Tanpa ada tanda-tanda apapun, angkot yang saya tumpangi menepi. “Bukit Cinta, dek”, begitu kata sang supir angkot. Saya segera menebar pandangan ke sekeliling dan menemukan sebuah gapura bertuliskan “Objek Wisata Bukit Cinta” di sebelah kiri jalanan. Tampak di kejauhan, air berwarna kebiruan memanggil-manggil saya untuk datang mendekat mengunjungi Bukit Cinta ini. Rerimbunan eceng gondok di tepi Rawa Pening melambai-lambai menggoda saya di kejauhan. Dua sosok Dwarapala mengawal gerbang masuk objek wisata ini. Inilah Bukit Cinta, salah satu titik pengamatan Danau Rawa Pening yang cukup terkenal.
Bukit Cinta atau Rawa Pening secara umum terketak di Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang. Hmmm...jadi teringat judul sebuah film yach? Secara geografis, Rawa Pening ini terletak di empat kecamatan di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Keempat kecamatan tersebut adalah Ambarawa, Bawen, Banyubiru, dan Tuntang. Dari semuanya, titik masuk pengamatan sekaligus sebagai pintu gerbang utama Rawa Pening berada di Banyubiru, Desa Bukit Cinta. Oh ya, jangan mengaitkan Pening dengan pusing yach. Sama sekali tidak ada hubungannya. Pening disini justru bermaksa bening, sebening air rawa ini. Rawa Pening ini sendiri adalah sebuah danau yang terletak di cekungan terendah lereng tiga gunung yakni Gunung Ungaran, Gunung Telomoyo, dan Gunung Merbabu. Rawa ini terletak padaketinggian 461 meter dari atas permukaan laut. Ini menjelaskan mengapa suhu udara di sekitar rawa tidak terlalu sejuk. Danau yang tidak terlalu dalam ini menyandang status rawa lantaran tingkat sedimentasinya yang sangat tinggi dan cepat. Tumbuhan eceng gondok hampir menutupi seluruh areal permukaan danau ini.
Tiket masuknya ekonomis dan murah. Dengan harga Rp. 3.000 untuk hari biasa dan Rp. 3.500 untuk hari libur, saya sudah bisa menikmati objek wisata ini. Sebelum masuk menuju tepi danau, kita akan disuguhkan oleh deretan warung penjual makanan (biasanya sich nasi goreng dan mie instan) di sebelah kiri. Yang menyenangkan, para ibu-ibu tersebut santai dan tidak memaksa dalam berjualan. Sambil berjalan, saya hanya tersenyum manis saja kepada wajah-wajah yang saya sapa tersebut. Di sebelah kanan, saya melihat ratusan (mungkin ribuan) eceng gondok yang telah dipotong dan dikeringkan serta dijemur untuk keperluan bahan baku industri kerajinan furnitur. Ya, Eceng gondok telah dikenal memiliki kualitas yang baik sebagai bahan baku furnitur. Walau keberadaannya cukup menganggu (terlebih dalam jumlah besar), ternyata tumbuhan ini memiliki nilai ekonomis yang lumayan.
Di pintu masuk menuju tepi danau, ada sebuah patung naga besar beserta badan dan ekor yang melingkar. Mulut sang naga terbuka lebar dan memperlihatkan sebuah ruang yang terletak di dalamnya. Naga ini adalah perlambang dari Baru Klinting, legenda yang berada di Danau Rawa Pening ini. Cerita mengenai legenda Baru Klinting dan asal usul Danau Rawa Pening akan dibahas di postingan berbeda. Di dalam mulut naga yang menganga tersebut, terdapat sebuah ruang pamer ikan dan media informasi Rawa Pening, Kabupaten Semarang. Di dalam ruangan berpintu kaca tersebut terdapat sejumlah akuarium yang berisi ikan-ikan. Saya nggak masuk ke dalam ruangan tersebut lantaran ruangan tersebut kala itu tampak penuh oleh sejumlah bapak-bapak. Selepas dari mulut naga, saya segera bveranjak menuju bagian atas taman. Seusai menaiki beberapa anak tangga, saya berjumpa dengan sebuah taman. Dan disanalah, terpisah dengan taman, Rawa Pening berada.
