Bus yang bergerak perlahan tersebut lambat laun meninggalkan Kefa Menanu. Namun belum secara resmi keluar dari kota, di bagian hampir ujung kota terdapat sebuah bundaran besar dengan sebuah gedung besar yang sedang giat dibangun menjadi Kantor Bupati Timor Tengah Utara yang baru (yang lama di Jalan Sudirman, mau diapakan yach?). Melewati gedung tersebut, pemandangan kota pun perlahan berubah. Semak-semak dan rerumputan serta bukit menjadi pemandangan yang mulai umum ditemui. Saya sudah masuk Jalan Trans-Timor dan bergerak menuju ke arah barat. Pulang.
Tujuan perjalanan saya selanjutnya adalah desa Niki-Niki yang terletak di Amanuban Tengah, Timor Tengah Selatan. Lama perjalanan kurang lebih 2 hingga 2.5 jam dengan jarak sekitar 56 KM. Jarak sejauh 56 KM ditempuh dalam kurun waktu 2 hingga 2.5 jam karena ruas Kefa Menanu – Niki-Niki adalah ruas terparah yang harus saya lalui selama melintasi Jalan Trans-Timor. Parahnya ruas ini bukan karena rusaknya jaringan jalan namun lebih kepada medan jalan yang meliuk-liuk, tikungan patah yang tajam dan curam, naikan dan turunan yang sangat ekstrem. Akibatnya, sudah jelas, akibat medan yang berlebihan tersebut, waktu yang digunakan untuk menempuh ruas jalan tersebut menjadi lebih panjang. Kadang kala, beberapa ruas jalan hanya memiliki satu aljur kendaraan saya untuk arah bolak balik dan ruas tersebut terdapat di belokan tajam yang sempit. Sungguh menegangkan. Di bawah saya adalah hutan dan bukit-bukit yang tinggi. Rimbunnya pepohonan menutupi sebagian besar wajah perbukitan dan gunung di wilayah Dataran Tinggi Timor Tengah Utara.
Untungnya, wilayah ini termasuk daerah yang cukup banyak memiliki penduduk yang tinggal di tengah hutan. Sambil melintas ruas ini, anda bisa melihat beberapa Sonaf dan Lopo yang didirikan tepat di samping jalan raya dan tertutup oleh pepohonan yang lebat. Beberapa diantara Lopo dan Sonaf tersebut ada yang masih mulus dan ada pula yang sudah agak rusak dan rusak. Karena banyaknya pemukiman yang tersebar di dalam hutan hingga ke tepi jalan raya, maka banyak juga warga yang memiliki mobilitas tinggi utnuk mengangkut hasil kebun atau pertanian mereka ke kota besar, terutama Kupang. Cukup sering bus berhenti di tepi jalan untuk mengangkut (biasanya) ibu yang berdiri sambil menjagai karung hasil bumi mereka. Sembari bus menunggu, saya bersyukur karena ada kesempatan bagi saya untuk bernafas sejenak dan tidak dikocok-kocok di bus dalam perjalanan menuju Niki-Niki. Apabila anda ingin buang air kecil, anda bahkan bisa mengajukan permintaan tersebut kepada sang supir. Bapak di sebelah saya meminta agar bus berhenti karena beliau ingin buang air kecil. Maka, berhentilah bus dan beberapa orang keluar untuk buang air kecil. Sekali lagi, saya merasa lega karena bus bisa berhenti dan saya bisa beritirahat sebentar. Kegiatan yang saya lakukan di dalam bus praktis tidak ada. Saya tidak dapat mengobrol banyak-banyak karena hal itu akan membuat saya semakin mual. Padahal ingin rasanya mengobrol banyak dengan ibu dan bapak tersebut. Namun, keterbatasan saya membuat saya tidak dapat berkutik. Pemandangan yang tersuguhkan selama kurang lebih dua jam berupa hutan, semak dan gunung bukit tidak urung membuat saya ngantuk juga. Sambil berusaha untuk tidur dan mengoleskan minyak kayu putih ke leher dan hidung, saya berharap bahwa dengan tidur, saya tidak akan mabok darat.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment