agar saya masuk lewat pintu depan (waktu itu terpalang).
Ternyata, Raja Bana adalah seorang pria yang sangat ramah dan baik hati serta informatif. Ini yang paling penting. Beliau menerima saya dengan penuh rasa suka dan bercerita panjang lebar akan Lopo-nya, kebudayaan dan kerajaan Timor serta aspek-aspek lainnya. Ketika saya masuk, beliau tidak mengenalkan diri terlebih dahulu. Beliau justru memperlihatkan beberapa foto di dinding yang merekam aktifitasnya sebagai Raja. Setelah melihat beberapa foto tersebut, barulah saya tersadar, bapak yang berada di depan saya ini adalah Raja Bana sendiri. Beliau menanyakan maksud kedatangan saya dan dengan suka hati bercerita banyak hal serta mengijinkan saya untuk berfoto.
Dalam kebudayaan Atoni-Timor, suku bangsa yang mendiami bagian barat pulau Timor dan berkonsentrasi di dataran tinggi Timor, Lopo adalah rumah. Lopo ini sering disebut juga sebagai Ume. Bentuk fisik dari Lopo adalah berkaki empat, dan memiliki atap yang berbentuk hampir bulat dan berujung agak runcing di puncaknya. Bahan utama dari atapnya adalah ijuk atau rumbia. Bagian dinding dari Lopo bisa saja dikosongkan sehingga hanya terlihat empat tiang penyangga Lopo di masing-masing sisi. Sementara itu, ada juga Lopo yang dibuat dengan menutup dindingnya. Bahan utama untuk menutup dindingnya adalah kayu. Jadi, ada Lopo yang terbuka, ada pula Lopo yang tertutup. Sementara itu, Sonaf adalah bangunan menyerupai Lopo, lengkap dengan atap yang berbentuk serupa dengan Lopo. Perbedaan fisik yang jelas antara Sonaf dan Lopo terletak pada jumlah tiang penyangganya. Lopo memiliki 4 tiang penyangga pada setiap sudutnya sementara Sonaf hanya memiliki satu tiang utama di tengah-tengah.
Kediaman Raja Bana Nai Neno II, PR.B ini disebut Sonaf Nai Neno dan Lopo Timor karena memiliki 4 tiang penyangga di setiap sudutnya dan satu tiang utama di tengah-tengah. Beliau mengatakan, inilah keunikan tradisi Timor. Rumah ini juga diakui oleh Departemen Perumahan Negara sebagai rumah tradisional Indonesia. Bentuk tiang yang berdiri menegakkan Lopo dan Sonaf pun memiliki arti. Sepanjang pengamatan saya, ada beberapa Lopo dan Sonfa yang memiliki tiang biasa saja tanpa ukiran atau hiasan apapun. Namun, di kediaman Raja Bana ini, anda bisa menyaksikan tiang penyangga Sonaf Nai Neno dan Lopo Timor ini dipenuhi dengan berbagai ukiran, hiasan dan tulisan yang tentunya mempunyai maksud dan arti. Sebagai informasi, tiang tengah Sonaf berdiri memanjang dari fondasi hingga bagian atas Sonaf. Di belakang tiang ada sebuah tangga yang digunakan untuk mobilitas Raja dan keluarga yang naik turun Sonaf dan Lopo sebagai tempat tinggal. Ya, Raja dan keluarga tinggal di bagian atas Lopo. Lopo sendiri terbagi menjadi tiga kawasan, bawah, tengah, dan atas. Tiang tengah yang berdiri sebagai fondasi Sonaf dipenuhi oleh hiasan ukiran dan tulisan seperti “Sonaf” dan “Usi Neno” serta ukiran berbentuk bulat yang disebut “Buni” dan silindris yang disebut “Flasu”. Hiasan gambar matahari, bulan dan bintang serta ayam pun dapat anda saksikan disini. Tiang tengah ini melambangkan Usi Neno, atau Tuhan dalam kepercayaan warga Atoni-Timor. Sementara itu, keempat tiang lainnya, sepasang-sepasang disebut sebagai tiang laki-laki dan tiang perempuan. Sepasang tiang yang bersilangan ini melambangkan ibu dan sepasang lainnya melambangkan ayah. Saya sendiri tidak menemukan perbedaan antara tiang laki-laki dan tiang perempuan. Namun, Raja Bana mengatakan, hanya yang tahu yang dapat membedakan mana tiang laki-laki dan mana tiang perempuan.
