Di Jalan Achmad Yani (Yah, hampir setiap kota maupun desa di Indonesia memiliki nama jalan ini, yach?) di Kefa Menanu (tepatnya di jalan yang paralel dengan Jalan EL Tari, arah Atambua) terdapat sebuah gereja besar Katolik. Sekali lagi, karena Kefa Menanu adalah kota di Timor Barat dengan penyebaran agama Katolik terbesar, maka kehadiran gereja sudah tentu bukan barang asing lagi. Bisa-bisa, belum jauh anda berjalan, anda sudah bertemu dengan gereja lagi. Alkisah, Ketika Portugis meninggalkan Larantuka, mereka tiba di Oecussi/Ambeno. Enclave tersebutlah yang menjadi bagian dari wilayah Timor Leste saat ini. Dari Oecussi yang berbatasan langsung dengan wilayah Timor Tengah Utara saat ini, mereka melintas, bergerak menuju arah timur menuju tempat yang dahulu dikenal sebagai Timor Timur (Sekarang namanya Negara Timor Leste) . Dalam perjalanan, mereka pun turut menyebarkan agama Katolik di sepanjang daerah yang dilalui (sambil tentunya memperebutkan Sandalwood atau Cendana). Kota yang terkena pengaruhnya adalah Kefa Menanu, sebagai basis Katolik terbesar di Timor Barat saat ini dan Atambua yang juga kental pengaruh Katoliknya. Ketika Belanda dengan Kristen Protestan-nya datang, mereka berdua memperebutkan pulau ini. Maka, jadilah bagian timur milik Portugis dan bagian barat dikuasai oleh Belanda. Agama mayoritas yang dibawa oleh kaum penjajah tersebut turut mempengaruhi peri kehidupan masyarakat Timor Barat dan Timor Timur hingga saat ini.
Kembali ke Jalan Achmad Yani, disini terdapat sebuah gereja besar untuk jemaat Naesleu. Gereja ini bernama Gereja Santo Yohanes Pemandi. Uniknya, gereja yang dimaksud berjumlah dua buah, berdiri berdempetan. Yang satu gereja lama (ditilik dari bentuk fisik bangunannya) dan satu lagi adalah gereja baru. Apabila anda keluar dari Jalan Sonbay menuju Jalan El Lake menyebrangi Jalan Achmad Yani, anda akan melihat sebuah gudang berwarna kuning pucat kusam di sebelah kiri anda di seberang jalan. Itulah gereja lama Naesleu yang bentuk fisiknya memang menyerupai gudang. Hiasan batu warna-warni di sepanjang dinding dan ventilasi yang tersusun atas batu, semakin memperkuat kesan kuno pada bangunan ini. Padahal, bangunan ini dibangun pada tanggal 13 Agustus 1992, hampir 20 tahun lalu dan diberkati oleh Yang Mulia Uskup Atambua, Mgr. Anton Pain Ratu SVD pada tanggal 31 Juli 1994. Saat ini, bangunan yang masih tegap berdiri tersebut sudah tidak dipergunakan lagi walaupun sisa-sisa perlengkapan gereja masih tampak di sekelilingnya. Pintu yang terbuat dari susunan kayu tersebut memang tampak sedikit membuat goyah mental yang ingin mendekat. (Kesannya : Seram!) Kesan gudang tampak begitu kuat dari bentuk fisik bangunan. Untungnya, bangunan ini memiliki kerangka salib di pucuknya sehingga identitasnya sebagai gereja tidak tersamarkan. Sisa corong speaker masih tampak tergantung di atas pintu kayu besar tersebut.
Memasuki gedung tersebut (saya nggak begitu yakin apakah ruangan ini boleh dimasuki atau ngga) saya mendapati beberapa pernak-pernik yang tampaknya masih baru ditata di dalam ruangan tersebut. Potongan kertas krep, kertas mengkilat warna-warni digantung dan sebagian tersusun di dinding dekat wilayah altar. Ada beberapa potong kain yang dibentangkan namun masih dalam kondisi baik di bagian belakang ruangan. Patung Yesus dan Bunda Maria pun tidak tertinggal berdiri di kiri dan kanan sudut ruangan. Yang menarik, bagian dalam ruangan tersebut tampaknya terbuat sama sekali dari susunan batu cadas besar berwarna kecoklatan dengan perekat antar batu sesuatu yang berwarna putih. Sangat mengingatkan saya akan motif kulit jerapah. Lalu, yang tersisa lainnya di ruangan tersebut adalah sekumpulan kursi-kursi plastik yang lusuh (beberapa diantaranya sudah patah dan lapuk) tersebar di tengah ruangan dan pinggir. Mungkin bekas menyelenggarakan pesta natal dan tahun baru? (Soalnya ada tulisan Perayaan Natal dan Tahun Baru sich) Selain kursi tersebut, masih ada sejumlah kursi panjang misa yang terbuat dari besi dan sudah reyot. Ruangan ini sebenarnya tidak membutuhkan sama sekali bantuan dekorasi. Motif di dinding yang menyerupai kulit jerapah dan ventilasi pada dinding sisi tepi yang berasal dari susunan kerangka besi sudah cukup membuat unik. Tambahan lagi, lubang ventilasi di bagian atas ternyata ditutup dengan kaca berwarna biru dan kuning. Mungkin sejenis kaca patri warna pada jaman sekarang. Pada jaman dahulu, tampaknya sepotong kaca dibenamkan dalam bangunan masif sehingga memberi efek warna ketika disinari cahaya matahari. Kesannya tua banget pas saya lihat kaca itu.
