Saya tiba di Kefa Menanu tepat pada tengah hari. Menenteng kantong muntah, perut keroncongan karena isinya terbuang semua, dan kepanasan serta keberatan membawa barang. Dalam suasana yang menyedihkan itu, saya segera mencari hotel, minum air segar dan duduk beritirahat sambil merenung, “Ya ampun, saya sudah berada 197 kilometer dari Kupang”. Saya sudah melangkah terlalu jauh. Memikirkan perjalanan kembali saja sudah membuat perut saya bergejolak kembali. Terlalu kejam untuk dipikirkan kembali. Maka, saya mengenyahkan perasaan tersebut dan fokus pada kota ini. Tidak mungkin saya sia-siakan kesempatan 197 KM dari Kota Kupang dengan duduk duduk saja di hotel dan merenung. Sadar sudah waktunya perut diisi dan waktu yang mendesak, memaksa saya untuk melangkahkan kaki keluar dari hotel yang adem dan nyaman untuk mencari makan.
Kesimpulan pertama yang saya dapat dalam mencari makan di Kefa Menanu : susah. Saya berjalan dari Jalan Sonbay ke Jalan El Lake. Nihil. Saya tidak menemukan adanya tanda-tanda keberadaan rumah makan atau apapun untuk membantu saya mengatasi keroncong di perut saya. Ada segerombolan anak muda penarik ojek yang sedang mangkal memanggil-manggil saya dari kejauhan dengan panggilan “Mister..mister...take a photo, mister...”. Saya pun mendekat dan memfoto mereka. Dengan senang hati mereka berpose untuk diabadikan. Begitu sampai, saya ajak bicara dalam bahasa Indonesia, dan mereka pun tidak mampu menyembunyikan kekagetan di muka mereka. Namun setelah itu, suasana kembali menjadi cair karena saya bisa berbicara dengan santai kepada mereka. Setelah perbincangan tersebut, saya permisi untuk melanjutkan perjalanan. Satu diantara mereka pun memberikan nomor handphone-nya untuk saya. “Kalau bapak butuh ojek selama di Kefa, hubungi saya”, begitu pesannya kepada saya.
Saya pun menyimpan nomornya dan tidak yakin akan menggunakan nomor tersebut karena saya ingin berjalan, berjalan dan berjalan.
Di ujung Jalan El Lake, di perempatan Jalan El Tari, akhirnya saya menemukan apa yang saya cari. Sebuah warung bakso sederhana. Perut saya yang sudah tidak bisa diajak berkompromi namun belum siap untuk menerima makanan berat, tampaknya cocok jika disiram bakso, mi dan kuahnya. Saya pun memesan menu standar, semangkuk bakso (sekitar 5 buah dengan satu yang besar karena mengandung telur utuh) dan mie berwarna kuning. Dalam pikiran saya, bakso cocok sekali ditemani dengan minuman ringan teh yang manis. Namun, sayangnya, warung ini tidak menyediakan minuman ringan namun dapat membuatkan teh manis dalam gelas. Okelah, tidak jadi soal. Perlahan demi perlahan saya memasukkan bakso itu ke dalam perut saya. Bukan karena rasa baksonya yang tidak enak, namun karena perut saya yang baru saja berkontraksi belum siap menerima makanan.
Dengan pelan-pelan sambil menunggu matahari condong ke barat, saya menghabiskan bakso. Yang membuat saya terkesima adalah bakso besar yang berisi telur rebus utuh di mangkok saya. Ini makin menguatkan pendapat saya bahwa orang Timor suka sekali dengan telur rebus yang utuh. Sembari menikmati sisa-sisa bakso saya, saya mengobrol dengan ibu pemilik warung. Ibu yang bertubuh subur ini sempat berbicara dengan Bahasa Jawa Banyumasan kepada saudaranya yang sedang mengasuh anak. Tertarik untuk mengikuti lebih lanjut, saya pun bertanya kepada ibu tersebut. Ternyata, ibu tersebut berasal dari Bumi Ayu, Jawa Tengah. Ini menjawab tentang bahasa Jawa yang ia gunakan yang agak sedikit “Banyumasan”. Beliau menceritakan kepada saya bahwa rejeki bisa didapat dimana saja, belum tentu di tanah asal. Buktinya, ibu ini mampu merajut hidup di tanah orang, di Timor Tengah Utara, di Kefa Menanu. Sangat jauh sekali dari tanah kelahirannya di Bumi Ayu. Ongkos pulang ke kampung halamannya juga sangat tinggi, jadi tidak mungkin ibu ini bisa pulang setiap tahun di saat lebaran. Ibu ini pun bercerita tentang Jalan Lintas Timor yang memang yahud. Ia mengatakan, jalanan di Jawa tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Jalan Lintas Timor ini. Untuk ibu yang sudah cukup lama tinggal di Kefa Menanu, ternyata melewati Jalan Lintas Timor pun merupakan suatu momok tersendiri. Beliau harus selalu bersiap-siap dengan minyak angin dan kantong plastik. Saya pun tidak mau ketinggalan, bercerita tentang pengalaman yang baru saja saya lalui dan maksud dari perjalanan saya.
Tidak lama,selain karena pembicaraan sudah selesai dan matahari sudah sedikit condong sehingga panasnya sudah berkurang, saya pun bergegas membayar makanan saya. Untuk satu porsi bakso dan segelas teh manis dingin, saya harus membayar Rp. 10.000. Lokasi warung bakso ini ada di dekat pos polisi Kefa Menanu, tepat di jalan masuk El Lake dari perempatan El Tari.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment