Belanja Tenun Ikat Apa Saja Di Timor Agung, Kupang

Pergi ke Kupang jauh-jauh, tidak afdol apabila tidak membawa buah tangan sama sekali. Pastinya, anda akan dipalak oleh orang rumah atau kolega anda di kantor
“Mengapa tidak membawa oleh-oleh ketika ke Kupang?”
“Pelit banget sich, jalan-jalan nggak bawa oleh-oleh”
“Mana nich oleh-oleh Kupang?”
Selain memberi citra buruk bagi anda (Ya, anda beresiko tinggi dipergunjingkan dan diteror setiap saat...fuhuhu...), ini tidak akan membuat mereka merekam dengan baik, apa sich, hal yang khas dari Kupang. Kalau anda cinta Timor, anda harus memberikan kesan baik bagi teman-teman anda. Ya ngga? Buatlah agar mereka mampu mengenang Timor dari buah tangan yang anda berikan. Sekalian bantu-bantu para pengrajin lokal, gitu! Oleh karena itu, anda harus sediakan budget cukup besar untuk oleh-oleh dari Kupang. Bukan semata karena oleh-oleh dari Kupang harganya cukup tinggi, namun kualitas produk yang ditawarkan memang sebanding dengan harganya. Bagi saya sendiri, anggaran untuk oleh-oleh mencapai sepertiga dari total anggaran saya. Serupa dengan biaya hotel!
Seperti layaknya kota-kota di Indonesia, oleh-oleh yang dapat anda bawa pulang terbagi menjadi dua jenis kategori besar: Makanan dan kerajinan tangan. Kerajinan tangan merupakan salah satu keunggulan orang Timor dan NTT. Mereka telah berkarya beratus-ratus tahun lamanya menghasilkan produk ukiran maupun tenunan yang berkualitas hingga hari ini. Tidak sukar untuk menemukan toko yang menjual kerajinan tangan khas NTT dan Timor di Kupang. Toko sejenis tersebar di beberapa penjuru kota. Namun, hal ini berbeda sangat jauh ketika saya mencari oleh-oleh makanan. Perjalanan saya mengelilingi kota mencari oleh-oleh makanan tidak membuahkan hasil. Barulah setelah bertanya sana-sini, saya mendapatkan sebuah toko yang khusus menjual produk makanan khas NTT. Yuk, saya ajak anda menelusuri satu-satu toko buah tangan di Kupang.
Sepanjang perjalanan saya menelurusi Kota Kupang, saya menemukan ada tiga toko souvenir dan cenderamata khas Timor dan NTT. Produk yang dijual yakni tenun ikat Timor dalam berbagai bentuk, Sasando, Ti’ilangga, dan ukiran kayu cendana dalam berbagai bentuk.
Art Shop Timor Agung, terletak di Jalan Sumba 32, adalah toko souvenir khas NTT yang sudah berdiri cukup lama. Toko yang bersatu dengan CV. Dharmabakti (General Contractor) ini cukup mudah dikenali, terutama dengan hiasan tenunan motif kain khas NTT yang terpajang di atas bangunan ini. Di siang hari itu, saya berkunjung ke toko tersebut dan bertemu langsung dengan Dra. Helen Anggrek, pimpinan toko ini.
Secara umum, toko tersebut dipenuhi oleh berbagai hasil tenun ikat khas NTT dalam berbagai varian bentuk. Bentuk yang sangat umum ditemukan adalah kain selempang berukuran kecil hingga sedang yang dapat digunakan sebagai selendang. Kain ikat yang berukuran besar dapat digunakan sebagai pembalut tubuh atau bahan untuk membuat baju. Selain produk kain utuh, tenun ikat tersebut dikreasikan juga menjadi berbagai macam hasil yang cukup menarik, sebut saja sarung, dasi, dompet, rok, dan tas. Apabila anda berpikir tenunan ikat NTT hampir serupa, anda salah besar. Toko Timor Agung ini menjual berbagai jenis tenunan ikat dari berbagai penjuru daerah di NTT. Tenun Ruteng di barat hingga Alor di timur dapat anda temui disini. Tenun Timor dan Sumba yang sangat khas juga bisa ditemui. Motif-motif pada tenun ikat menentukan identitas daerah di NTT. Motif-motif ini nantinya akan mempengaruhi selera anda. Tenun ikat Timor misalnya, umumnya berwarna cerah dengan benang-benang yang berwarna ngejreng dan menyala seperti hijau, oranye, ungu dan kuning. Bagi anda yang lebih suka warna-warna kalem, anda bisa pilih tenunan ikat dari Rote dan Ende. Kedua jenis tenunan ini memiliki warna dasar hampir sama, yakni hitam atau putih. Apabila Rote memiliki warna dominan hanya hitam dan putih saja, maka Ende memiliki sedikit campuran warna terang seperti biru muda dan oranye. Tenunan Sumba pun memiliki karakteristik berbeda lagi dengan tenunan daerah lainnya. Walaupun berwarna senada dengan Rote dan Ende, namun Sumba banyak menonjolkan motif orang, pohon besar dan hewan sejenis kijang. Motif tenun Sumba mengingatkan saya akan kebudayaan megalitikum. Sedangkan Sawu, pilihan warna yang digunakan lebih kaya dan ngejreng namun tetap, mayoritas warna adalah warna tua.
