Keramaian Pasar Niki-Niki Di Hari Rabu

Entah mengapa saya beruntung sekali tiba di Niki-Niki tepat pada hari rabu. (Yayyyy!!!) Padahal, saya tidak merencakan perjalanan ini akan berakhir di Niki-Niki pada hari rabu. Syukur, saya bisa tiba di desa ini pada hari ini sehingga saya mendapatkan alternatif lain untuk hal yang bisa dilihat.
Desa-desa di Timor terkenal dengan pasar mingguannya. Beda desa beda pula waktu penyelenggaraan pasarnya. Apabila anda beruntung dan mampu mengatur rencana perjalanan dengan baik, mungkin saja anda bisa sampai di berbagai desa ketika desa tersebut mengadakan pasar. (Desa A menggelar pasar pada hari senin, Desa B menggelar pasar pada hari selasa, dan desa C di hari rabunya, dst) Untuk di Niki-Niki, pasar digelar pada hari rabu. Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, saya pernah menjejakkan kaki saya di Niki-Niki pada hari selasa. Kondisi yang sangat berbeda saya temui pada kedua hari tersebut. Ketika hari selasa, Niki-Niki sangat sunyi dan jarang terlihat adanya manusia melintas kecuali pelintas Jalan Trans Timor. Pada hari rabu, keramaian sudah terlihat dimana-mana. Banyak penduduk duduk dan bergerombol di tepi jalan, baik beristirahat maupun melakukan berbagai kegiatan. Dari kejauhan, keramaian penduduk sudah terlihat jelas, apalagi di pasarnya.
Pasar Niki-Niki terletak sekitar 300 meter arah barat dari Rumah Makan Singgalang. Pasar ini terletak tepat di tepi Jalan Trans Timor, tepat di seberang lapangan besar Niki-Niki. Keramaian warga tidak hanya berpusat di sekitar pasar saja namun panjang hingga seluruh wilayah jalan tampak ramai. Apabila anda bergerak dari Rumah Makan Singgalang, berjalanlah terus ke arah barat, hingga anda menjumpai Kantor Pos Niki-Niki. Dari kantor pos ini, Pasar Niki-Niki sudah tidak terlalu jauh lagi. Pasar ini dan Desa Niki-Niki dapat dikelilingi dengan mudah dengan berjalan kaki. Yang jelas, siapkan kaki anda disini...hehehe...
Uniknya dari pasar ini adalah anda bisa melihat hampir semua warga, kecuali sebagian besar warga yang muda-muda, mengenakan pakaian adat semi lengkap dan lengkap. Wanita berpakaian sarung ikat lapis tiga dengan bundelan besar di depan perutnya (bulatan kain sarung ikat yang dibundel) dan tak lupa kepalanya ditutup dengan kain ikat. Para pria-nya lebih unik lagi, selain mengenakan kain sarung ikat (bukan celana loh yah), mereka mengenakan sebuah tas kecil yang dianyam dan diberi hiasan manik-manik dan digantung di leher mereka. Unik sekali. Sayangnya, saya nggak dapat fotonya. Hiks. Apabila Orang Skotlandia bangga dengan Kilt mereka, maka warga Timor harus bangga dengan tenun ikat mereka yang unik. Ada pun modernitas sudah merasuk ke dalam peri kehidupan warga sehingga beberapa pria ada yang mengenakan kaus biasa sementara bawahnya masih ditutupi oleh sarung ikat. Beberapa warga lainnya tampak mengenakan batik dibanding tenun ikat. Tampaknya batik tersebut adalah batik produksi pabrik yang banyak bisa ditemui di pasar-pasar tradisional di Timor seperti contohnya Pasar Oeba di Kupang. Untuk warga muda, kebanyakan malah sudah mengenakan celana jeans, baggy dan bermuda yang lebih terlihat modern.
Selain melihat warga Niki-Niki dan sekitar yang unik dalam hal pakaian adat, sempatkanlah untuk masuk ke dalam pasar yang bagian atasnya ditutupi dengan terpal-terpal berwarna oranye dan biru itu. Walaupun panas, tapi masuk ke dalamnya adalah satu pengalaman menarik. Saya sendiri tampak asing dan dipandangi oleh warga setempat. Hihi...serasa jadi bintang film dech. Ketika saya berhenti di depan sebuah lapak, bapak tersebut tersenyum kepada saya, memamerkan deretan gigi putih yang dimilikinya. Bapak tersebut menjual produk yang agak asing di mata saya, tumpukan benda yang seperti lembaran lintingan daun kering dan buah sebesar ibu jari berwarna hijau serta plastik-plastik kecil dengan isi serbuk putih. Saya menyempatkan diri untuk bertanya, benda apakah tersebut. Bapak tersebut menjelaskan, tumpukan lembaran lintingan daun kering tersebut adalah tembakau. Rupanya itu adalah wujud dari tembakau kering yang sudah dibentuk menjadi lembaran dan bisa digulung hingga menjadi rokok linting atau dihisap dengan pipa. Buah berwarna hijau yang sekilas seperti melinjo besar tersebut adalah pinang. Tampaknya, kebudayaan mengunyah sirih pinang memang khas sekali bisa ditemukan di desa-desa seluruh Indonesia. Selain memabukkan dan punya efek menghangatkan, sirih pinang ini bisa digunakan sebagai pengganti rokok dan bisa memutihkan gigi (menurut penelitian medis). Serbuk putih di dalam kantung kecil-kecil tersebut adalah kapur. Teman makan sirih pinang haruslah kapur. Saya sendiri tidak nekad untuk mencobanya sebab konon rasanya pahit dan membuat ludah berwarna merah. Saya tidak terlalu tertarik untuk mencobanya. Mungkin kapan-kapan kali yach. Hehehe....Saya masih harus naik kendaraan lagi sehabis ini. Ngeri mabuk ajah.
Selain menjual hasil tradisional seperti sirih, pinang dan tembakau, pasar ini juga menyediakan berbagai jenis hasil laut kering seperti ikan asin, ikan kering, teri dan udang, kemuduan ada juga daging dan ayam, lalu sayur-sayuran dan buah hingga produk yang tiak ada hubungannya sama sekali dengan makanan seperti misalnya gunting kuku, pembersih telinga, hingga bingkai foto dan jam dinding. Ya, produk pabrikan dan plastik tampaknya sudah merasuk ke dalam pasar ini. Ketika saya datang dan berkeliling ke dalam pasar, waktu menunjukkan pukul satu siang. Segerombolan ibu-ibu sudah beranjak pergi dengan iringan seperti barisan menyusuri Jalan Trans Timor di sebelah pinggir. Pasar ini sejatinya buka pagi hari dan tutup pada siang hari. Namun, lagi-lagi beruntungnya saya, saya masih bisa melihat pasar ini dengan keramaian di dalamnya. Walaupun sudah banyak lapak yang kosong dan banyak ibu-ibu yang sudah beranjak untuk pulang sambil membawa barang belanjaan mereka di tangan atau pun di atas kepala, pasar ini masih tetap ramai. Angkutan umum dan bus tidak henti-hentinya berhenti di depan pasar dan memanggil calon penumpang dengan jurusan mereka. Angkutan pengangkut barang tidak ada hentinya juga menaikkan dan menurunkan barang bawaannya. Sayang, suasana siang itu cukup panas terik sehingga saya tidak bisa berlama-lama memanggang diri di bawah terik matahari.
Di sekitar lapangan pasar Niki-Niki itu sendiri, suasana memang cukup ramai. Selain pasar, ada sejumlah toko yang berada di luar pasar namun menjual kebutuhan rumah tangga seperti panci, wajan, ember, tempayan, baskom, jerigen, dan keranjang anyaman yang biasa digunakan oleh ibu-ibu di Niki-Niki untuk berbelanja dan mengangkut barang belanjaan mereka. Di depan pasar di seberang pintu masuk, ada tempat billyar yang berisi sekumpulan anak muda dan bapak-bapak sedang berlatih. Ketika saya ingin berteduh di depan rumah billyar tersebut, saya bahkan sempat ditawari untuk ikut bermain. Saya membalas tawaran tersebut dengan senyum termanis milik saya dan menggeleng perlahan. Agak jauh dari pasar, tepat di depan Rumah Makan Singgalang dan di seberangnya, terdapat kios penjual apel So’E (karena dahulu apel So’E pernah berjaya dan terkenal). Apel So’E berukuran kecil dan berwarna hijau mayoritas dengan semburat merah di ujungnya. Saya tidak sempat mencoba apel ini sama sekali dan tidak membelinya karena akan memberatkan beban perjalanan saya. (Lumayan bo', kalau barang bawaan nambah sekian kilo) Niki-Niki justru lebih terkenal dalam hal menjual apel So’E dibanding Kota So’E sendiri dimana saya tidak ditemukan adanya apel satu pun di kota ini. Saya pernah dengar bahwa sekitar belasan tahun lalu, apel So’E sangat terkenal dan menjadi primadona di Timor Tengah Selatan serta menjadi komoditi ekspor. Sayangnya, karena ada serangan hama beberapa tahun silam, apel ini mati total dan tidak tersisa sedikit pun bibit untuk dikembangkan. Hingga kini, perkebunan apel So’E masih tertaih-tatih menunggu usaha penyelamatan lainnya dari pemerintah kota dan kabupaten. Lokasi Pasar Niki-Niki di sebelah barat diakhiri dengan Kapolres Timor Tengah Selatan, Kapolsek Amanuban Tengah. Selepas bangunan polisi ini, keramaian sudah jauh berkurang. Jalan Raya Timor yang lebar membentang sepi hingga menuju So’E.