Selain tiang utama penyangga Sonaf dan Lopo, ada juga tiang-tiang yang dipasang untuk menyangga atap Sonaf dan Lopo. Tiang-tiang ini menggunakan pohon cemara, yang juga dikenal sebagai pohon lambang perdamaian. Maka daripada itu, Raja Bana menegaskan bahwa orang Timor cinta damai sebab filosofi perdamaian sudah terangkum di dalam Lopo itu sendiri.
Di sekeliling saya, banyak terdapat potongan batang pohon yang disusun melingkar dengan pusat lokasi tahta Raja Bana sendiri. Potongan batang pohon tersebut digunakan sebagai tempat duduk untuk 7 puteri kahyangan dan 4 ketua kepercayaan Raja. Di dalam Sonaf dan Lopo, ada Mesbah, kotak donasi, beberapa meja panjang yang digunakan sebagai tempat berkumpul para kepala suku, tombak dan Catur Timor (bentuknya mirip sekali dengan permainan congklak yang kita kenal). Bedanya, Catur Timor ini digunakan oleh para panglima Kerajaan untuk menyusun strategi peperangan. Selain Sonaf dan Lopo utama yang dibicarakan, masih ada Lopo yang berdinding penuh di sebelah kiri Sonaf dan Lopo dan sebuah rumah bata biasa. Ada pula Pohon Cabang Tiga yang sangat unik dengan satu cabang lebih tinggi daripada dua cabang lainnya. Cabang tertinggi ini melambangkan Usi Neno (Tuhan dalam kebudayaan Atoni-Atoni) dan dua cabang lainnya melambangkan orang tua kita. Suatu prinsip filosofi yang baik sekali untuk terus percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbakti kepada kedua orang tua.
Berada dalam satu pulau Timor, orang Atoni memiliki tingkat kekerabatan tinggi dengan orang Tetum yang hidup di wilayah timur pulau dan orang Helong yang berada di sekitar “ekor” pulau yakni Kupang. Raja Bana mengatakan, Dari terbitnya matahari, atau Timor Loro Sae (berada di sekitar Tutuala, Los Palos, Timor Leste) hingga terbenamnya matahari di jembatan terpanjang di Timor yang membelah Sungai Mina (berada di Batu Putih, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur) adalah wilayah Kerajaan Bikomi – Meomafo (Oenun) & Noebana – Timor. Sonaf Nai Neno dan Lopo Timor tempat kediaman Raja Bana sekaligus tempat pemerintahan di Kefa Menanu ini adalah Tali Sumbu/Pusar Pulau Timor. Bahkan, Padi pertama yang ditanam dan dimakan oleh penduduk Pulau Timor berasal dari Kefa Menanu.
Hingga kini, Sonaf Nai Neno dan Lopo Timor ini digunakan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Bikomi – Meomafo (Oenun) & Noebana – Timor dan kediaman Raja beserta keluarga. Sonaf dan Lopo ini merupakan The most unique and richest heritage of Atoni-Timor serta the only Sonaf and Lopo in the world. Apabila anda mencermati bentuk Sonaf dan Lopo lainnya di penjuru Timor, maka anda tidak akan menemukan Sonaf dan Lopo yang digabung menjadi satu yang sekaligus berfungsi sebagai lokasi pemerintahan dan tempat tinggal. Sangat unik. Dalam waktu setahun atau selang beberapa tahun, ada kegiatan yang bisa anda saksikan di Sonaf dan Lopo seperti upacara masuknya bibit asli padi dan jagung Timor kembali ke dalam Sonaf, berkumpulnya seluruh kepala suku di wilayah Timor dan banyak lainnya. Untuk mengetahui kapan waktu yang tepat menyaksikan kegiatan ini, anda dapat bertanya kepada Raja Bana langsung.