Selain produk tenunan, toko ini juga menjual berbagai ukiran khas NTT seperti Rosario Cendana (kalung untuk berdoa bagi umat Katolik yang terbuat dari cendana), Kipas Cendana, dan ukiran dari kayu cendana yang umumnya menonjolkan bentuk wajah dan orang. Tak lupa juga, toko ini menyediakan Sasando dan Ti’ilangga yang khas berasal dari Rote. Sasando adalah alat musik khas Pulau Rote yang terbuat dari daun lontar dan menghasilkan melodi. Bentuknya mirip dengan panci ketika dibuka ( terdapat di uang kertas pecahan Rp. 5.000 tahun-tahun 1990-an). Ti’ilangga adalah sebuah topi anyaman daun lontar. Uniknya, topi ini memiliki sejenis antena di bagian depan yang juga terbuat dari anyaman daun lontar. Sasando dan Ti’ilangga tersedia dalam berbagai ukuran, mulai dari yang berukuran mini (biasanya disandingkan dengan gantungan kunci) dan membesar terus hingga yang berukuran normal dan bisa dikenakan serta dimainkan melodinya. Untuk yang ukuran sedang, Sasando umumnya tidak dapat dimainkan dan hanya sebagai hiasan saja. Untuk Ti’ilangga, berlaku pula hal yang sama.
Dra. Helen Anggrek yang pada siang hari tersebut menjaga tokonya, adalah seorang wanita yang bersahaja dan ramah. Beliau tidak segan-segan bercerita tentang asal-usul kain yang dipajang di tokonya. Beliau pun cukup pintar untuk memilihkan kreasi dan motif yang kiranya menarik untuk selera saya. Apabila tidak menemukan yang saya inginkan, beliau tidak segan-segan untuk mengeluarkan stock lainnya untuk diperlihatkan kepada saya. Kunjungan saya di toko tersebut, sangat menambah wawasan saya akan macam-macam motif tenun ikat dan proses penenunan serta pembuatan Sasando dan Ti’ilangga. Berhubung musim hujan, proses pembuatan produk kerajinan ini sedikit tersendat. Daun lontar yang dibutuhkan untuk membuat Sasando dan Ti’ilangga haruslah benar-benar kering. Hujan yang kerap turun di Bulan Januari menyulitkan proses pengeringan daun. Hal serupa terjadi dengan kain tenun ikat. Sesudah ditenun (kurang lebih 4 hari untuk kain tenun ukuran besar), kain harus benar-benar dijemur agar warnanya benar-benar kering dan tidak meluntur ke bahan pakaian lain. Permasalahan lain dalam pembuatan tenun adalah semakin sedikitnya orang-orang yang berminat untuk belajar menenun sehingga semakin lama sumber daya wanita yang menenun semakin habis. Dra. Helen sebenarnya memiliki sebuah sanggar seni tempat untuk membina wanita-wanita yang ingin belajar menenun. Pada musim hujan seperti di Bulan Januari, wanita penenun tersebut tidak bekerja dan beralih profesi sebagai penjaga toko. Ketika pendapatan sebagai penjaga toko lebih menjanjikan, wanita penenun tersebut tidak akan kembali untuk menenun kain lagi. Ironis, sebab kain yang menjadi identitas warga NTT ini semakin ditinggalkan.
Untuk kain tenun ikat, yang paling kecil berharga Rp. 15.000 dan harganya merangkak naik seiring dengan ukurannya. Ukuran yang paling besar, memiliki manik-manik dan motif timbul, bisa dijual hingga ratusan ribu rupiah. Sementara untuk Sasando dan Ti’ilangga, harganya Rp. 7.000 dari yang berbentuk gantungan kunci dan ratusan ribu rupiah untuk yang asli dan bisa digunakan. Untuk kipas, harga yang dibanderol adalah Rp. 20.000 hingga Rp. 30.000 tergantung ukuran. Dasi tenun ikat yang unik dihargai Rp. 40.000. Cara mencapai toko ini cukup mudah karena toko ini terletak di jalan raya utama, di pinggir Pantai Timor. Dari Jalan Sumatera, ketika ada percabangan tepat di samping kolam pemandian umum, pilihlah jalan yang menuju ke arah atas, bukan yang bercabang ke samping kiri. Jalan di atas itulah Jalan Sumba. Dari percabangan ini, toko Timor Agung akan segera muncul di sebelah kiri, tidak lama lagi.
Kunjungan saya siang itu tidak sia-sia. Dari niat untuk melihat-lihat kain tenun ikat, akhirnya saya memborong selusin kain tenun ikat beserta Sasando dan Ti’ilangga. Oh yah, persiapkan uang tunai karena Timor Agung tidak menyediakan mesin EDC apapun (walaupun ada lambang Master Card dan Visa, Toko Timor Agung menutup pembayaran metode ini beberapa tahun lalu karena jarang digunakan). Timor Agung, menurut Dra. Helen Anggrek juga menerima pesanan lewat telepon untuk dikirimkan ke daerah asal anda. Berminat dengan tenun ikat?