Seperti yang saya utarakan sebelumnya, Rawa Pening tertutup eceng gondok secara masif. Untungnya, luas tutupan eceng gondok tidak mencapai 100% karena di bagian tengah, saya masih melihat wilayah air yang belum tertutup oleh tanaman tersebut. Tutupan eceng gondok yang cukup lebar dan luas berada di tepian Danau Rawa Pening. Danau ini, entah kenapa, memberikan kesan tenang dan lambat. Saya jadi ingin bersantai dan bermalas-malasan di tempat ini. Aktifitas manusia yang paling banyak di tempat ini adalah yang berhubungan dengan iklan, misalnya memancing dengan joran sederhana hingga membuat keramba di tengah-tengah danau. Sejumlah anak kecil bermain-main di dekat ayahnya yang sedang serius memancing. Saya mencoba berjalan beberapa meter mengelilingi danau dan menemukan sejumlah perahu yang sangat sederhana hingga beratap tertambat di pinggir danau dan tidak digunakan. Beberapa orang pria tampak sibuk mengeluarkan air yang memasuki perahu mereka di tepi danau. Perahu-perahu tersebut adalah perahu kayu biasa tanpa mesin. Untuk keperluan mereka sendiri, biasanya mereka mendayung perahu sendiri untuk bepergian ke tengah danau atau sudut lain danau. Untuk keperluan wisatawan, mereka menyediakan perahu motor yang bisa dilepas pasang. Papan tarif tersedia, tertempel di dermaga yang menjorok ke tengah danau. Untuk sewa perahu sekitar 30 menit perjalanan tur danau, biaya yang harus dikeluarkan adalah Rp. 30.000/perahu dengan maksimal 8 orang dalam satu perahu. Selain tur danau, pengunjung juga bisa melakukan labur bunga atau larungan yang masing-masing dihargai Rp. 30.000 dan Rp. 50.000. Kalau nggak berminat melakukan tur danau, anda juga bisa sekedar santai-santai saja di tepian danau. Nggak ada yang akan memaksa anda untuk sewa perahu koq. Pemandangan Rawa Pening dari pinggir cukup cantik. Cantiknya justru disebabkan oleh hijaunya tanaman eceng gondok yang menutupi sebagian besar areal danau. Di kejauhan, gunung dan pegunungan memberikan siluet berwarna kelabu mengelilingi danau ini.
Banyak orang bilang, saat terbaik untuk berkunjung ke Rawa Pening adalah pagi hari atau sore hari, saat matahari masih di timur atau sudah hampir terbenam. Mengapa? Rawa Pening menjadi habitat banyak jenis burung air, ternyata. Pada pagi maupun sore hari, sejumlah fotografer maupun pengamat burung nampak sibuk di tepi danau, mengamati aneka burung yang berterbangan di penjuru danau. Pada siang hari, keberadaan burung-burung tersebut menurun. Itu sebabnya juga tidak banyak para pengamat burung maupun fotografer yang berkeliaran di tempat ini. Pada siang menjelang sore, pengunjung terbanyak Rawa Pening justru sepasang muda-mudi yang sedang kasmaran. Mereka datang berdua dengan sepeda motor dan duduk berdua-dua di bangku-bangku taman yang banyak tersebar. Untungnya, taman tersebut dirimbunkan oleh pohon pinus dan cemara. Alhasil, taman Bukit Cinta cukup rindang dan nyaman walaupun siang hari sekalipun. Entah ada kaitannya tidak antara Bukit Cinta dengan kegiatan para muda-mudi tersebut yang sedang memadu cinta. Saya tidak tahu. Hehehe…
Sebuah makam tanpa identitas berada di tepian taman Bukit Cinta. Makam tersebut terlihat cukup purba karena nisannya berbentuk lingga, khas candi-candi yang ada di Tanah Jawa. Kalau anda mencari objek foto yang menarik, datanglah ke tepian danau dekat tempat persewaan perahu. Jujur, menurut saya keindahan Danau Rawa Pening ini terletak pada rimbunnya eceng gondok yang menutupi areal danau ini. Warna hijaunya kontras sekali dengan birunya langit. Dipadu dengan beberapa perahu kayu sederhana, Rawa Pening adalah tempat yang sangat pas untuk mengambil foto. Di sudut ini pun banyak masyarakat lokal memancing dengan santai. Rawa Pening sangat pas sekali untuk bersantai dan leyeh-leyeh. Untung cuaca siang itu adem, tidak terik. Sambil bersantai di tepian danau dan melihat serombongan turis asing menyewa perahu, saya makan bakpau coklat yang dijajakan oleh seorang bapak. Ahh…nikmatnya dunia.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
behhh...rawa pening..
ReplyDeletesurga fotografi di Semarang nech
hyakakakak....saya suka etjeng gondoknya :D
ReplyDelete