7 komentar:

  1. Wah, makasih sekali, mas... sauh menulis banyak tentang kampungku... maksih... makish...

    salam kenal...
    http://www.facebook.com/note.php?created&&suggest&note_id=140169192044#/note.php?note_id=140169192044&id=100000135398916&ref=share

    ReplyDelete
  2. Sama-sama....
    Salam kenal juga untuk Herman Yoseph....:)

    masih suka pulang ke Tanah Timor?

    ReplyDelete
  3. Mas, makasih utk artikelnya. Saya asli org Niki-Niki dan saya senang skali bisa liat foto2 ttg kampung saya di internet...

    ReplyDelete
  4. Hai Mr/Mrs. Anonim. Terima kasih kembali. Senang sekali blog saya ini bisa dikunjungi oleh orang asli Niki-Niki. Tetap kontak dan info-info kalau ada berita tentang Niki-Niki yach :D

    ReplyDelete
  5. saya baru 2 minggu di kupang, ada di jl tuak daun merah Oebofu dan msh bingung dmn cari pasar terdekat :(

    kira2 dmn yah pasar tradisinal terdkat dari sini??

    mksh :)

    ReplyDelete
  6. Kupang? pasar sih ada banyak, salah satunya mungkin Pasar Oeba yang ada di arah timur kota. Pasar ini berbatasan dengan Laut Timor dan di tepinya ada Pura Oebananta :D

    Kalau Niki-Niki sih sudah jauh sekali, 5 jam perjalanan darat dari Kota Kupang.

    ReplyDelete
  7. gak ke tamkesi mas ? :) salah satu sisa kerajaan yang masih bertahan di timor selain boti.. dekat kefa.. sekitar 2 jam.. nice banget , saya dan tim kebetulan baru penelitian disana agustus kemarin.. hehe..

    ReplyDelete