Beberapa alternatif untuk anda yang ingin membeli kerajinan tangan khas Timor selain Timor Agung yakni :
Toko Oleh-Oleh NTT di dekat terminal bemo Kota Kupang. Dari Jalan Soekarno, arah ke Teluk Kupang, beloklah ke arah kanan tepat sebelum terminal bemo (ada petunjuk arah). Setelah melewati sekumpulan toko ojek, anda akan sampai di toko yang dipenuhi dengan hiasan kain tenun ikat. Harga di tempat ini cukup bersaing dan variasinya lengkap.
Art Shop di Jalan Tom Pello (deretan Hotel Dewata). Dari Jalan urip Sumohardjo, masuklah terus ke Jalan Tom Pello. Selepas Hotel Dewata, jalan terus hingga melewati deretan ruko. Ada satu plang besar yang menginformasikan bahwa ada artshop di lokasi tersebut. Jangan ragu-ragu untuk masuk walaupun art shop tersebut justru dipenuhi oleh helm dan jaket serta jas hujan dan segala keperluan motor. Toko tersebut menjual kerajinan tangan khas NTT di dalam perangkat keperluan motor tersebut. Masuklah ke dalam dan tanyakan kepada mbak-mbak penjaga yang menjaga toko tersebut.

2 komentar:

  1. saya setuju jika oleh-oleh meang mmbutuhkan budget tersendiri yg besar juga :(

    moga bs beranfaat saja untuk kerabat yg kecipratan :p

    ReplyDelete
  2. hihihi...pastilah. Ngga usah jauh-jauh berkelana, tapi tetep kecipratan oleh-oleh. pilihannya bagus bagus pula :D

    ReplyDelete