Tidak yakin juga boleh berlama-lama di dalam gereja yang sudah tidak dipergunakan ini, saya beranjak keluar. Di luar gereja lama ini, saya bahkan menemukan sebuah tiang lonceng gereja yang sudah tidak berlonceng. Seluruh bagian dari tiang lonceng tersebut berkarat dan menyembunyikan cat aslinya yang berwarna putih. Menyebrang jalan kecil yang masih dalam kompleks gereja, saya mencapai gereja Naesleu baru. Secara fisik, tampak sangat jelas terlihat bahwa bangunan gereja ini adalah bangunan baru. Gereja ini diberkati pada tanggal 26 Juni 2007 oleh Uskup Atambua (terdapat pada ukiran batu pualam tidak beraturan yang ada di depan gereja). Patung Santo Yohanes Pemandi tidak lupa disertakan di tengah gereja ini. Anda dapat melihatnya di balkon tengah. Sayangnya, pada saat hari kunjungan itu, gereja ini tampaknya sedang tutup. Alhasil, saya tidak dapat masuk dan melihat-lihat isi gereja ini. Berkeliling ke samping, gereja ini memiliki banyak sekali pintu, jendela dan hiasan kaca patri warna yang menggambarkan orang-orang suci. Sayang, saya tidak tiba di Kefa Menanu pada hari minggu. Berhubung di daerah, konon katanya banyak penduduk lokal yang datang ke misa di gereja dengan pakaian rapih dan bertenun ikat. Apalagi Timor Tengah Utara memiliki kain tenun yang indah dari beberapa wilayahnya. Apabila di pedalaman, tingkat penggunaan kain tenunan ikat makin tinggi lagi, begitu kata rekan saya.
Dari gereja Naesleu ini, sejauh mata memandang di kejauhan Jalan Achmad Yani, yang tampak hanyalah bukit dan hijau-hijauan. Jalan ke arah selatan adalah yang menuju Atambua dan jalan yang menuju utara adalah yang menuju Nunpene. Kembali ke keramaian (walaupun suasana siang itu sama sekali tidak ramai), saya menjumpai sekolah SMA Yayasan Katolik masih dalam satu kawasan kompleks yang sama dan PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) di seberang jalan. Beruntung bagi saya, beberapa anggota PMKRI sedang berbincang-bincang di tempat itu. Sembari meminta ijin untuk berfoto, saya memperkenalkan diri dan mengajak mereka mengobrol. Mereka banyak bercerita tentang kisah Kefa Menanu dan sejarah kota ini beserta Timor Tengah Utara. Ketika ditanya tentang objek wisata, sebagian dari mereka menggeleng-geleng dan mengatakan tidak ada objek wisata di Kefa. Saya yang sudah hampir kecewa mendengar jawaban mereka tiba-tiba bersemangat lagi ketika obrolan berlanjut ke Lopo. Salah seorang dari mereka mengatakan ada sebuah Lopo di Kefa Menanu yang masih ditinggali hingga saat ini dan bisa dijadikan lokasi wisata bagi turis. Penjelasan dari pemilik Lopo tersebut akan sangat detail dan informatif untuk turis yang berminat. Lopo Raja Bana, begitu mereka menyebutnya. Saya pun berterima kasih dan melanjutkan kembali perjalanan saya menuju pusat Kota Kefa.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
bener kata lo, kota manapun ada nama Jalan a yani.banjarmasin menuju martapura aja namanya jalan a yani.
ReplyDeletebaru tau gw kefe menanu sbg basis katolik terbesar di Timor barat.thanks for the info.
hehehe...itu lumrah banget. Setiap Kota pasti ada dech yg namanya Jalan dengan nama pahlawan. Tapi, kayaknya akan lebih menarik kalau pahlawan yang digunakan adalah pahlawan lokal di daerah tersebut dech. Iya ngga? :D
ReplyDeletegue juga baru tahu koq pas berkunjung ke Kefa. nice to sharing :)
Mantap-mantap. Thanks uda posting tentang sikon kota saya. thanks bangat brad___
ReplyDeleteSaya sangat memohon bantuan dari anda. Saya Riris Hernawaty Marpaung, tinggal di Kota Medan. Saya dan tunangan saya (Stenhard Deninger Matulesy) sudah lama mencari Imanuel Deninger Matulesy, kakak kandung dari tunangan saya dan Desy Matulesy serta suaminya dokter Yohanes Walui. Informasi terakhir yang didapat dari tetangga di Pulau Wetar kalau adik perempuanya bernama Desi Matulesi beserta suami dan anaknya juga telah meninggal tertabrak di Timor Leste. Desi Deninger Matulesy dan keluarga sebagai misionaris di Timor Leste. Mereka sempat tinggal di daerah Okslave. Namun kami tidak tahu pasti alamt merka di daerah Okslave. Sudah sekitar 4tahun lebih tunangan saya tidak pulang ke Pulau Wetar,Ambon. Jum,at 22 Juni 2012, tunangan saya pulang ke Pulau Wetar dengan harapan akan bertemu dengan kedua orang tuanya. Namun ketika sampai di kampung halamnnya di Pulau Wetar, tidak ada yang menyangka kalau orang tua yang ingin dia temui oleh tunangan saya sudah meninggal setahun yang lalu. Impian mengobrol dengan orang tuanya tidak mungkin lagi, karna hanya tinggal kubur kedua orang tuanya yang ada di dekat rumah mereka. Tetangga di kampung mengatakan bahwa tahun lalu sekitar bulan Juni, setelah mamanya meninggal, Kak Imanuel datang ke Pulau Wetar untuk mengunjungi orang tuanya karna memiliki firasat tidak enak. Dan ketika Kak Imanuel datang, dia hanya menemui orang tuanya telah meninggal dan terkubur dengan damai. Saat ini tunangan saya Stenhard Deninger Matulesy sedang berada dikampung halamnya di Pulau Wetar hingga sampai Agustus untuk mencari tahu kebenaran adiknya yang meninggal tertabrak di Timor Leste, mencoba mencari alamat baru Kak Imanuel kepada tetangga dan orang-orang disekitar, namun tidak ada yang tahu. Semua berkas-berkas yang disimpan oleh orang tuanya dan semua photo album yang ada di rumah mereka telah bersih dibawa Kak Imauel begitu kak Imanuel memutuskan kembali ke Moscow untuk tinggal menetap disana bersama istri dan anak-anaknya, demikian info yang di dapat dari tetangga sekitar rumah mereka. Kak Imauel merasa tidak mempunyai sanak-saudara lagi di Indonesia karna kabar terakhir yang didengar dari tetangga kalau Stenhard Deninger Matulesy (adik kandungnya) dikabarkan (gosip) telah tewas terbunuh di sungai Kapuas sekitar rahun 2011. Namun pada kenyataanya kak Stenhard Matulesi masih hidup. Informasi dari yang menjaga ladang orang tua Kak Stendhard kalau mama kak Stenhard meninggal sakit karena mendengar kabar kematian Kak Stendh yang tewas tenggelam di sungai Kapuas. Saya mohon sudi kiranya membantu saya untuk mencari informasi mengenai Desi Deninger Matulesy dan suaminya dokter Yohanes Walui yang kabar terakhirnya tinggal di Okslave. Saya sangat memohon bantuan dari teman-teman semuanya, agar Kak Stendhard Deninger Matulesy dan Desi Matulesi bisa bertemu.. Trimakasih buat dukungan teman-teman, mudah-mudahan Desi tidak mati tertabrak di Timor Leste. Mohon bantuannya ya.. God bless
ReplyDeletesenang sekali ada jga artikel tentang Gereja Kami, Gereja Santo Yohanes Pemandi Naesleu, Gereja ini memiliki pelindung Gereja yaitu Santo Arnoldus Jannsen yang perayaan ulang tahun Gereja ini akan dilaksanakan pada tanggal 15 Januari 2013 ini, dalam perayaan ini rencananya akan dihadiri oleh Uskup Agung Atambua.sekaligus akan diresmikan Gua yang didirikan tepat di samping Gereja Lama, antara Gereja Baru dan Gereja Lama yang sekarang telah dijadikan aula.Makasih
ReplyDeleteOberigadooo :D
ReplyDeletewah, kangen saya dengan Kefa. Beta mau pigi kesana lagi, doakan semoga ada rejeki sehingga bisa mampir ke Kefa dan menulis lebih banyak lagi yaaaa... hehehe...
suka dengan Kefa, kota yang cantik dan bersahaja :D