Saya sempat bertanya kepada Raja Bana, sebab saya sedikit heran melihat ada sebuah rumah biasa di belakang Sonaf dan Lopo yang memiliki berbagai pernak-pernik pengajaran anak-anak pra-sekolah. Jawaban yang didapat sungguh sangat mengagetkan. Selain memiliki kebudayaan tinggi, hidup Sang Raja Bana juga penuh dengan dedikasi untuk menyejahterakan kehidupan sosial warga lainnya. Sang Raja menyelenggarakan sebuah playgroup untuk anak-anak warga asli Timor dan non-Timor dan diutamakan untuk mereka yang kurang beruntung dalam segi finansial. Walaupun Raja mengutamakan warga asli Timor, namun Raja Bana tidak menutup kemungkinan anak non-Timor yang ingin belajar di playgroup ini. Ada seorang anak dari keluarga non-Timor yang hidup berkecukupan namun terkesan dengan metode pendidikan yang dekat dengan kebudayaan bangsa asli Timor sehingga bersekolah disini. Sungguh suatu perbuatan yang terpuji dari segi sosial dan juga dalam hal pelestarian kebudayaan daerah.
Beruntungnya saya yang tidak membuat janji terlebih dahulu hari itu namun dapat bertemu langsung dengan Raja Bana dan mendapat penjelasan langsung dariNya. Raja Bana dengan serius namun santai menginformasikan tentang kebudayaan Timor dan KerajaanNya kepada saya. Beliau juga mengijinkan saya untuk melakukan foto-foto di sekeliling Sonaf dan Lopo. Yang paling mengesankan adalah Raja Bana menyempatkan diri untuk berganti pakaian dengan pakaian resminya ketika memerintah kerajaan, dan saya diajak berfoto bersama. Sungguh, saya sangat terkesan oleh keramahan hati Raja Bana dan kerendahan hatinya untuk menerima tamu dari berbagai golongan. Dalam rangka sebagai misi kebudayaan dan misi sosial, Raja Bana juga mengajak saya berdonasi sebagai bentuk pelestarian warisan kebudayaan Timor dan mendukung pendidikan anak-anak playgroup yang kurang beruntung dalam segi finansial. Sungguh, apabila anda berkunjung ke Kefa Menanu, anda wajib datang ke Sonaf Nai Neno dan Lopo Timor Raja Bana Nai Neno II, PR.B. Jangan lupa berdonasi dalam rangka melestarikan kebudayaan Timor dan mendukung program playgroup bagi anak-anak.
Asik mendengarkan penjelasan dan berfoto, ternyata malam sudah turun dengan cepatnya. Saya berjalan dalam kegelapan karena wilayah di belakang Kantor Bupati Timor Tengah Utara hampir tidak memiliki lampu jalanan. Kurang lebih sekitar 15 menit, baru saya sampai di Jalan Raya El Tari, dimana lampu jalanan baru saya temui. Namun, kembali menyebrang ke Jalan El Lake, kegelapan total kembali menyelubungi saya. Searsa berjalan di dalam hutan! Dari Jalan El Lake menyebrangi Jalan Sonbay, saya bertemu dengan Jalan Achmad Yani yang mengarah ke Atambua dan Nunpene. Yang agak membuat heran, arah Nunpene, jalan raya memiliki deretan lampu jalanan dengan sinar terang benderang, semantara di sisi sebaliknya arah Atambua gelap gulita. Masuk lagi ke Jalan Sonbay, tempat Hotel saya berada, jalanan kembali gelap gulita. Satu-satunya yang membantu penerangan jalan hanyalah motor atau mobil yang sesekali melintas. Agak menakutkan sebenarnya. Ternyata, sesampainya di hotel, saya baru tahu ternyata sedang terjadi pemadaman listrik. Hotel yang terang sendiri ternyata menggunakan generator untuk menyalakan listrik. Pemadaman listrik tampaknya sering terjadi di Kefa Menanu. Namun saya tidak mengetahui dengan pasti apakah gelapnya jalan yang saya lalui tadi merupakan efek dari pemadaman listrik atau memang jalannya gelap gulita. Buat anda yang tidak suka kegelapan, sebaiknya hindari berkeliaran di jalan-jalan Kota Kefa Menanu selepas matahari terbenam sebab anda akan menemui beberapa ruas jalan yang gelap total sama sekali.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment