Siap Meninggalkan Kefamenanu

Pagi hari menyambut saya di Kefa, kota terbesar di wilayah Timor Tengah Utara, hari rabu. Sebagian dari diri saya tidak rela untuk berpisah dengan kota ini. Sebagian lagi, saya sadar harus mengejar waktu agar sampai di Kupang tepat waktu. Mengingat saya masih memiliki dua tempat tujuan yang harus didatangi, maka bermalas-malas bukanlah pilihan.
Saya keluar dari hotel dan membeli beberapa makanan ringan di warung di depan hotel. Walaupun saya diberikan telur rebus utuh, dua potong kue nanas dan secangkir teh hangat, namun saya ingin ngemil lebih banyak karena saya akan menempuh perjalanan jauh juga untuk hari ini. Saya takut tidak bisa menempuh perjalanan dengan baik apabila perut saya kosong dan yang terburuk, saya masuk angin. Ketakutan saya lainnya adalah tidak berhentinya kendaraan yang saya tumpangi ketika tubuh saya sudah meminta jatah makan. Maka, makanan ringan seperti biskuit dan botol kecil minyak kayu putih menjadi barang belanjaan saya.
Sebelum saya berpisah, saya menyempatkan diri untuk berfoto bersama staff hotel ini, Joséph Netsa yang sungguh sangat ramah dan baik hati. Rasa sedih langsung menyeruak walaupun baru satu hari saya tinggal di hotel ini. Saya tidak tahu kapan akan kembali lagi namun saya berjanji di dalam hati, saya harus kembali ke Timor suatu saat nanti. Kemudian saya berjalan keluar Jalan Sonbay, menuju El Lake dan El Tari. Saya menyempatkan diri untuk berpamitan dengan teman-teman dari PMKRI yang saya ajak berbincang kemarin, ibu penjual bakso dari Bumi Ayu dan polisi yang membantu saya menemukan lokasi Lopo Raja Bana, Pak Naya. Perjalanan saya dari hotel ke terminal bus Kefa membutuhkan waktu sekitar 30 menit berjalan kaki. Berhubung pagi itu masih cukup sejuk, maka saya nekad untuk berjalan kaki.
Saya tidak masuk ke dalam terminal di sebelah pasar Kefa. Saya lebih memilih untuk berjalan lurus ke arah pintu keluar Kefa dan disana terdapat dua buah bus yang sedang menaikkan muatan. Salah seorang dari kenek langsung bertanya kepada saya “Kupang?” dan saya menjawab “Niki-Niki” dan ia mempersilahkan saya untuk naik. Saya naik bus yang masih kosong sama sekali tersebut. Tampaknya, bus tersebut memang sedang menunggu penumpang. Wah, saya sudah sedikit panik apabila harus membuang banyak waktu di dalam bus sambil menunggu penumpang lainnya. Tempat tujuan saya tidak dapat menunggu.
Sebenarnya ada dua cara yang dapat anda gunakan untuk naik kendaraan dari Kefa menuju Kupang atau daerah di sepanjang Jalan Trans Timor. Anda bisa saja menunggu kendaraan seperti yang saya lakukan ini. Bus memang tidak berjalan setiap jam namun anda pasti mendapatkan bus walaupun harus menunggu cukup lama. Lokasi menunggu bus yang akan berjalan ke arah barat bukan di terminal Kefa namun lebih ke selatan, tepat di depan tempat billyar. Cara kedua, adalah cara yang untung-untungan. Mengapa untung-untungan? Anda bisa saja memberhentikan bus dari Atambua yang pasti melintas di jalan raya ini. Masalahnya, saya seperti Kefa, bus dari Atambua tidak berjalan setiap jam sehingga anda bisa saja bertemu dengan bus yang kebetulan melintas sehingga anda bisa langsung naik dan bergerak ke arah barat. Sialnya, bisa saja selama anda menunggu, anda tidak dilewati satu bus pun dari Atambua sementara bus Kefa – Kupang sudah berjalan. Bus paling malam berjalan dari Atambua pada pukul 7 malam. Dengan lama perjalanan 8 jam, bus tersebut akan tiba di Kupang pada pukul 3 pagi esok harinya. Dengan lama perjalanan 2 jam, bus tersebut akan tiba di Kefa pada pukul 9 malam. Apabila cara ini terlalu beresiko, sebaiknya anda sabar menunggu di dalam bus-bus yang diparkir yang hendak bergerak ke arah barat.
Ya, saya memang menunggu cukup lama di dalam bus ini. Sambil menunggu barang-barang dinaikkan ke puncak bus, saya duduk mengamati kondisi sekitar sambil perlahan-lahan satu dua penumpang naik dan duduk di dalam bus. Sambil mengamati para kenek tersebut bersenda gurau dan menaikkan barang (cukup lama), saya mendapat rekan perjalanan. Adalah seorang ibu yang tinggal di dekat Lopo Raja Bana yang orang tuanya berasal dari Manado dan Ambon kemudian tinggal di Kefa Menanu di masa tuanya. Ada juga seorang bapak yang berwajah bijak yang berasal dari Atambua ingin menuju So’E. Kami bertiga pun terlibat dalam obrolan mulai dari tujuan perjalanan masing-masing, profesi, sejarah hidup, tentang Timor, Nusa Tenggara Timur, kehidupan masyarakat dan perpolitikan serta tenun ikat Insana. Untung ada bapak dan ibu tersebut sehingga saya tidak harus membunuh banyak waktu.
Kurang lebih satu jam menunggu, bus pun bergerak. Bus tersebut sudah penuh dengan sejumlah orang dari berbagai ragam profesi. Ada yang bawaan tangannya kosong, ada pula yang membawa banyak sekali karung-karung berisi entah mungkin pakaian. Seakan tidak mau rugi, sebelum benar-benar beranjak, bus pun menunggu satu orang ibu dengan dua anaknya sebelum benar-benar berangkat. Selamat Tinggal Kefa Menanu.

0 komentar:

Post a Comment